Sumur





Ketika memutuskan untuk segera membangun rumah, ayah memprioritaskan membuat sumur terlebih dahulu. Tukang yang akan membantu rumah kami diminta oleh ayah untuk membuat sumur yang airnya jernih, melimpah, dan kelak berada di dalam rumah.

Saya masih duduk di kelas 4 SD waktu itu. Ayah segera memutuskan untuk pulang kampung di Banyumas segera setelah pensiun dari kedinasannya di kepolisian di Yogyakarta. Banyak perubahan drastis saya/kami alami, dari keseharian hidup di kota untuk kemudian tiba-tiba tinggal di desa yang sepi dan listrik sangat terbatas. Tapi saya mendapat banyak hal dan pelajaran yang tak tergantikan.

Setelah mendengar permintaan ayah untuk membuat sumur, tukang-tukang yang bekerja untuk ayah saya itu minta waktu untuk memutuskan letak terbaik dari keberadaan sumur nantinya. Paling tidak 3 hari setelah hari ini, kira-kira begitu permintaannya.

Kenapa lama? Bukankah tinggal menggali tanah 2-3 meter, di bagian manapun di tanah pekarangan kami yang dekat dengan persawahan subur, air langsung mengucur di dalamnya? Itu tentu dugaan saya sebagai anak kecil.

Beberapa waktu kemudian saya mendapat cerita dari ayah dan ibu bahwa proses penentuan lokasi pembuatan sumur pun perlu teknik dan naluri tertentu. Para petang hari setelah permintaan ayah tentang sumur, para tukang itu datang kembali ke pekarangan kami yang sudah dibabat rerumputan liarnya. Mereka membawa sekeranjang daun sirih, lalu dengan hati-hati menempatkan daun-daun tersebut pada banyak bagian di pekarangan. Daun sirih itu ditelungkupkan.

Esok harinya, pagi-pagi sekali, para tukang itu datang kembali ke pekarangan kami. Mereka menengok daun-daun sirih yang ditelungkupkan di atas tanah. Setelah berbincang sebentar, si kepala tukang bergerak ke bagian tertentu untuk menancapkan bilah kayu di atas salah satu bagian tanah yang tadi diletakkan daun sirih.

Begitulah. Petang hari berikutnya kegiatan itu berlanjut. Ketika petang datang, para tukang itu datang lagi membawa sekeranjang daun sirih. Menempatkan lagi pada bagian pekarangan yang hari sebelumnya belum "tersentuh". Esok harinya pun mereka kembali datang. Lalu menancapkan bilah kayu pada bagian tertentu di atas pekarangan kami.

Sesuai kesepakatan, di hari ketiga setelah permintaan ayah tentang pembuatan sumur, tukang itu datang di siang hari menemui ayah. Di atas pekarangan kami itu, ayah menerima kepala tukang yang akan membuat sumur dan rumah.

"Begini, pak," kata kepala tukang itu. "Setelah kami tebarkan daun sirih di senja hari selama 2 hari, dan menilik banyaknya embun yang menempel pada daun-daun sirih di pagi hari, kami berpendapat bahwa calon sumur yang terbaik ada di tempat itu," kata kepala tukang sembari menuding ke satu titik. "Sebetulnya masih ada 2 lokasi yang lebih bagus. Tapi terlalu jauh dari calon lokasi rumah." Begitulah tutur pak tukang.

Saya baru "ngeh", baru sadar, bahwa ternyata ada metode "lokal dan alamiah" yang unik dalam menentukan sebuah calon lokasi sumur. Lokasi dimana embun banyak menempel di daun sirih itu dipercaya menjadi tempat terbaik untuk dijadikan sumur. Metode unik dan menarik.

Saya tidak tahu persis apakah metode tersebut bisa terverifikasi kebenarannya secara ilmiah atau tidak. Tapi pengalaman saya mendiami rumah orang tua saya selama bertahun-tahun kemudian menunjukkan titik-titik kebenaran dari metode para tukang tadi.

Beberapa kali daerah kami terlanda kemarau panjang. Namun sumur di rumah kami mampu bertahan dengan tetap mengucurkan air jernih meski debitnya berkurang. Sementara sumur tetangga terdekat kami, yang jaraknya hanya sekitar 7 meter lebih dulu kerontang--yang memaksa tetangga kami itu menumpang menimba air aumur kami. Saya tahu persis bahwa tetangga kami itu dulu tampaknya tergesa membuat sumur, dan lupa dengan metode tukang kami dalam menentukan calon lokasi sumur.

Ah, status tidak penting ini sepertinya terlalu panjang. Pasti tidak penting banget bagi orang lain. Ya, saya hanya ingin mengenang bahwa rumah masa kecil kami itu kini tidak lagi berpenghuni setelah ibu tercinta berpulang 8 tahun lalu, dan air sumur itu--kata tetangga--masih berpancar dan menggenang dengan jernih. Sumur tua itu telah menemani hidup kami bertahun-tahun, dengan kesetiaan dan cinta...

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?