Posts

Showing posts from 2013

Menanti Taksu pada karya Leksono

Image
Bebotoh Bali II, oil on canvas, 70 x 93 cm, 2012 EKSOTISME budaya Bali telah menjadi pokok bahasan utama bagi sekian banyak seniman, terutama seni rupa, entah yang datang dari mancanegara maupun Indonesia sendiri. Publik bisa menyimak deretan para perupa mancanegara yang karya-karyanya kita mengisi celah sejarah seni rupa Indonesia, seperti Arie Smit, Theo Meier, Willem Gerard Hofker, Paul Nagano, Rudolf Bonnet, Rearngsak, dan sekian banyak nama lain. Pun dengan para perupa Indonesia (selain dari Bali sendiri) yang karya-karyanya banyak atau sempat bertema utama tentang Bali, semisal Dullah, Fadjar Sidik, Affandi, dan masih segudang nama besar lain, baik yang kemudian membubung tinggi namanya sebagai seniman besar dan masuk dalam konstelasi wacana seni rupa Indonesia, maupun lepas dari perbincangan sejarah karena pencapaian karyanya dianggap kurang memadai untuk mengisi kepentingan tersebut. Leksono—sosok asal Cilacap yang sejak kecil terobsesi menjadi seniman—adalah salah sa

Colour(s) of Klowor: Dunia Warna Dunia

Oleh Kuss Indarto INI bukanlah pameran restrospektif dari perupa Klowor Waldiyono. Pameran retrospektif adalah perhelatan yang mencoba mengumpulkan artifak karya (seorang) seniman yang bertitimangsa paling tua hingga yang mutakhir, atau bermaterikan rentetan karya berdasarkan tata urut waktu (kronologis), mulai dari karya yang dibuat saat awal berproses kreatif hingga masuk pada semua pencapaian kreatifnya yang telah dilaluinya. Sekali lagi, pameran ini tidak mengarah ke tendensi itu, meski dalam perhelatan ini ada sekian banyak karya Klowor yang dibuat pada masa-masa awal debutnya sebagai perupa. Pameran ini justru memberi pengingat bagi publik—terkhusus bagi mereka yang mengetahui perjalanan kreatif Klowor—bahwa seniman ini terus berupaya melakukan pergeseran artistik secara dinamis pada karya-karyanya, sekecil apapun pergeseran itu dilakukan. Pergeseran cukup besar tersebut tampak nyata ketika publik membandingkan dua momentum yang berjarak sekitar limabelas setengah (15

Kese(t)imbangan Manusia Masdibyo

oleh Kuss Indarto [satu]: Kegaiban Pendapa   SEMENJAK kecil, seniman Masdibyo sudah punya “kelainan”. Wajar kalau ketika beranjak remaja hingga dewasa, “kelainan-kelainan” yang berbeda pada bermunculan satu persatu, tentu dengan tingkat intensi yang berbeda. “Kelainan” saat kecil dirasakannya, terutama, ketika dia tinggal bersama pakdhe-budhenya yang menetap di Semarang. Masdibyo sendiri lahir di desa Mangunharjo, kecamatan Arjosari, Pacitan, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1962. Menginjak usia empat tahun, pakdhe-budhenya menginginkan Dibyo kecil tinggal bersamanya. Di sana, Dibyo tinggal hingga kelas 4 sekolah dasar. “Kelainan” yang dirasakannya saat masa kecil di Semarang adalah kemampuannya untuk berkomunikasi dengan makhlus halus. Tentu kemampuan itu tak disadarinya, hanya dirasakannya—dan diketahui beberapa orang dewasa di sekitarnya. Tak jarang, Dibyo bermain keluar rumah setelah pulang sekolah. Tujuan utamanya adalah bermain di sebuah pendapa tua yang tak jauh dari rumah

Pemerintah DIY Akan Dirikan Akademi Komunitas

Image
  Koran Tempo, Rabu, 18 September 2013 | 05:30 WIB Pemerintah DIY Akan Dirikan Akademi Komunitas   TEMPO.CO, Yogyakarta--Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta akan mendirikan Akademi Komunitas, sebuah lembaga pendidikan tingkat Diploma di bidang seni dan budaya. "Sudah dibahas dengan Dirjen Dikti," kata Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dalam dialog bersama seniman dan budayawan di kantor Dinas Kebudayaan, Selasa 17 September 2013.   Pendirian lembaga pendidikan ini akan dibiayai dengan dana keistimewaan. Sebesar 70-80 persen dari dana keistimewaan memang dialokasikan untuk bidang kebudayaan. Lulusan sekolah, direcanakan setingkat dengan D1. "Syukur-syukur bisa naik D2," kata dia.Nantinya, lanjut dia, mahasiswa akademi adalah lulusan pendidikan setingkat SMA. Lulusan sekolah yang tak mampu kuliah karena keterbatasan biaya juga bisa mendaftar di sekolah ini secara gratis. Asal punya ketrampilan bidang seni-budaya dan kerajinan serta memiiliki mina

Aja Dumeh: Belajar pada Tanda-tanda

Oleh Kuss indarto   [satu]   MARSEKAL Muda (Marsda) Sudjadijono, Kol. (purn.) H. Totok Sudarto, dan Ki Djoko Pekik, saya kira, hadir pada pameran ini dalam kapasitas masing-masing, dan tak bisa serta-merta “disatukan” satu sama lain. Artinya, ada sejarah, titik berangkat, dan orientasi yang berbeda satu sama lain dalam memandang dan masuk di dunia seni (rupa). Dua nama pertama memiliki latar belakang pendidikan militer (angkatan udara), meniti karier militer hingga di level perwira tinggi. Sudjadijono yang hendak memasuki masa pensiun beberapa pekan mendatang, kini menyandang pangkat perwira tinggi dengan bintang dua di pundaknya, dan menjadi salah satu orang penting di Mabes TNI. Sedang Totok Sudarto meminta pensiun dini ketika karier militer merangsek terus hingga berpangkat kolonel untuk kemudian berganti haluan menjadi pejabat politik, yakni wakil bupati, di lingkungan birokrasi kabupaten Bantul. Sementara nama pamungkas, Ki Djoko Pekik—yang pernah mengenyam pengalaman kel