Tes-Three-Mony






Ya, Tes-Three-Mony. Ini sebuah plesetan. Ini sekadar permainan bahasa, mempertautkan dua kata menjadi satu: kata “three” yang ‘menyelinap’ dalam kata “testimony”. Maksudnya kurang lebih tiga kesaksian. Ya, di balik judul plesetan pada pameran ini, tiga seniman masing-masing menghadirkan kesaksian dalam karya-karyanya.

Rangga Jalu Pamungkas, perupa asal Sragen Jawa Tengah dan baru lulus dari Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta tahun 2019 ini mengaku membincangkan soal hiperrealitas. Ada gagasan atas realitas lain yang melampaui dari realitas yang tergambarkan, atau yang senyatanya ada. Pada dasarnya Rangga memberangkatkan diri dari penggambaran atas lanskap yang biasa ditemuinya dalam keseharian, di lingkungan sekitarnya, dari masa kecilnya hingga dewasa seperti sekarang. Itu semua adalah fakta sosial yang telah diketahui.

Dalam karya kreatifnya, realitas atau fakta tersebut kemudian dibumbuinya dengan pembayangan atau imajinasi yang mengerumuni benaknya. Ada imajinasi tentang realitas lanskap jauh di masa depan yang hanya bisa dibayangkannya. Kalau dalam sejarah seni rupa Indonesia, ada semacam genre yang berasal dari olok-olok tentang pelukis yang hanya menggambarkan keindahan alam Indonesia, yakni Mooi Indie (Hindia Molek). Penggambaran tentang Mooi Indie ini sediit banyak diserap dan kemudian digubah oleh Rangga dalam kerangka kerja kreatif yang futuristik. Maka, beginilah karya-karya Rangga yang tersaji dalam pameran ini.

Pada problem yang berdekatan dengan Rangga, S. Soneo Santoso lewat beberapa karyanya juga menggubah tentang lanskap. Problem lanskap dalam kerangka pandang Soneo dibekali oleh pendalaman konsepnya tentang gejala lingkungan hidup yang bermasalah secara global. Dia melihat ada problem besar di dunia dewasa ini tentang rusaknya lingkungan hidup, fenomena pemanasan global, ozon bolong, dan sebagainya. Itu semua akibat dari eksploitasi manusia atas bumi atau lingkungan di sekitarnya. Berangkat dari problem itulah maka karya-karya Soneo seperti mempertontonkan kemurungan dan kegersangan.

Visualitas yang terpajang di dalamnya berupa cita tentang kekelaman dan kekusaman. Kalau kemudian beberapa atau sebagian karyanya lebih banyak mengeksplorasi warna-warna panas seperti merah, jingga, kuning, cokelat kejingga-jinggaan dan serupa itu, begitulah adanya. Soneo seperti memberi warning dan penegasan bahwa jagat kita ini, Sang Bumi, sedang ada problem besar dengan lingkungan hidup yang “hidup dengan sakit-sakitan”. Soneo, perupa asal Sleman, Yogyakarta yang masuk di Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta tahun 1996 ini tampaknya cukup konsisten menjumput tema tersebut akhir-akhir ini.

Sementara Bambang “Benk” Pramudiyanto, relatif berbeda dengan Rangga dan Soneo. Benk masih konsisten menggali persoalan dunia pop yang menjadi representasi zaman kekinian, dan mempertemukannya dengan problem kultur lokal. Atau kurang lebih menyatukan secara komplementatif antara yang modern dan yang tradisional. Pertemuan tersebut dimunculkan secara simbolik lewat berbagai idiom visual yang relatif cukup populer bagi banyak kalangan dewasa ini. Misalnya citra potongan mobil Mercedes Benz yang “tiba-tiba” bertemu dengan liukan citra batik motif Parangrusak.

Secara visual, karya Benk ini dianggap mengarus pada kecenderungan besar dunia Pop Art yang dipioniri oleh—antara lain—Andy Warhol di dasawarsa 1960-an. Kecenderungan visual seperti itu terus berlanjut hingga kini ketika kira-kira di dasawarsa 2000-an muncul Neo Pop Art yang dipraktekkan oleh para perupa muda. Benk, perupa asal Klaten dan masuk di FSR ISI Yogyakarta tahun 1984 ini berusaha terus untuk suntuk dengan pilihan kreatifnya ini. Ini memang pilihan tema yang menarik karena senyampang dengan perkembangan zaman kiwari, Benk juga ditanang untuk terus memperbarui kosa visual yang ada dalam karya-karyanya. Idiom-idiom visual yang dibuatnya, tak pelak, harus diaktualisasikan terus mengikuti perkembangan zaman terkini.

Ketiga perupa ini lewat karya-karyanya berupaya memberi kesaksian atau testimoni atas berbagai problem di lingkungannya lewat ketertarikan masing-masing. Proses kreatif seorang seniman memang tak lepas dari ikatan emosi dengan lingkingan dan realitas sosial karena seniman sejatinya tidak mungkin berkarya dari ruang kosong tanpa imajinasi. Pada dasarnya manusia itu adalah homo faber, makhluk yang selalu menziarahi dunianya. Selamat menyaksikan pameran ini. *** (kuss)

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?