Posts

Showing posts with the label Kurator seni rupa indonesia

Kiefer

Image
Karya ini bertajuk "Dein und mein Alter und das Alter der Welt" (Umurmu, Umurku, dan Umur Dunia), dibuat 26 tahun lalu atau tahun 1992. Ditempatkan di ruang khusus di ArtStage Singapura 2018 hanya demi Anselm Kiefer—salah satu perupa kontemporer paling berpengaruh di dunia dewasa ini. Lukisan Kiefer yang cukup besar ini berukuran 281 x 380 cm dengan latar belakang dinding warna legam, agar lebih menguatkan kemunculan karya di depannya. Seperti halnya banyak karya Kiefer lainn ya, karya ini memakai beragam material, misalnya "ready-made used object" seperti pohon bunga matahari, pasir, jerami, pecahan gelas, dan beragam benda lainnya, di samping tentu material standar lainnya seperti cat minyak, vernis, dan sebagainya. Kiefer mengerjakan karya ini saat berusia 47 tahun. Dia tengah membincangkan tentang persoalan mendasar ihwal perjalanan proses waktu dan potongan kehidupan seperti hidup itu sendiri, kematian, juga pembusukan. Meski sudah berus...

Ironi Patung Yesus?

Image
Oleh Kuss Indarto   Sekitar 10 hari lalu, seorang teman seniman berbincang padaku tentang sebuah rencana proyek besar yang ditawarkan kepadanya. Dia mengaku pusing, tak bisa memikirkan rencana yang jauh di luar kemampuannya itu. Dan dia merasa itu bukan kapasitasnya. Pagi ini, rencana proyek besar itu ternyata mulai berseliweran di beberapa situs berita: Pemerintah Provinsi Papua berencana membangun patung Yesus dengan alokasi dana Rp 300 miliar sampai Rp 500 miliar !   Patung Yesus itu dirancang dibangun di Puncak Gunung Swajah, Kampung Kayu Batu, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura. Kalau jadi, patung tersebut tingginya sekitar 50-67 meter dan landasannya sekitar 100 meter. Jadi, total 150-167 meter. Sebagai perbandingan, tinggi patung Yesus di Brasil hanya 30 meter, dan landasannya 8 meter, total 38 meter. Sementara patung di Tana Toraja tingginya 23 meter dan landasannya 17 meter, keseluruhan 40 meter. Di Dili, Timor Leste, ada patung Kristus Raja atau Cris...

Museum RA Kartini

Image
26 Maret lalu, saya dan keluarga berkunjung ke pendapa kabupaten Rembang, Jawa Tengah yang sekarang menjadi Museum RA Kartini. Sisa keanggunan bangunan tersebut masih terasa kuat. Tapi saya merasakan kalau perawatan gedung dan sekitarnya belum optimal meski pasti sudah serius pembenahannya. Di ruang kediaman di belakang pendapa itulah ruang utama Museum RA Kartini. Pengunjung dikenakan retribusi Rp 2.000,- (dua ribu rupiah). Sama dengan biaya parkir mobil di kota-kota di Indo nesia. Bagi saya ini terlalu murah, dan secara pelahan tidak membangun "budaya bermuseum" bagi masyarakat. Menurut saya retribusi setidaknya antara Rp 7.500 s/d Rp 10.000 TAPI pengunjung diberi booklet perihal isi museum. Booklet bisa antara 8-20 halaman berisi kilasan narasi dan sejarah ihwal RA Kartini dan museum itu sendiri. Disain booklet yang bagus, dan dicetak full colour akan lebih baik. Begitu masuk museum, atmosfir seram cukup menyergap dalam perasaan saya. Bukan karena...

Mobocracy

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) online sudah ada lema "mobokrasi" yang artinya "pemerintahan yang dipegang dan dipimpin oleh rakyat jelata yang tidak tahu seluk-beluk pemerintahan". Pengertian ini lebih sarkastik dibanding yang ada dalam situs asing, www.dictionary.com yang mengartikan mobocracy sebagai (1) political control by a mob, dan (2) the mob as a ruling class.   Berabad-abad lalu filsuf Aristoteles sudah menengarai gejala mobocracy sebagai sebuah keadaan ketika hukum ditentukan oleh kerumunan massa. Di situ, hukum mudah ditaklukan oleh tekanan massa, yang mendorong situasi buruk dan rentan anarkisme. Mobocracy atau mobokrasi itu kemudian dibenahi dengan tatanan dan sistem yang lebih baik bernama demokrasi. Bukan sebaliknya.

