Posts

Showing posts from September, 2006

Rumput Teki tanpa Teka-teki

Oleh Kuss Indarto Techno-Realism . Demikian judul kuratorial yang mewadahi pameran seni rupa ini. Tajuk tersebut seolah mengisyaratkan dengan kuat pada bertumpunya karya terhadap kekuatan dunia bentuk atau visual yang bertitik berangkat dari problem teknis perupaan. Dunia bentuk memang menjadi kendaraan untuk menyuarakan substansi dari dunia gagasan, namun, kali ini, porsi yang begitu besar lebih menguat pada dunia bentuk. Tampaknya begitulah rentetan karya yang tengah digelar di CP Artspace, Jalan Suryopranoto 76 A Jakarta, 8 Juli hingga 6 Agustus 2006 ini. Sembilan karya lukisan (dua dimensi), 2 karya lukisan di atas bidang 3 dimensi dan satu karya video-art dipresentasikan oleh Ito Joyoatmojo. Seniman asal Jakarta dan pernah menempuh studi di SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) Yogyakarta tahun 1973 ini telah menetap di Swiss, Eropa sejak tahun 1987. Inilah pameran “kangen-kangenan” di samping beberapa kali dia juga berpameran di tempat lain di Jakarta dan Denpasar. Judul kuratorial i

Kosongnya Wajah-wajah Kolektif Kita

Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini termuat dalam katalog pameran tunggal Laksmi Shitaresmi di Bentara Budaya Jakarta, Januari 2004) Menyaksikan karya-karya Laksmi, bagi saya, adalah menyaksikan tiga hal besar yang mengerumuni dan saling berintegrasi satu sama lain. Pertama, bagaimana ihwal tubuh dikelola begitu rupa dalam kerangka estetik untuk melihat tubuh dalam kerangka sosial-antropologis yang melingkupinya. Ini senyampang dengan apa yang pernah dikatakan oleh, antara lain, antropolog Herz ataupun Featherstone (1982) bahwa tubuh fisik adalah tubuh sosial, (per)laku(an) sesosok tubuh fisik bisa menjadi perpanjangan tangan sekaligus representasi bagi (per)laku(an) sosial tertentu, begitu juga sebaliknya. Kedua, bagaimana jagad metafora visual dikelola dengan penuh eksploratif-imajinatif sebagai perangkat untuk menggagas persoalan secara ulang-alik relasi antara dunia diri dan luar-dirinya, internal dan eksternalnya – atau kalau masuk dalam ranah perbincangan filsafat – antara interiorita

Kenapa Harus Ada Kurator Seni Rupa?

Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini telah dimuat di Harian Umum Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Minggu 4 Desember 2005, dengan penyingkatan judul menjadi “Kurator Seni Rupa” ) Dalam lembaran buku kesan dan pesan pameran seni rupa Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) beberapa waktu lalu, seorang perupa yang bergelar S.Sn (sarjana seni) menuliskan komentarnya: “Banyak karya-karya berkualitas dan indah. Juga ada beberapa karya yang menyentak penglihatan saya. Walau tema ditentukan nyatanya karya-karya yang dipamerkan bervariatif. Salut deh buat rekan-rekan yang terlibat dalam kepanitian ini, juga buat para penyeleksi karya-karya yang masuk (tim seleksi). Saya seakan digiring ke dalam sebuah pameran Philip Morris atau Indofood Art Award. Kalau boleh saya usul, tidak usah pakai kuratorial”. Saya cukup terkesiap membaca komentar tersebut karena sang perupa menghadirkan pandangan kontradiktif yang belum disadarinya. Pada bagian awal komentar terlihat sebuah pandangan normatif seorang apresian (resepto

Penikmatan atas Keterasingan

Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini telah dimuat dalam katalogus pameran Alienated Life . Pameran berlangsung di gedung Bentara Budaya Yogyakarta, 4-11 Januari 2005) Memperbincangkan ihwal alienasi, keterkucilan atau keterasingan, dimungkinkan akan bermuara pada serentetan perbincangan yang berbau filosofis ihwal nilai-nilai hakiki manusia. Dan ini berisiko masuk dalam kubangan persoalan yang begitu rumit, mungkin juga absurd – tak jauh beda dengan absurditas Sisiphus yang dikisahkan oleh Homerus dan Albert Camus sebagai sosok yang bersetia jatuh-bangun membopong batu besar menuju puncak gunung. Alienasi yang menimpa manusia salah satunya memiliki titik picu dari relasi manusia dengan agama. Setidaknya, ini pernah dipetakan begitu rinci oleh Karl Marx yang mengoreksi pandangan-pandangan Feuerbach. Feuerbach sendiri sebelumnya melakukan kritik agama untuk menyanggah Hegel. Inti kritik tersebut menyebut bahwa bukanlah Tuhan yang menciptakan manusia, melainkan Tuhan adalah ciptaan angan-angan

