Indarto Agung Sukmono, Finalis Kompetisi Lukis UOB 2016
Drawing karya Indarto Agung Sukmono.
Catatan Kuss Indarto
SALAH satu finalis Kompetisi Seni Lukis UOB 2016 adalah Indarto Agung Sukmono. Dia kelahiran Sragen tahun 1969, studi seni rupa di ISI Yogyakarta antara 1988-1994, dan seusai lulus hingga kini menetap di Kudus, Jawa Tengah. 20-an tahun dia bekerja dan berkesenian di kota pesisir utara pulau Jawa itu. Ini pilihan yang tak mudah karena dia tak lagi bisa berproses kreatif dengan percepatan yang tinggi dengan menemu kebaruan yang terus-menerus seperti ketika menetap beberapa tahun di Yogyakarta. Tak banyak rekan yang bisa ber-sparing partner secara kreatif.
Maka,
sebuah pencapaian yang mengejutkannya ketika tahun 2015 lalu namanya mencuat
sebagai peraih gelar kehormatan Juara 2 kompetisi seni rupa Indonesia Art Award
2015 (yang disponsori oleh perusahaan rokok Gudang Garam). Namanya menyeruak di
antara barusan nama seniman yang berproses kreatif di kota-kota penting
“produsen” seniman terpandang Indonesia, yakni kota Yogyakarta dan Bandung. Ya,
dia dari kota yang relatif tak diperhitungkan kekuatan seni rupanya: Kudus.
Kali ini, kembali namanya menyembul di antara 47 finalis Kompetisi Seni Lukis
UOB 2016. Ini hasil seleksi ketat yang mengerucutkan sekitar 700-an nama yang
memproposalkan 1.200-an karya. Sebuah pencapaian yang tidak main-main, meski
belum masuk di posisi puncak—setidaknya Empat Besar, itu sudah cukup sebagai pembuktian.
Karya
jagoannya yang diadu itu berupa himpunan 8 gambar atau drawing yang diberi
tajuk besar “Balada Si Pohon”. Ada 8 drawing yang masing-masing berukuran 33,2
x 26 cm. Tampak sekali bahwa tiap karya dibuat dengan intensi dan kecermatan
tinggi, untuk mengalih-ubah realitas faktual yang ditangkapnya lewat mata dan
rana dan kemudian menjadi fakta artistik berupa gambar yang diguratkan dari
batang pulpen. Proses ini menjadi bagian penting dari posisinya sebagai warga
sebuah kawasan di Kudus, sekaligus “menjubahi” dirinya sebagai seorang penyaksi
atas perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Ya, matanya adalah
kamera sosial yang kemudian ditularkannya pada tangan yang bergerak menyalin
realitas tadi dalam kepekaan artistik.
Karya
“Balada Si Pohon” ini menjadi buah tangan atas upayanya menelisik “data” dan
fakta yang ditemuinya di lapangan, di lingkungan tempat dirinya hidup. Meski
tidak semua drawing itu menggambarkan subyek secara khusus, namun banyak hal
yang bisa ditimba dari hasil “jepretannya”. Karya ini serupa kilasan dokumentasi
visual (bahkan bisa jadi dokumentasi sosial) atas tebaran fakta dan realitas
yang ada. Karya yang diposisikan paling kanan-bawah menggambarkan tentang pohon
kuda. (Ah, sayang tak dijelaskan nama lokal varietas tanaman tersebut, juga
nama Latin-nya). Pun ada gambar yang mengisahkan tentang teduhnya pohon Kamboja
(gambar bawah, ketiga dari kiri). Ada sosok laki-laki tua berbaju putih lengan
panjang dan berpeci terpapar dalam karya ini. Indarto seperti tengah
mengukuhkan identifikasi atas pohon Kamboja ini sebagai pohon yang lazim
ditanam dan berada di sebuah pemakaman, dan tubuh laki-laki itu mungkin hadir
untuk berziarah. Tentu ini tafsir yang hanya bisa dipahami secara parsial oleh
orang yang menetap di Jawa, mungkin juga di kawasan lain di Nusantara.
Ada
pula gambar yang menarasikan ihwal sebuah sendang atau kolam pemandian yang
lazimnya ada mata air besar di dalamnya. Widodari
nama sendang tersebut (gambar bawah, kedua dari kiri). Sendang ini terletak di
desa Menawan, kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Berada di antara
rimbunan pohon besar dan perkebunan warga sehingga terkesan sepi dan sakral.
Airnya yang jernih digunakan oleh penduduk sekitar untuk keperluan sehari hari.
Seperti namanya, sendang ini dikaitkan dengan bangunan kisah dalam legenda
populer tentang Joko Tarub dan para bidadari.
Lalu tampak gambar dengan subjudul “Harmoni”
(lihat gambar bawah, paling kiri). Pemandangan ini hampir setiap hari disaksikan
oleh Indarto karena hanya berjarak beberapa meter dari tempat penitipan motor
dimana dirinya setiap hari menitipkan dalam parkiran kendaraan. Pemandangan ini
membuat seniman ini kagum karena sungguh langka saat ini dimana sebuah rumah
dibiarkan ditumbuhi pohon-pohon dengan demikian alami.
Di samping itu ada karya yang bersubjudul
“Teronggok” (gambar atas, paling kanan) yang menggambarkan tentang tumpukan
sekumpulan rerantingan pohon. Sebuah pemandangan yang lazim terlihat dalam
keseharian di desa, dan menjadi begitu menarik ketika kini dikerangkai secara
artistik oleh Indarto.
Tergambar juga di sini Sumur Tulak (lihatlah
gambar atas, paling kiri). Pohon besar yang terletak di desa Krapyak ini
dikeramatkan warga sehubungan dengan mitos sumber air yang bertuah. Sebenarnya
hanyalah sumur kecil dan tidak dalam yang letaknya di sebelah selatan pohon.
Kemudian ada Sendang Bulusan (gambar atas, nomer dua dari kiri). Adalah frame
pertama dari seri Kisah Pohon. Adalah respon saya terhadap petilasan Kyai
Dudo di desa Hadipolo kecamatan Jekulo Kudus. Terkait dengan mitos jelmaan
murid sang kyai yang menjadi binatang Bulus atau kura kura. Bulus rupanya
menjadi binatang yang akrab dalam legenda masyarakat Jawa bahkan menempati
posisi khusus seperti patung kura kura besar di candi Sukuh, Karanganyar.
Karya Indarto ini terseleksi dalam 30
Besar karya terpilih atau finalis Kompetisi Seni Lukis UOB 2016. Kalau hendak
lebih jauh dikuliti, ada sekian banyak narasi yang terbentuk dari pengamatan
atas karya menarik ini. Dan ini juga akan melahirkan tafsir-tafsir yang makin
mengayakan karya. Sayang sekali memang kalau seniman yang terus mendinamisasi
diri ini tak diserap pencapaiannya di lingkungan sendiri. Seniman seperti ini
layak untuk dipantau terus pergerakan kreativitasnya, dan diberi forum yang
memadai. ***