Ekspektasi pada Pandangan Pertama

(catatan pengantar pameran "Pandangan Pertama")

Pada sebuah misa di tahun 1327 di gereja St. Claire di kota Avignon, Prancis, hati seorang penyair muda berdesir keras. Matanya terkesiap ketika menatap sesosok gadis jelita di sampingnya. Laura de Noves nama gadis jelita itu. Sementara sang penyair itu adalah Petrach yang hidup antara 1304 hingga 1374. Kelak dia menjadi penyair ternama di awal zaman Renaisans di Italia.

Dikisahkan bahwa momentum di gereja itu merupakan kesempatan pertama, pandangan pertama Petrach pada Laura. Di perjalanan waktu kemudian, Laura merupakan cinta sejati sekaligus subyek utama bagi karya-karya sastra yang dikreasi oleh Petrach. Lebih dari 5 abad kemudian, atau persisnya 513 tahun berikutnya, peristiwa dan momentum penting atas pertemuan pertama kedua sejoli itu direkonstruksi secara visual sebagai sebuah lukisan oleh pelukis Inggris, Henry Nelson O’Neil (yang hidup antara 1817 hingga 1880). O’Neil, pelukis ternama di era Victoria tersebut melukis kisah cinta tersebut pada tahun 1840.

O’Neil melukiskan sosok Laura berada di titik sentral lukisan dengan berbalut busana indah dan sebagian bermotif bebungaan. Kepalanya tertutup kain kerudung. Posisi tubuhnya tengah berlutut dengan kepala tertunduk sembari menatap kitab di hadapannya. Di sisi lain, sosok Petrach digambarkan tengah berdiri di samping Laura dan menatap gadis cantik itu dengan takzim. Karya lukisan itu seperti di-setting sebagai sebuah panggung bagi keduanya. Ada beberapa sosok manusia ada dalam gereja. Namun oleh O’Neil keduanya diberikan siraman cahaya yang eksotik yang menjadikan mereka berada dalam titik sentral dan fokus pada lukisan itu. Karya tersebut bertajuk “Petrarch's first sight of Laura / in the Church at Avignon”.

Penggalan kisah sederhana ini bisa dimaknai banyak hal, antara lain sebagai sinyal bagi kita bahwa impresi pertama seseorang atas realitas yang disaksikan pada kali pertama akan memberi pengaruh banyak pada momen dan peristiwa berikutnya, baik positif maupun negatif, entah hitam atau pun putih, dan menyangkut pada banyak persoalan yang berkelindan pada tiap noktah kehidupan.

Secara ekstrem kita pun bisa secara random menyeret momentum Petrach dan Laura itu dalam konteks jauh melintasi waktu, persoalan, hingga realitas yang berseberangan. Misalnya ketika menyimak pameran bertajuk “Pandangan Pertama” ini. Pameran perdana di ruang seni baru bernama Blangkon Art Space ini bisa memberangkatkan setidaknya tiga persoalan.

Pertama, kita dihadapkan kembali bahwa kota atau kawasan seperti Yogyakarta sepertinya tak akan lekang oleh gelontoran berbagai musim yang memungkinkan kreativitas senimannya tiada berhenti berkreasi. Kehadiran ruang seni baru untuk mempresentasikan karya para seniman kembali muncul untuk menyalakan gerak dinamika yang sulit dihentikan. Kita tahu, tiap tahun Yogyakarta dipenuhi oleh sekitar 350 hingga 450an peristiwa seni rupa, mulai dari yang gigantik seperti Artjog, Biennale Jogja, Festival Kebudayaan Yogyakarta, hingga pameran di rumah kontrakan para mahasiswa seni baru. Ini memberikan gelagat bahwa ada kreativitas atau gerak kebudayaan, sekaligus upaya pencarian medan apresiasi seni budaya yang baru pula. Di dalamnya ada potensi seniman baru, subyek apresian baru, hingga market baru.

Kedua, pameran ini memberi sinyal atas tiada hentinya kontestasi antar dan interpersona dalam praktik seni rupa. Di pameran ini ada karya kreasi perupa yang berusia 18-19 tahun di satu sisi (seperti Hokky Syahdu, Aldo Aprilian), dan para seniornya yang berusia di ujung akhir kepala 50an (Nasirun, Joko “Gundul” Sulistiono, Astuti Kusumo). Ada rentang jarak usia 30an tahun di antara yang paling senior dan paling junior dalam satu ruang. Kontestasi yang bisa dilihat bukan sekadar perihal rentang usia semata, namun juga problem dunia gagasan yang dibenamkan pada tiap karya mereka. Ada dinamika gagasan yang terjadi ketika para perupa senior dulu dilabeli sebagai homo ars (atau makhluk yang berkarya seni) hingga kemudian pada generasi yang sekarang sebagai homo digitalis (makhluk yang hidup dengan dunia digital).

Secara visual hingga substansial kita akan mencium gelagat pergeseran antargenerasi yang kini berdampingan dalam satu pameran ini. Mungkin, meminjam istilah Walter Benjamin, ada yang masih mengutamakan problem auratik dalam karya seninya, sementara yang lain barangkali sudah tertular oleh kultur dunia digital dan masuk pada cara pandang yang pasca-auratik. Ini bukan perkara benar dan salah, atau yang satu lebih estetik dan yang lain kurang estetik. Namun lebih pada pilihan kreatif yang dituntun dan dituntut oleh zaman. Ini merupakan kontestasi positif yang memberi gambaran kepada publik bahwa ada yang terus berkecamuk pada isi batok kepala pada kreator untuk mencari kebaruan.

Ketiga, pameran ini, yang dihelat di ruang baru dan di 9 kilometer sebelah barat dari pusat kota Yogyakarta memberi hal menarik. Bahwa ada upaya perluasan dan penetrasi ruang seni (baru) yang merangsek hingga ke wilayah barat. Selama ini ruang-ruang seni di Yogyakarta banyak berkumpul di pusat kota Yogyakarta atau di selatan kota (Bantul bagian utara).

Kehadiran Blangkon Art Space di sisi barat kota berpotensi memberi warna baru. Apalagi bila dia mampu menguatkan konsep sebagai ruang seni yang relatif berbeda dibanding ruang seni yang sudah ada. Terlebih lagi bila kemudian juga memungkinkan memberi tawaran atas potensi apresian dan pasar yang berbeda. Sejujurnya publik seniman di Yogyakarta selama ini juga memiliki kompetisi tersendiri dalam berbagi pasar yang kuenya tidak atau belum banyak bahkan seimbang dengan jumalh seniman yang ada. Peluang mesti terus diciptakan, termasuk mengonstruksi potensi pasar baru yang tentu tidak mudah.

Ketiga poin ini sekadar kesan singkat atau “pandangan pertama” atas kehadiarn ruang seni baru Blangkon Art Space ini. Kesan ini barangkali lebih menguat sebagai sebuah ekspektasi. Dan ekspektasi ini memang perlu diuji lewat konsistensi ruang seni ini untuk berani rutin menghadirkan perhelatan seni, konsisten untuk mengeksposisi karya-karya yang lebih menarik, dan syukur-syukur secara konseptual pameran yang digelar memilki titik diferensiasi yang jelas dan tegas ketimbang ruang seni yang lain. Tidak mudah. Perlu proses dan waktu tak pendek. Tapi harus dilakukan. Karena tidak setiap pandangan pertama bisa sesukses kisah pandangan pertama Petrach pada Laura seperti kisa di awal catatan pendek ini. Selamat berpameran.

Kuss Indarto, kurator.

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Antara Kolektor dan Kolekdol

Memanah