Mencari Karya yang Problematis
Oleh Kuss Indarto
Pada sebuah café bernama Les Select di
kawasan Montparnasse, Paris, sekitar musim panas 1993, seniman Christian
Boltanski dan Bertrand Lavier berbincang selama berjam-jam bersama kurator muda
(waktu itu), Hans Ulrich Obrist. Kurator asal Swiss, Obrist bahkan mengaku
nongkrong nyaris 24 jam di situ. Mereka membincangkan banyak problem dan
perkembangan jagat seni rupa dalam seabad terakhir—yang mereka baca, amati, dan
dirasakan bersama—terutama di Eropa Barat.
Salah satu poin penting yang ditangkap oleh
Obrist kala itu—seperti yang kemudian ditulis dalam buku “Ways of Curating” (Faber and Faber inc.: 2014)—adalah bahwa karya
seni rupa itu bukan sekadar sebentuk objek atau artefak yang terdisplai (dalam
sebuah pameran), namun juga instruksi atau petunjuk untuk mengeksekusi gagasan
perihal karya seni tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa tantangan tradisional
tentang seni itu berkait dengan soal pemahaman kreativitas, kesenimanan, dan
interpretasi. Ya, bagaimana kreativitas itu muncul dan lalu dieksekusi, bukan
dibiarkan mengambang. Bagaimana kesenimanan seseorang itu bukan sekadar
atribusi sosial, namun masalah kemampuan untuk mengeksekusi secara artistic dan
estetik dalam berkarya. Bagaimana interpretasi atas sebuah teks itu muncul,
berkembang, melahirkan tesa dan antitesa, lalu dieksekusi. Bukan digantung
dalam senyap. Obrist menambahkan kalimat dari Bertrand Lavier yang menyatakan
bahwa instruksi atau petunjuk itu juga memberi daya hidup atas karya dalam
kesadaran yang lebih real (nyata): karya-karya itu menjadi provokatif, bukan
sekadar bersifat kontemplatif penuh kesenyapan. Tapi menjadi sebuah “gerakan”
dan aksi yang “mengganggu” para apresian saat karya tersebut terpajang dalam
ruang seni. Boltanski melihat bahwa instruksi atau petunjuk bagi karya seni
instalasi itu serupa alat hitung musik analog yang repetitif namun mampu
menggugah interpretasi berbeda.
Hal ini mengisyaratkan kembali perkara klasik
dalam semesta seni rupa bahwa dalam tiap karya seni rupa nyaris selalu
bersangkutan dengan dunia bentuk dan dunia gagasan. Dunia bentuk itu menyangkut
problem fisik atau material ketika seorang seniman berproses kreatif. Dia
membutuhkan material berikut teknis untuk mengeksekusi sebuah karya dengan kecakapan
teknis dan artistiknya. Sedang pada dunia gagasan itu lebih menyoal tentang
perkara ide-ide, imajinasi, atau ruang abstrak yang ada dalam alam pikiran
seniman. Dunia bentuk membincangkan tentang aspek tampilan fisik sebuah karya
seni, sementara dunia gagasan menyoal perihal aspek muatan atau substansi karya
seni.
Pada karya seni rupa dua dimensi, dunia
bentuk ini dapat ditukikkan pada masalah teknis seperti kecakapan seniman dalam
mengeksplorasi bidang, ruang, garis, warna, komposisi, barik atau tekstur, dan
semacamnya. Berseberangan dengan problem teknis itu, aspek dunia gagasan akan
memberi ruh atau jiwa bagi karya seni rupa. Tak pelak lagi, kini, dalam zaman
seni rupa kontemporer, gagasan dalam dunia seni rupa kian kaya dan dinamis ikut
mewarnai jagat pewacanaan budaya secara umum.
Lewat dunia gagasan seniman itu karya seni
rupa terus dikayakan fungsi-fungsinya di medan sosial seni. Konsep kuno ars imitator naturam atau “seni untuk
meniru alam” yang dilontarkan Aristoteles di abad 6 SM, kini, tidak bisa
sepenuhnya diaplikasikan atau dibenarkan seratus persen. Seni tidak sekadar
memindahkan gejala fisik alam ke dalam kanvas atau karya seni yang lain. Sebaliknya,
karya seni pada beberapa kasus justru dijadikan sebagai medium bagi imajinasi, kegelisahan
dunia dalam (dan lainnya) sang seniman.
Dengan demikian fungsi-fungsi seni kian lama
kian kaya dan dinamis. Tidak saja sekadar ditempatkan sebagai perangkat untuk
meniru alam, untuk fungsi personal, namun juga diperluas seperti sebagai fungsi
sosial, fungsi literasi, dan berbagai fungsinya—dari yang konvensional hingga
yang kontroversial, dan seterusnya.