Kosongnya Wajah-wajah Kolektif Kita

Oleh Kuss Indarto Menyaksikan karya-karya Laksmi, bagi saya, adalah menyaksikan tiga hal besar yang mengerumuni dan saling berintegrasi satu sama lain. Pertama , bagaimana ihwal tubuh dikelola begitu rupa dalam kerangka estetik untuk melihat tubuh dalam kerangka sosial-antropologis yang melingkupinya. Ini senyampang dengan apa yang pernah dikatakan oleh, antara lain, antropolog Herz ataupun Featherstone (1982) bahwa tubuh fisik adalah tubuh sosial, (per)laku(an) sesosok tubuh fisik bisa menjadi perpanjangan tangan sekaligus representasi bagi (per)laku(an) sosial tertentu, begitu juga sebaliknya. Kedua , bagaimana jagad metafora visual dikelola dengan penuh eksploratif-imajinatif sebagai perangkat untuk menggagas persoalan secara ulang-alik relasi antara dunia diri dan luar-dirinya, internal dan eksternalnya – atau kalau masuk dalam ranah perbincangan filsafat – antara interioritas dan eksterioritasnya. Metafora ini memberi pengayaan dengan masuk dalam wilayah imaginatio yang “mengusulk

Festival Kampung Nitiprayan-Jomegatan

Oleh Kuss Indarto Pertama   Hingga kini belum ada catatan sejarah yang layak dijadikan sebagai acuan pasti untuk merujuk aspek etimologis (asal-usul kata) atas kampung Nitiprayan dan Jomegatan. Salah seorang pengamat budaya Jawa, Raden Pangeran Adipati (RPA) Suryanto Sastroatmojo – dalam sebuah percakapan pribadi dengan penulis pada tahun 2004 – menduga bahwa dari nama sosok Ngabehi Nitipraya-lah sebutan kampung Nitiprayan bermula. Sosok ini menjadi pimpinan sebuah pasukan kecil yang kemudian dipercaya sebagai “lurah" di lingkungan baru tersebut. Dia menjabat lurah pada jaman kekuasaan Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang memerintah pada kisaran 1877 hingga 1921. Sultan yang dijuluki sebagai “Sultan Sugih” ini – karena banyak memiliki pabrik hingga 17 buah seiring dengan mulainya modernisasi di Mataram, juga sugih (kaya) anak karena memiliki keturunan hingga 79 anak dari permaisuri dan beberapa selir – banyak melakukan perombakan dan penyempurnaan sistem pengelolaan pemerintaha

Kompetisi Sepi Isu

Oleh Kuss Indarto Dewan Juri Kompetisi Seni Lukis Jakarta Art Award (JAA) 2006, yang bertema Kisi-kisi Jakarta, 4 Agustus 2006 lalu telah memutuskan 6 perupa sebagai pemenang dan 9 lainnya meraih penghargaan khusus. Enam pemenang masing-masing adalah Teguh Wiyatno (bermukim di Yogyakarta), Paul Hendro (Jakarta), Cubung Wasono Putra (Yogyakarta), Julnaidi (Yogyakarta), Hayatuddin (Yogyakarta), dan Cucu Ruchyat (Bandung). Mereka meraih uang masing-masing sebesar Rp 25 juta. Sedang sembilan seniman penerima penghargan khusus terdiri atas Lucia Hartini (Yogyakarta), Sapto Sugiyo Utomo (Solo), Boyke Aditya Krisna (Yogyakarta), Anggar Prasetyo (Yogyakarta), Dwijo Widiyono (Jakarta), Agus Putu Sayadna (Yogyakarta), Gusmen Heriadi (Yogyakarta), Melodia (Yogyakarta), serta Joni Ramlan (Mojokerto). Limabelas seniman ini telah meminggirkan harapan 70 pesaingnya di “babak semifinal”. Secara keseluruhan peminat kompetisi ini mencapai 1.197 seniman dengan jumlah karya sekitar 3.200 lukisan. Menurut