Jupri Abdullah: Rhythm of Freedom

Keragaman Antar Bangsa 2, (150 x 385 CM), akrilk pada kanvas, 2017
Membaca Tanda Tanda, (140 X 160 CM, 2 panel), akrilik pada kanvas, 2016

Oleh Kuss Indarto 

LEWAT buku “Painting Today” (2009), Tony Godfrey membuat 16 pilahan kecenderungan seni lukis berdasarkan penelitiannya terhadap perkembangan gerakan dan tema seni rupa yang bergerak selama sekitar 40 tahun terakhir—sejak dasawarsa 1970-an. Dia mendasarkan diri pada pengamatan atas ratusan karya para seniman di lebih dari 30 negara. Dua di antara 16 pilahan itu disebutnya sebagai “pure abstraction” dan “ambiguous abstraction”. Pada “pure abstraction” Godfrey mendasarkan dan mencontohkan karya para seniman seperti Ian Davenport, Helmut Federle, Bernard Frize, Ha Chong-Hyun, Peter Halley, Alexis Harding, Callum Innes, Yves Klein, Jane Lee, Lee Ufan, Tim Maguire, Robert Mangold, Joseph Marioni, Sarah Morris, hingga nama-nama yang lebih populer seperti Gerhard Richter, Bridget Riley, Robert Ryman, Sean Scully, Dan Sturgis, Estelle Thompson, serta Dan Walsh. Sementara ketika membuat pilahan “ambiguous abstraction”, guru besar pada Plymouth University ini memberikan contoh pada kecenderungan karya para seniman semacam Tomma Abts, Mark Bradford, Ingrid Calame, Ding Yi, Lydia Dona, Stephen Ellis, Caio Fonseca, Ellen Gallagher, Mark Grotjahn, Emily Kame Kngwarreye, Udomsak Krisanamis, Yayoi Kusama, Jonathan Lasker, Liu Kuo-sung, Fabian Marcaccio, Brice Marden, Thomas Nozkowski, Monique Prieto, David Reed, Thomas Scheibitz, Jose Maria Sicilia, Fred Tomaselli, dan Terry Winters.

Godfrey sebetulnya tidak memberi batasan atau definisi yang sangat tegas antara kedua jenis pilahan tersebut, namun “perca-perca” pemahaman tersebut dibangun dari konsep atau artist statement para seniman yang ditampilkan sekilas dalam ulasan tersebut. Pada “pure abstraction” ditengarai banyak memunculkan karya-karya abstrak yang dilandasi oleh kekuatan dunia-dalam seniman yang tak peduli dengan problem muatan atau konten karya. Di sini muncul karya-karya yang kemudian—gejalanya—ditandai dengan penjudulan yang “sekadar” identitas, seperti misalnya serial “komposisi 1, komposisi 2, komposisi 3” dan seterusnya. Sudah barang pasti ini hanya salah satu gejalanya, karena masih ada beragam tanda yang ditandai oleh Godfrey berdasar konsep dan artist statement para seniman. Sementara “ambiguous abstraction”, seperti halnya istilah yang diberikan oleh Godfrey, memang memiliki potensi ambiguitas. Karya-karya dalam pilahan “ambiguous abstraction” ini bisa mendua, tak sekadar menjadi medium/artifak ekspresi seniman, namun juga tendensi dan muatan yang cukup memberi isi di luar problem teknis dan artistik karya. Kira-kira seperti itu.

Lebih dari itu, hal penting yang bisa diserap adalah realitas obyektif bahwa seni lukis abstrak masih mendapatkan tempat yang penting dalam dinamika seni rupa di dunia—termasuk juga di Indonesia. Pembaruan praktik kreatif dan cara pandang baru terhadap seni rupa abstrak inilah yang perlu dilakukan secara simultan.

***

SEPERTI halnya pendapat Tony Godfrey, pemahaman dan “konsensus” umum yang selama ini beredar dalam masyarakat seni pun kurang lebih cukup setara. Ya, abstrak. Kata abstrak ini, kalau dimasukkan dalam konteks gejala seni rupa, dan dalam pemahaman yang lain—setidaknya terpilah dalam dua hal yang cukup “berseberangan”, yakni abstrakisme dan abstraksionisme. Hal pertama, abstrakisme—pengertian sederhananya—adalah gaya dalam lukisan yang meniadakan ilusi-ilusi bentuk dalam kanvas, sementara abstraksionisme lebih mengacu pada karya seni abstrak yang masih menyisakan citra obyek yang menjadi titik berangkat karya lukisan.

Karya-karya Jupri Abdullah sebagian besar lebih mendekati sebagai abstrakisme. Pilihan kecenderungan visual seniman ini tampaknya cukup dikukuhi, setidaknya dalam pameran berdua tunggal kali ini, sehingga publik bisa dengan tegas memberi batas-batas identitas visual yang kentara—sekaligus berbeda dengan pilahan karya-karyanya yang lain yang sesekali dimunculkannya, seperti karya-karya yang figuratif atau realistik. Tampaknya, ini bisa dikatakan sebagai pameran tunggal yang fokus karena Jupri mampu memberi perhatian yang penuh pada pilihan kreatif abstrakisme dengan disiplin dan “patuh”.

