Posts

Showing posts from February, 2016

Holopis Kuntul Baris

Saya kurang tahu persis, apakah ini sebuah pertarungan ideologi(s), perebutan pengaruh berbalut sentimen agama, perkelahian kultural, atau apa. Tapi menarik juga kalau disimak, meski sayangnya belum saya temukan kajian ilmiah dan akademis yang sangat dipercaya. Ah, ilmiah atau cerita jalanan, toh dugaanya juga sama: berebut untuk dipercaya. Problem itu adalah teks "holobis (atau hulubis) kuntul baris". Ini saya dapatkan dari status mas Henri Nurcahyo, seorang pengamat budaya yang menetap di Jawa Timur. Dia mendapatkan temuan bahwa ada versi yang menyatakan bahwa teks itu berasal dari Bahasa Arab: "qulu bis (bismillah) kuntum", yang artinya "ucapkan bismillah maka kalian akan berhasil". Narasi tentang ini, konon, bermula ketika Masjid Demak dibangun dan membutuhkan 4 kayu besar sebagai pilar penyangga. Saat melihat kayu yang diperoleh ternyata besar dan berat, maka Sunan/Mbah Ampel memerintahkan pafa para santrinya untuk menggotong rame-ra
Image
Kalau sejarawan Yunani Kuno, Herodotus (484-425 M) membilang bahwa Mesir adalah "negeri yang dihadiahi Sungai Nil", maka bolehlah disebut bahwa Propinsi D.I. Yogyakarta sebagai "kawasan yang dihadiahi Kali/Sungai Progo". Kali Progo memanjang hingga 135 km mulai dari kabupaten Temanggung lalu ke selatan melintasi kabupaten Magelang, Sleman, Kulon Progo dan Bantul. Mata air Kali Progo berada di dusun Jumprit, desa Tegalrejo, kecamatan Ngadirejo, Temanggung, di ketinggian sekita r 1.275 mdpl, di lereng gunung Sindoro (3.135 mdpl). Nama sungai ini, menurut salah satu sumber, diduga tidak lepas dari tradisi Hindu dan Buddha yang pernah melingkungi kawasan ini berabad-abad lalu. Konon kata Progo berasal dari kata "Paragya", yakni nama patirtan (sumber mata air) di salah satu anak sungai Gangga, India. Kata Paragya lama kelamaan luluh oleh lidah Jawa hingga bergeser menjadi "Praga" atau "Progo". Lanskap seperti dalam foto in

Tanda Rasa, Tanda Ada

Image
"Impian Kawan", lukisan Kristiyanto yang dipamerkan di Lembaga Indonesia Perancis (LIP), 15-18 Februari 2016. Oleh Kuss Indarto (Catatan ini dimuat dalam katalog pameran tunggal Kristiyanto bertajuk "Tanda Rasa", di Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta, 15-18 Februari 2016) SOSOK seniman Kristiyanto muncul lagi di tengah keriuhan dan dinamika seni rupa Yogyakarta. Ini sebuah upaya yang tidak ringan untuk masuk dalam pusaran perbincangan dan peta seni rupa Yogyakarta yang terus bergerak dengan percepatan yang jauh melebihi kawasan lain di Indonesia. Bangunan reputasinya pernah tercatat dalam beberapa perhelatan seni rupa yang diikutinya bertahun-tahun lalu. Ada, misalnya, pameran seni rupa “Lestari Alamku” yang dihelat 18-25 Juni 1994 di Natour Hotel Garuda, Yogyakarta. Kala itu Kristiyanto berhimpun bersama 10 seniman lainnya, yang beberapa di antaranya adalah seniman senior dengan reputasi nasional, seperti Amri Yahya, Fadjar Sidik, dan Remmy Sil
Image
Karya Zheng Lu di ArtStage Singapura, 2016. (foto: kuss indarto) Ini karya seni dengan eksekusi yang rumit dan njelimet atas konsep yang sederhana. Zheng Lu, seniman kelahiran Chi Feng, pedalaman Mongolia yang kini menetap di Beijing, China melakukannya dengan penuh keseriusan. Dia menggali dan menuliskan kembali teks-teks dan puisi yang berbalut sejarah China. Teks-teks yang terdiri dari ribuan huruf lokal China itu dituliskan di atas lempeng logam yang telah dibentuknya sesuai ide besarnya, yakni alur atau buncahan air. Huruf-huruf tadi--setelah ditulis di atas logam--kemudian dilubangi dan dipotong outline-nya sehingga seluruh permukaan patung itu terdiri dari jalinan huruf-huruf China yang kecil-kecil yang saling terhubung satu sama lain. Terakhir, seluruh permukaan patung dilapis dengan "chrome" berwarna perak hingga gilap. Zheng Lu, seniman kelahiran tahun 1978 yang menyelesaikan studi seni rupanya di kota Shenyang (2003), Beijing (2006), dan progr