Djoko Pekik: “Saya Tipe Pelukis Kuda Balap, Bukan Kuda Andong!”

Oleh Kuss Indarto   (Catatan ini dimuat dalam majalah Tong Tjie Lifestyle, edisi IV - 2016, halaman 16-26)   TAHUN 1998, nama seniman Djoko Pekik mengguncang jagad seni rupa Indonesia. Pasalnya, pada 16-17 Agustus tahun itu dia memamerkan hanya satu buah lukisan dan dalam durasi 24 jam atau sehari semalam saja di gedung Bentara Budaya Yogyakarta. Hal yang lebih menghebohkan lagi, karya tersebut, yang bertajuk “Berburu Celeng”, berpindah ke tangan seorang kolektor dengan harga transaksi sebesar Rp 1 miliar! Itulah harga tertinggi sebuah karya seni lukis di Indonesia pada waktu itu. Pencapaian tersebut mengalahkan harga karya para seniman maestro, yang lebih senior, dan telah mengisi jejak penting sejarah seni rupa Indonesia seperti Affandi Kusuma, Hendra Gunawan, S. Sudjojono, Basoeki Abdoellah, dan lainnya. Pada tahun-tahun itu harga karya para maestro itu baru sampai angka ratusan juta rupiah.   Peristiwa itu begitu fenomenal karena kemudian berimbas p...

Narasi Tiga Patung Monumental Edhi Sunarso

Image
Foto: Patung Pembebasan Irian Barat, dibuat tahun 1962, dipotret oleh Biyan Ojong   Dari catatan kawan Fandy Hutari di situs https://ruang.gramedia.com/read/1474265331-narasi-tiga-patung-monumental-edhi-sunarso Pagi itu, kendaraan saling bersahutan dengan klakson yang hingar-bingar. Bus, mobil, sepeda motor, saling berebut mengisi ruas jalan raya yang semakin sesak. Di atas, Patung Selamat Datang masih kokoh berdiri seolah menjadi penjaga Bundaran Hotel Indonesia. Ada kisah panjang soal patung yang menjulang ini. Hikayat Patung Pada 1959, Presiden Soekarno mengundang seniman patung asal Yogyakarta, Edhi Sunarso, untuk ke Jakarta. Di masa pemerintahannya, Bung Karno memang dikenal dekat dengan para seniman. Biasanya, setiap pagi. Ia kerap mengundang seniman untuk sekadar ngopi bersama di halaman belakang Istana Negara. Pertemuan dengan Bung Karno merupakan titik paling penting dirinya sebagai seniman patung. Ketika itu, Jakarta juga tengah bersiap menyamb...

YAA, Kontemporer, dan Manual

Oleh Kuss Indarto EMPAT puluh tiga pelukis siap berkontestasi dalam satu ruang yang dihelat oleh Sangkring Art Space, di bilangan Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Perhelatan itu bertajuk YAA, Yogya Annual Art, berlangsung mulai 20 Mei hingga 20 Juli 2016. Dr. Hilmar “Fay” Farid, sang Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan direncanakan akan membuka resmi YAA. Ini merupakan perhelatan kali pertama yang kelak—seperti namanya—akan berlangsung secara rutin tiap tahun (annual) . Dan, bisa jadi, ini menjadi ambisi tersendiri bagi pengelola Sangkring Art Space untuk memiliki sebuah peristiwa seni rupa yang ikonik, yang menjadi simbol sebuah kawasan, dan diingat oleh masyarakat selama mungkin. Setidaknya jagat seni rupa Yogyakarta atau di luar Yogyakarta bisa “dipecah” perhatiannya tidak sekadar pada Biennale Jogja atau ArtJog yang telah lama menggenang dalam ingatan publik. Putu Sutawijaya a.k.a. Liong dalam sebuah percakapan di suatu sore di pertengahan...