Pilihan kreatif abstrakisme yang dibawanya ini, di sisi lain, setidaknya dalam tiga-lima tahun terakhir mulai kembali lagi bergerak populer di hiruk-pikuk gelanggang seni rupa (kontemporer) di Indonesia. Ini tak lepas dari perkembangan dan dinamika seni rupa dunia yang juga kembali mengapresiasi dengan kuat seni rupa/lukis abstrak. Saya tidak hendak mengatakan bahwa Jupri mencoba menghanyutkan diri pada pilihan kreatif yang bergeliat lagi dan strategis dalam meraup pangsa pasar seni rupa dewasa ini. Tetapi, saya ingin memberi tengara bahwa gejala visual yang dipampangkan Jupri di ruang pameran ini kembali mencuatkan kekayaan kosa rupa yang beberapa tahun terakhir ini terkadang terasa menunggal, monoton, dan masuk dalam kebuntuan kreatif.

Kita bisa melihat, seusai dasawarsa 1990-an kanvas seni lukis (= rupa) Indonesia digempur oleh booming seni lukis abstrak ekspresionisme, di ujung dasawarsa itu—atau awal 2000-an hingga nyaris satu dasawarsa berikutnya—kecenderungan visual dalam kanvas seni rupa Indonesia dibombardir oleh gejala “impor” yang datang dari belahan jagat utara, yakni gejala pemiripan dengan “seni rupa kontemporer China”. Fenomena jenis ini banyak mengetengahkan karya-karya dengan pendekatan visual realisme atau hiper-realisme yang bermuatan sinical themes (tema-tema sinisme politis). Selanjutnya, yang hingga kini sesekali masih cukup banyak menyeruak dalam kanvas adalah karya-karya lukis “Juxtapoze-ian”. Saya sebut demikian karena subject matter karya-karya ber-genre ini banyak mengacu pada kecenderungan visual yang muncul secara dominan dalam majalah seni rupa (kontemporer) Amerika Serikat: Juxtapoze. Di situ sedikit banyak dapat terlacak gejala visual yang ilustratif dengan pendekatan pada karya seni komik dan Neo Pop Art. Diseminasi atau persebaran bentuk-bentuk kreatif itu begitu cepat bergerilya ke segala penjuru angin karena didukung secara kuat oleh teknologi informasi dan internet, sehingga dengan lekas bisa mendunia. (Website majalah Juxtapoze menjadi salah satu website majalah seni rupa yang paling banyak dikunjungi oleh para perupa muda sedunia). Maka, sekarang ini, kadang sangat sulit untuk membedakan mana karya Wedhar Riyadi, Uji Hahan Handoko, Iwan Efendi, atau Hendra Hehe yang berproses kreatif di Yogyakarta, Mukhlis di Jakarta, dengan karya-karya dari seniman dari Meksiko, Ukraina, atau Aljazair yang memiliki kecenderungan visual serupa. Inilah sisi lain yang tak mungkin terelakkan dari powerfull-nya pengaruh teknologi internet.

Oleh karena itu, ketika gejala “Juxtapoze-ian” dalam seni rupa itu menggejala begitu dahsyat, atau “badai” kecenderungan pemiripan karya “seni rupa kontemporer China”, maka kelugasan kehadiran kembali karya-karya abstrak yang diketengahkan sekian banyak pelukis abstrak bisa memberi keseimbangan kosa visual dalam belantara seni rupa Indonesia. Sudah barang pasti para seniman yang berbasis kreatif abstrakisme ini belum banyak memberi asupan yang menonjol, penting dan berpengaruh, namun setidaknya bisa memberi jeda (interlude) yang menarik. Publik seni rupa tentu juga tak menutup mata pada kehadiran karya-karya Hanafi (berikut para epigon atau para penirunya) yang masih konsisten pada karya-karya abstrak, atau bahkan ada sekelompok seniman yang selama ini menjadi spesialis melukis lukisan abstrak dan membuat komunitas (dimotori oleh Sulebar Soekarman dan istrinya Nunung WS., Rusnoto, Dedy Sufriadi, dan beberapa seniman lain) dan sesekali berpameran antarkota.

***

JUPRI ABDULLAH hadir dalam kapasitas sebagai seniman otodidak. Sebetulnya kurang adil untuk memberitahukan hal ini karena kemudian—kadang—publik langsung memberi perbandingan atas oposisi binernya, yakni seniman akademik. Ini isu lama yang sebenarnya kurang menarik untuk diperpanjang dan dipertajam. Tapi sekadar mendudukkan pada konteks identitas personal yang justru diajukan sejak awal oleh Jupri sendiri.

