Djaduk Ferianto: Antara Ngeng, Mulur Mungkret, dan Ngayogjazz

Djaduk Ferianto bersama Nita Azhar dan Arni Oktaviani dalam sebuah pembukaan pameran seni rupa di OHD Museum, Magelang, Yogyakarta.

Oleh Kuss Indarto

(Catatan ini sudah dimuat dalam majalah Graha Padma, 2019)

SOSOK laki-laki berewokan dengan postur tinggi besar itu sudah “mencegat” kami di pelataran parkiran di kompleks Padepokan Bagong Kussudiardjo siang itu. Tertawanya lepas, sebebas karya-karya musiknya yang telah mengantarkan laki-laki itu di level pencapaian dan reputasi penting dalam seni musik kontemporer (berbasis tradisi) di tanah air.

G. Djaduk Ferianto nama laki-laki tersebut. Pada sebuah siang yang cukup terik itu, kami berbincang dengan penuh keriangan dan canda selama sekitar 3,5 jam. Ruang tamu di salah satu bagian dari padepokan di bilangan Kembaran, Kasihan, Bantul, D.I. Yogyakarta menjadi begitu regeng (hidup) karena penuh gelak tawa selama sesi wawancara.

Di balik gaya bicaranya yang penuh humor, ada sekian banyak keseriusan dalam substansi obrolannya. Ada banyak imajinasi dan mimpi besarnya sebagai musisi yang telah lama berproses. Perca-perca gagasan membuncah di sela ucapannya yang penuh semangat. Pilihan hidup sebagai musisi telah dijalaninya lebih dari empat dasawarsa. Ini kalau mengacu pada rintisan awal ketika Djaduk bersama Kelompok Rheze yang tahun 1979 menjuarai Festival Musik Humor Tingkat Nasional. Dia bersama teman-temannya di SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta seperti Bimo dan Restu Agus Alim berhasil mengalahkan saingannya. Mereka antara lain Frans (pendiri grup dangdut Ken Arok, Salatiga) menjadi Juara 3, dan Juara Harapan 3 Virgiawan Listianto. Anak ini kelak populer dengan nama Iwan Fals.

Kerja kreatif Djaduk yang kelahiran Yogyakarta, 19 Juli 1964 tampaknya tidak lepas dari spirit kerja kolektif. Artinya, dia tidak bisa bekerja—misalnya—seperti seorang pelukis yang berkarya secara tunggal atau sendirian. Bermusik adalah berkarya dengan bekerjasama secara langsung dengan  banyak orang lain. Kesadaran seperti inilah yang mendasari Djaduk untuk mendirikan kelompok musik. Pada usia muda, setelah Kelompok Rheze, dia sempat mendirikan Kelompok Musik Kreatif Wathathitha. Bertahun-tahun kemudian, bersama dengan kakak kandungnya, aktor Butet Kartaredjasa dan musisi Yogyakarta, Purwanto, mendirikan Kelompok Musik Kua Etnika pada tahun 1995. Seperti namanya, kelompok musik ini berkonsentrasi pada upaya eksplorasi atas musik-musik etnik dan disajikan dengan pendekatan modern. Dalam bahasa Latin, kata “qua” berarti “semu”. Jadi kira-kira Kua Etnika itu “tidak sepenuhnya menampilkan aspek musik etnik secara murni”.

Menurut Djaduk, Kua Etnika lahir dari kegelisahannya sebagai orang Jawa yang tidak ingin terbelenggu oleh kejawaannya. Orientasinya pada persilangan budaya dalam hal musik. Ada persimpangan dengan hal yang menggelisahan, dan ini menjadi titik menarik untuk menyerap musik dari luar. Sekarang ini ada istilah hybrid atau kurang lebih berarti percampuran kultural. Ketika ada musik diatonic dan pentatonic yang sulit nyambung, maka Djaduk melihat bahwa justru di situlah ada tantangan dan magma kreatif yang harus dipertemukan.

Dalam musik, dalam tuturan Djaduk, ada konsep gelombang—yang dalam dunia gamelan ada istilah kembang lingsem. Ini soal standardisasi yang tidak pasti. Penuh relativitas. Semua bergantung pada siapa yang membuat gamelan. Standar dalam musik itu impor dari Barat yang dibawa oleh musik gereja dan musik pop. Disebut diatonic karena ada solmisasi dan konsep 4-4-0. Sementara di Indonesia, antara bas yang ada di Papua, dengan bas di Jawa bisa berbeda karena tergantung pada “ngeng”-nya masing-masing yang berbeda-beda.

