Brunei, Cuilan Eropa
Bandara Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 2015.
Secuil Catatan Kuss Indarto
MENYUSURI
kota Bandar Seri Begawan, Brunei, di Minggu pagi terasa terlalu lengang.
Apalagi bagi aku yang datang dari negeri yang penuh dengan hiruk-pikuk manusia.
Tak ada crowd jadi terasa tak begitu asyik. Mobil sesekali meluncur di jalur
aspal hotmix yang mulus dan lapang. Mereka rata-rata melaju dengan kecepatan
tinggi, sekitar 60 km/jam ke atas.
Jalan kaki
hingga satu jam-an dan menempuh jarak kira-kira 3 km dari hotel, aku hanya
berpapasan dengan mobil, mobil dan mobil lagi. Hanya 2 sepeda motor kulihat
melintas: satu dikendarai oleh petugas delivery makanan, dan lainnya anak muda
yang tampaknya menjajal racing motor yang ber-cc tinggi. Hanya bertemu dengan 4
manusia di halte yang menanti bas awam (bus umum) yang durasi kedatangannya
sangat jarang. Sementara pejalan kaki ya hanya aku. Makanya jejalanan di Bandar
kurang nyaman bagi pejalan kaki karena tak banyak difasilitasi trotoar.
Brunei
memang kaya, tapi negeri ini sepertinya kurang orang. Dengan luas tanah 5.765
km persegi, wilayah Sultan Hassanal Bolkiah ini hanya dihuni 415.000 penduduk.
Bahkan sekitar 40% di antaranya atau 150.000 orang menggerombol di ibukota,
Bandar Seri Begawan. Coba bandingkan dengan propinsi D.I. Yogyakarya yang lebih
sempit, yakni seluas 3.185 km persegi tapi dipadati oleh 3.452.390 orang (8,5
kali lipat penduduk Brunei).
Tapi Brunei
ini menjadi salah satu negara dengan kepemilikan kendaraan tertinggi nomor 5 di
dunia. Rasionya 1: 2,65. Gampangnya, tiap 3 orang akan ditemui 1 buah mobil.
Indonesia? Jangan tanya deh! Angka-angka itu tampaknya juga didukung oleh
disain kota yang penuh jalan besar dan luas. Gedung-gedung pun agak menjauh
dari jejalanan, kecuali kawasan-kawasan lama/tua. Permukiman penduduk pun
banyak yang tersembunyi. Keadaan ini persis seperti kota-kota di Eropa.
Dengan
desain kawasan seperti itu, Brunei menjadi rapi dan indah. Tapi terasa kurang
ramah dan friendly. Aku tak bisa lihat jemuran, kilasan ruang tamu, atau warung
kopi ala Nusantara yang akrab di sini. Tak tampak rumah panggung dengan sapi
dan kambing kandang karena konon nyaris semua daging hewan itu didatangkan dari
Australia, dari ranch luas milik kerajaan Brunei. Ah, Brunei seperti sepotong
kuku Eropa di ujung utara Borneo. Brunei adalah titik kontras dari tanah
Kalimantan bila ingatan mainstream kita adalah kekumuhan dan kemacetan
Pontianak, Palangkaraya atau Balikpapan. Brunei memang makmur. Tapi maaf, aku
tetap cinta Indonesia...