Proses kreatif Jupri dalam berkarya seni rupa tidak berangkat dari ruang kosong. Meski bentuk ungkapnya berupa seni lukis abstrak, namun itu tak mengurangi niatan dasarnya bahwa karya seni merupakan medan ekspresi dan medan opini personalnya atas berbagai persoalan yang melingkupi diri dan lingkungannya. Petikan pendek dari konsep berkaryanya bisa menjadi cermin: “Dalam proses berseni dan proses kreatif melukis terlebih dahulu saya ngobrol dengan masyarakat lingkungan dan kawan-kawan seniman, mendengarkan dan menyaring obrolan-obrolan mereka. Terkadang saya mengundang kesenian tradisi untuk memainkan atraksinya, seperti kesenian reog, bantengan dan mendengarkan alunan musik gamelan yang dimainkan masyarakat di lingkungan saya. Konsep kreatif yang saya lakukan ini lantas saya tuangkan dalam lukisan-lukisan saya tentang sosial budaya, ke-Tuhan-an/religiusitas, politik dan ke-Tokoh-an.

Petikan konsep berkarya Jupri di atas telah cukup memberi gambaran kepada apresian bahwa ada upaya yang jelas dalam kerja kreatifnya untuk melepaskan diri dari perangkap adagium l’art pour l’art atau “seni untuk seni saja”. Seni mampu diberdayakan lebih jauh dan efektif oleh senimannya, antara lain dengan mencoba meluaskan cakupan karya-karya seninya untuk terlibat secara langsung atau tidak langsung dengan dunia di sekitarnya. Itu bisa beragam cara dan modus operandinya. Cara yang dilakukan oleh Jupri mungkin tak harus meleburkan diri sebagian hidup dan kesehariannya dengan kelompok masyarakat tertentu dengan segenap empati dan praktik langsung di dalamnya. Ya, dia tak menjadi bagian di dalamnya yang kemudian, oleh sebagian pengamat, yang kurang lebih disebut sebagai seni partisipatoris. Bukan. Tapi lebih sebagai upaya kecil Jupri untuk mengayakan ide dasar yang sudah ada dalam kepalanya, dan kemudian perlu perangkat lain untuk mendukungnya. Maka kalau dia, antara lain, mengundang atau nanggap kelompok kesenian tradisional dan dijadikannya sebagai medium peletup atau sumber gagasan tambahan bagi karya yang hendak dilahirkannya, maka di situlah sebenarnya Jupri tengah “merekayasa” karya seninya agar tidak betul-betul dihadirkan dari ruang kosong.

Pada titik inilah kemudian apresian bisa melihat atau menduga tentang karya seninya, baik secara visual atau pun substansial, dari dunia bentuk dan dunia gagasannya. Seperti halnya yang saya singgung di bagian atas tadi, yakni tentang “pure abstraction” yang output karya-karyanya—gejalanya—ditandai dengan penjudulan yang “sekadar” identitas, seperti misalnya serial “komposisi 1, komposisi 2, komposisi 3” dan seterusnya, karya Jupri tampak terbebas dari dugaan seperti ini. Meski bentuk ungkapnya abstrak, dia mencoba menyelinapkan banyak narasi bahkan gagasan di dalamnya.

Apakah spontanitas pada karya-karya Jupri betul-betul total? Inilah pertanyaan yang gelagat jawabannya sudah bisa diraba dari secuil paparan konsep karyanya. Ada proses yang tidak sederhana dalam pemunculan karya seperti dalam pameran ini. Ada upaya “perekayasaan” dalam proses kreatif yang sejatinya telah banyak dilakukan oleh banyak seniman—entah disadari atau tidak disadarinya. Jupri tampaknya menyadari proses ini sebagai sebuah keniscayaan. Maka, dalam eksekusinya pun memerlukan “orkestrasi” yang diharapkan bisa mendukung seluruh proses kreatif hingga selesai. Misalnya, menciprat cat warna kuning pun mesti mempertimbangkan seluas apa warna kuning itu mesti dicipratkan sehingga akan mendukung komposisi dalam keseluruhan lukisan, bukan malah mengganggu komposisi. Perimbangan antara warna panas dan warna dingin dalam sebentang kanvas bisa jadi tetap menjadi agenda dalam benaknya untuk terus diatur agar tidak timpang antara keduanya. Begitu seterusnya.

Semuanya ada dan membutuhkan irama, ritme, yang akan menjalin segenap unsur visual sehingga menyatu, membentuk harmoni, mengundang tafsir yang kaya. Karya seni lukis abstrak, bila ditilik dari fakta seperti ini, jelas tak seutuhnya dibilang membebaskan seniman untuk mempraktikkan semuanya. Ya, dari sini kita akan mejadi paham bahwa salah satu kebebasan adalah keterbatasan. Ini rumit rumusannya. Namun di situlah kita akan menemukan rime yang menarik karena kebebasan dalam kanvas mampu dikontrol oleh senimannya. Jupri membangun karya kreatifnya dengan kebebasan yang dikontrolnya untuk mendapatkan irama visual seperti yang dihasratkannya. Rhythm of Freedom, irama dalam kebebasan seperti menyublim dalam karya-karya Jupri. *** 

Kuss Indarto, kurator seni rupa, dan pendiri situs www.indonesiart.id

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?