Dicari: Seni yang Empatik dan Inspiratif

Kuss Indarto, kurator seni rupa.

Pelajari aturan seperti seorang profesional, sehingga Anda dapat melanggarnya seperti seorang seniman. (Pablo Picasso)

Hal yang lebih penting dari sebuah karya seni adalah apa yang akan ditaburnya. Seni dapat mati, sebuah lukisan dapat menghilang. Yang penting adalah benihnya. (Joan Miro)

Melakukan hal-hal kecil dengan baik merupakan langkah menuju pencapaian hal-hal besar dengan lebih baik. (Vincent van Gogh)

Perhelatan seni (rupa) semacam pameran tugas akhir (TA) yang diselenggarakan demi kepentingan akademis tak bisa lagi dianggap dengan sebelah mata. Tidak bisa diremehkan. Peristiwa ini memuat beberapa dimensi yang bisa dikulik dengan berbagai perspektif. Misalnya, pertama, publik bisa sedikit mengintip pergerakan dunia pendidikan seni dalam mengelola dan merawat dirinya di tengah dinamika lokal, nasional hingga global yang terus bergejolak. Artinya, lembaga pendidikan formal (seni rupa) menjadi salah satu etalase kecil bagi publik untuk melihat tantangan zaman yang menggerus banyak hal dan bagaimana lembaga pendidikan bersiasat serta menawarkan kemungkinan solusi atas fenomena tersebut.

Kedua, berseberangan dengan hal pertama di atas, lembaga pendidikan (seni rupa) juga dipertanyakan soal kemampuannya merawat konservatisme untuk menjaga hal-hal elementer dan bersifat basis dalam ranah akademik untuk pembekalan serta penguatan hal teknik bagi anak didik. Ya, ini memang dua hal yang secara kontradiktif posisinya nyaris selalu berdampingan satu sama lain.

Kontradiksi atau paradoks seperti ini tampaknya tidak hanya berlaku di lembaga pendidikan level sekolah menengah atas semacam SMKN 3 Kasihan, Bantul, Yogyakarta ini. Namun juga terjadi di banyak lembaga pendidikan formal seni rupa di tingkat perguruan tinggi seperti ISI Yogyakarta, bahkan Rijksakademie van beeldende kunsten (State Academy of Fine Arts) di Amsterdam, Belanda, juga CAFA (China Academy of Fine Art) di Beijing, dan berbagai perguruan tinggi seni di banyak negara di dunia.

Kampus-kampus tersebut masih merawat kontradiksi itu dalam satu helaan nafas untuk mendidik para mahasiswanya berproses kreatif. Aktivitas pelajaran atau kuliah praktik yang mendasar masih harus dilalui dengan silabus yang mungkin berusia ratusan tahun dan tetap dipertahankan demi memberikan pembelajaran mendasar bagi para anak didiknya. Seorang teman seniman Yogyakarta yang beberapa tahun lalu mendapatkan award dari sebuah kompetisi seni rupa berupa mengikuti kuliah di CAFA Beijing selama satu tahun mengisahkan bahwa proses pembelajaran praktik seni rupa di kampus seni rupa yang tua dan prestisius tersebut kira-kira masih memakai pola lama. Ada praktik menggambar bentuk, melukis model, membuat sketsa dengan pendekatan realisme yang ketat dan serius masih ditekankan untuk semua mahasiswa. Perbedaannya dengan di sini adalah jam kuliahnya yang jauh lebih lama dan intensif. Guru atau dosennya memang para jagoan-seniman seni rupa yang mumpuni dan proses pembelajarannya cenderung spartan (penuh kedisiplinan yang keras dengan sanksi berat bila ada pelanggaran).

Menariknya, di ujung akhir studi, para mahasiswa tersebut diberi kebebasan yang seluas-luasnya, sebebas-bebasnya untuk memilih corak, gaya, genre, dan pilihan kreatif masing-masing sesuai ketertarikan dan minatnya.

Realitas seperti ini ”nyambung” dengan quote dari maestro Pablo Picasso di atas bahwa “Pelajari aturan seperti seorang profesional, sehingga Anda dapat melanggarnya seperti seorang seniman”. Quote atau statemen ini sebaiknya disikapi dengan jernih bahwa ketika seseorang siswa atau mahasiswa berproses kreatif di bangku sekolah/kuliah, maka sebaiknya aturan baku, standar dan mendasar yang ada mesti diikuti dengan baik, benar dan penuh kedisiplinan seperti halnya seorang yang profesional. Namun ketika bekal pembelajaran sudah mengisi penuh kemampuan (teknisnya) maka seseorang siswa/mahasiswa tersebut bisa memposisikan dirinya pada habitnya seorang seniman yang antikemapanan, menolak sesuatu yang standar dan konvensional, serta ingin menerabasnya konservatisme dengan dinamisme dan improvisasi. Ini kira-kira yang diasumsikan sebagai ruh dasar seorang seniman.

Urutan-urutan proses seperti itu tampaknya mendekati ideal untuk menjadikan seseorang sebagai seniman profesional. Tapi semua itu akan bergantung pada masing-masing individu. Lembaga pendidikan seni rupa memiliki tanggung jawab untuk memberi pembekalan yang elementer dan vital bagi proses tersebut.

Pada kasus di SMKN 3 Kasihan, Bantul, Yogyakarta atau sekolah serupa lainnya di Indonesia mungkin bertambah lagi tanggung jawabnya. Misalnya memperkenalkan dan membekali anak didiknya dengan pengetahuan teoritik serta praktik tentang seni tradisi. Tak pelak, di tengah tsunami arus informasi yang luar biasa gelombang besarnya, akar tradisi masing-masing lokalitas tetap menarik untuk terus diingat, diperkenalkan, bahkan kalau mungkin dipelajari dengan serius. Bahwa kemudian akar tersebut akan diaktualisasikan dengan inovasi yang selaras dengan perkembangan zaman yang kekinian, itu adalah tanggung jawab masing-masing seniman untuk mampu mendinamisasikan diri dan karyanya secara terus-menerus.

Apapun out put karya kreatif masing-masing siswa, pada dasarnya karya seni rupa (mulai dari pilahan seni murni, kriya, disain, dan lainnya) memuat dua hal mendasar, yakni dunia visual dan dunia konseptual. Pada dunia visual, seorang kreator dituntut untuk mengekspresikan sekreatif mungkin aspek visualnya: bentuknya, anatominya, stilisasi, kebaruan disainnya, dan lain-lain. Sementara pada aspek konseptual, seorang kreator bertanggung jawab untuk mendasari karya visualnya dengan konten, muatan, isi, narasi, atau substansi yang jelas tujuannya, kuat tendensinya, argumentatif, syukur-syukur punya keberpihakan yang positif pada konteks dan tema tertentu.

Penguatan karya seni pada hal mendasar itu, di dunia visual dan dunia konseptual, niscaya akan bergayung bersambut baik dengan tantangan perkembangan dunia seni rupa dewasa ini yang menyambut karya seni tidak sekadar yang baik, indah, manis dan eksotik, namun juga karya seni yang empatik, berpihak, dan inspiratif bagi kehidupan bersama. Idealnya sih begitu.

Selamat berpameran! ***

#KussIndarto #KusIndarto #SMKN3KasihanBantul #HokkySyahdu #pameransenirupa #senirupaindonesia #kuratorsenirupa






Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Antara Kolektor dan Kolekdol