Pada dimensi perbincangan yang lain, suami dari Petra ini menganalisis bahwa orang Barat itu memandang musik seperti matematika. Ya, karena susunan solmisasi seperti sistem harmoni yang terstandarkan. Maka tak heran bila orang seperti Ludwig van Beethoven yang tuli bisa membuat karya musik, karena dia bisa membaca not balok yang sudah terstandarkan. Ini beda dengan yang terjadi di Timur (Asia, termasuk Indonesia) yang tergantung pada “ngeng” yang berbeda-beda. Nah, di sinilah muncul kelebihann orang Timur yang bisa menghadirkan rasionalitas dan emosionalitas dalam waktu yang berbarengan. Ini semacam konsep gelombang. Maka, misalnya, bila orang Indonesia membuat janjian untuk bertemu pada besok hari. Maka ini bisa berarti besok atau tiga tahun lagi. Tapi kalau orang Barat ya besok ya betul-betul besok. “Itu kelebihan sekaligus kekurangan kita orang Indonesia,” kata Djaduk.

Mulur Mungkret dan Spirit Ngayogjazz

Dalam rentang waktu yang tidak berjauhan, pada tahun 1997, putra bungsu pasangan koreografer legendaris Bagong Kussudiardjo dan sutiana (almarhum) ini mendirikan grup musik Orkes Sinten Remen. Kata-kata sinten remen diambil dari bahasa Jawa Krama Inggil (halus) yang berarti “siapa suka”. Grup ini dijadikan sebagai medium bagi Djaduk dan kawan-kawannya dalam melakukan penjelajahan olah musik keroncong. Antara Kua Etnika dan Sinten Remen, personilnya nyaris sama. Bagi Djaduk, ini soal visi dan misi bermusik yang sama. Juga keselarasan antarpersonal yang baik yang niscaya akan nyambung dengan pencapaian artistik dalam bermusik.

Sinten Remen sendiri sebetulnya tak lepas dari sejarah kreatif Djaduk yang juga berproses di musik keroncong dengan teman-teman kuliahnya di STSRI “ASRI” (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia). Waktu itu ada grup keroncong Soekar Madjoe yang antara lain dimotori oleh seniman patung Win Dwi Laksono. Djaduk menjadi pemain generasi kedua dari kelompok tersebut. Dia masuk kuliah di STSRI “ASRI” tahun terakhir karena setahun kemudian, tahun 1984, lembaga pendidikan itu berubah menjadi kini Fakultas Seni Rupa ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta. Dan Djaduk tidak lulus kuliah di almamaternya itu.

“Saya beruntung kuliah di STSRI “ASRI”. Tradisi lisan di kampus STSRI sangat berpengaruh bagi proses kesenimanan saya. Andaikan saya masuk ke kampus lain seperti ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia), mungkin tak akan bisa seperti sekarang karena di sana suasananya feodal. Di ASRI tradisi kritik karya dalam kelas sangat baik, jadi ruang diskusi yang menarik dengan metode pengajaran gaya sanggar yang demokratis. Tapi ketika jadi ISI dengan mengambil dosen dari kampus lain, maka tradisi egaliter sudah mulai terkikis,” tutur Djaduk.

Pengalaman dalam studi formal yang tidak tuntas itu sedikit banyak memberi bekal pada perjalanan kreatif Djaduk dalam bermusik. Dan dalam prakteknya, berbagai hal, kebaruan, pendalaman, penggalian persoalan dan banyak pengalaman artistik ditemuinya. Itu sungguh mengayakannya. Banyak orang dengan berbagai disiplin ilmu dan ketertarikan pernah ditemuinya. Dan itu menambah energy dan perluasannya dalam bermusik.

Suatu ketika, sekitar tahun 1990-an menemui Mansour Fakih, direktur Oxfam—sebuah LSM yang kantor pusatnya di Inggris. Pada saat yang sama, ndilalah Djaduk ketemu bos produsen sepatu Clark yang juga sedang bertamu di kantor Mansour. Bos itu begitu terkesan, dan menyatakan betapa posmodernisnya karya musik Djaduk.

