Djaduk Ferianto: Antara Ngeng, Mulur Mungkret, dan Ngayogjazz
Djaduk Ferianto bersama Nita Azhar dan Arni Oktaviani dalam sebuah pembukaan pameran seni rupa di OHD Museum, Magelang, Yogyakarta. Oleh Kuss Indarto (Catatan ini sudah dimuat dalam majalah Graha Padma, 2019) SOSOK laki-laki berewokan dengan postur tinggi besar itu sudah “mencegat” kami di pelataran parkiran di kompleks Padepokan Bagong Kussudiardjo siang itu. Tertawanya lepas, sebebas karya-karya musiknya yang telah mengantarkan laki-laki itu di level pencapaian dan reputasi penting dalam seni musik kontemporer (berbasis tradisi) di tanah air. G. Djaduk Ferianto nama laki-laki tersebut. Pada sebuah siang yang cukup terik itu, kami berbincang dengan penuh keriangan dan canda selama sekitar 3,5 jam. Ruang tamu di salah satu bagian dari padepokan di bilangan Kembaran, Kasihan, Bantul, D.I. Yogyakarta menjadi begitu regeng (hidup) karena penuh gelak tawa selama sesi wawancara. Di balik gaya bicaranya yang penuh humor, ada sekian banyak keseriusan dalam substansi obrolannya