Waktu itu Djaduk terkesan dengan salah satu istilah “kunci” yang populer dalam perbincangan perihal posmodernisme, yakni: menembus ruang dan waktu. Waktu bisa dimain-mainkan. Dalam konteks itu, orang Jawa dikatakan lebih posmo ketimbang orang Eropa. Ini seperti ilmu mulur mungkret (kira-kira: tarik ulur). Durasi musik bisa berbeda karena konsep mulur mugkret itu. Inilah yang menguatkan konsep kreatif Djaduk dalam bermusik yang sudah dibilang posmodernis.

Dalam kesempatan berbeda, Teater Gandrik mendapat kesempatan pentas di Festival Teater ASEAN di Singapura. Butet, kakaknya, sebagai sutradara, dan Djaduk tampil sebagai penta musik. Ada juga forum seminar yang pembicaranya adalah Bakdi Sumanto, dosen UGM. Bakdi menyebut bahwa Gandrik sudah seperti konsep Berthold Brecht yang berpihak pada aspek kerakyatan. Cara bertindaknya sehari-hari pun juga sangat posmo. Ini mengejutkan kru Gandrik sendiri—termasuk Djaduk. Mereka selama ini hanya mafhum bahwa yang dianggap teater posmo di Indonesia (waktu itu) ya Teater SAE-nya Budi S. Otong dan Afrizal Malna. Migrasi Ruang Tamu, dan lainnya.

Bakdi tidak menjawab di Singapura. Kata Bakdi, ketidaktahuan orang-orang Gandrik atas konsep teater posmo itulah yang justru menjadi kelebihan. Dengan ketidaktahuan itu maka personil Gandrik tidak berpretensi. Pretensi untuk mengklaim diri sebagai posmo itulah kelemahannya. Dan Gandrik berada dalam ketidaktahuan tentang posmo, maka, posmonya jadi lebih natural.

Lalu soal musik. Musik itu bukan sekadar pementasan di atas panggung. Mengorganisasi sebuah peristiwa itu juga sebuah karya. Ngayogjazz juga serupa dengan itu. Djaduk sempat ngobrol dengan arsitek cum seniman, Eko Prawoto—lulusan Universitas Berlague, Belanda. Waktu saat Djaduk membangun rumah. Dia jadi tahu tentang arsitektur. Arsitektur bukan sekadar bangunan masif, bukan tentang menyampur bahan bangunan, tapi juga tentang upaya menyelaraskan bangunan dengan banyaknya pohon, teras-teras tanah, hingga sumber air di sekitarnya.

Inilah yang menginspirasi lahirnya Ngayogjazz. Ketika seniman sibuk berkarya, mereka lupa, siapa sih pendukung produk karyanya? Ya, inilah spirit kelahiran Ngayogjazz yang dibangun pertama kali oleh Djaduk tahun 2007. Kegelisahan ini terjadi ketika dia berada di studionya (waktu itu) di kampung Kersan, Ngestiharjo, Bantul. Modal dalam industri musik itu jauh lebih besar ketimbang seni rupa. Dalam Ngayogjazz menjadi seperti forum untuk para musisi baru dalam mempromosikan diri. Forum ini membantu menyiapkan masyarakat pendukung produk seninya. Masyarakat jadi memiliki pengetahuan tentang musik.

Ngayogjazz terus bertahan—bahkan makin populer—hingga kini. November 2019 Ngayogjazz kembali akan dihelat di dukuh Kwagon, desa Sidorejo, kecamatan Godean, Sleman. Padahal Djaduk merasa bahwa event itu mulai monoton dan secara kreatif perlu dirombak besar-besaran. Dia rencananya akan menggelar FGD (Focus Group Discussion) yang serius untuk menyerap masukan yang kelak diterapkan bagi Ngayogjazz.

Apapun, Djaduk Ferianto telah mencoba membangun karya dan monumen kreatif bagi dunia musik yang dicintainya. Juga bagi kelima anaknya: Iduberga Gusti Arirang (vokalis grup band Tashoora), Karola Ratu Hening, Gallus Presiden Dewagana (satu-satunya anak lelaki), Kandida Rani Nyaribunyi, Rajane Tetabuhan. *** (Kuss Indarto, penulis seni, tinggal di Yogyakarta)

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?