Lukisan Guernica
(1937) karya Pablo Picasso—sebagai salah satu contoh kasus (“kecil”)—bisa
diperbincangkan sekilas bahwa garis opini politik sang seniman turut memberi
pengaruh terhadap karya yang diciptakannya. Bukan karena karya itu berukuran
besar (3,49 x 7,76 meter) semata, namun secara substansial Picasso telah
menempatkan dirinya sebagai homo socius (makhluk sosial) yang resah terhadap
kondisi negaranya yang terancam porak-poranda akibat perang saudara. Karya
tersebut menjadi tanda zaman bahwa pada suatu kurun waktu tertentu pernah
seorang seniman yang memberi warning
atau peringatan kultural bagi negerinya yang terancam hancur karena perbedaan
politik yang berakibat saling membinasakan.
Pameran Dactyl ini mengisyaratkan sebuah
upaya untuk hilir mudik mengisi ruang-ruang fungsi seni yang selama ini ada dan
terjadi di sekitar masyarakat kita. Dactyl adalah sebuah kolektif seni (art collective) yang terdiri dari 8
mahasiswa Jurusan Seni Rupa, Universitas Muhammadiyah Makassar angkatan 2014.
Nama angkatan ini dianggap sebagai simbol pemersatu mahasiswa yang memiliki
latar belakang berbeda-beda. Kemudian disatukan dalam bingkai Dactyl. Dactyl
sendiri merupakan sebutan pendek dari pterodactyl, sebutan popular dari
pterosaurus. Ya, pterosaurus artinya “kadal bersayap”, salah satu jenis reptile
terbang dari ordo Pterosauria yang kini telah punah. Mereka diduga hidup dari
akhir masa Trias hingga akhir masa Kaur atau sekitar 228 hingga 66 juta tahun
yang lalu. Sebutan dan identifikasi diri sebagai “kadal bersayap” ini bisa
diduga sebagai spirit bahwa kolektif seni ini diandaikan bisa merasuk di
berbagai “segmentasi”, dari yang “di darat” dan “di udara”. Personil dalam
komunitas ini diandaikan mampu adaptif bersama personal dari kelompok atau
komunitas yang lain, yang luas cakupannya.
Dengan mempresentasikan karya seni sebanyak
56 buah, para seniman ini tidak sekadar mengabsenkan diri ke hadapan publik,
namun juga seperti berhasrat untuk mendiseminasikan gagasan kreatif dan
kulturalnya ke masyarakat luas. Lingkup atau cakupan tanggung jawab akademik
dan sosial direngkuh oleh Dactyl dalam satu kesempatan ini. Karya-karya seni
ilustrasi, lukis dan grafis dipertaruhkan untuk direspons secara bebas dan
terbuka di tengah publik (non-akademik).
***
Digital paint menjadi medium
kreatif pilihan Abd. Rahman dalam pameran ini. Gagasan dasar karya-karyanya menggambarkan tentang dunia fantasi
ketika dirinya masih kecil. Abd. Rahman serasa masih terkesan dengan dunia anak
ketika segala imajinasi yang bebas dan keinginan yang diwujudkan pada sebuah dunia
yang tidak terbatasi oleh aturan-aturan. Namun ada upaya lain yang ingin
dibenamkan dalam karyanya, yakni menyisipkan aspek kearifan lokal Indonesia,
khususnya Sulawesi. Aspek kemajuan teknologi juga dijadikan salah satu elemen
penting pada karya-karyanya. Gagasan seperti sudah lazim dieksplorasi oleh
banyak seniman di dunia. Mulai dari Jean Dubuffet di Prancis, hingga seniman
Indonesia semacam Eddie Hara, Faizal, Erca Hestu Wahyuni dan masih banyak lagi.
Catatan saya, karya-karya Abd. Rahman masih seperti terperangkap oleh logika
orang dewasa. Mungkin ditambah oleh logika orang yang terdidik. Hasilnya,
kebebasan ala dunia anak-anak belum tergali dengan optimal dan eksploratif.
Abd. Rahman masih tampak ragu, terjerat oleh logika orang dewasa dan logika
akademik tersebut.
Sementara upaya untuk mengayakan medium mulai
tampak pada karya-karya Abdul Rahman. Karyanya diterakan pada potongan kayu
yang bentuknya tidak cukup beraturan, tidak simetris. Di atas medium itulah
spirit literasi atas kekayaan kultural di sekitarnya, sebagai misal, dibedah
dan digali. Misalnya, ilustrasi tentang perahu dengan berbagai jenis dan ragam
fisiknya dijadikan sebagai sumber ide. Abdul Rahman menyadari betul tentang
atribut Indonesia sebagai Negara Maritim terbesar di dunia.
Dan “impact”-nya adalah kekayaan jenis
perahu, setidaknya yang disaksikannya di Sulawesi. Ada kapal pinisi yang banyak
dibuat oleh orang suku Bugis di Sulawesi Selatan. Ciri khas pinisi adalah
adanya dua tiang kapal utama dan tujuh layar, tiga ujung depan, dua di tengah
dan dua di belakang. Pinisi banyak dibuat di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Lalu
ada perahu jenis Patorani yang difungsikan sebagai kapal nelayan khusus untuk
menangkap ikan terbang. Konon perahu jenis ini pernah digunakan oleh armada
Kerjaan Goa. Hingga saat ini kapal patorani masih bisa dijumpai di Galesong,
Kabupaten Takalar, Sulawesi selatan. Dan ada pula perahu jenis Sandeq. Kapal
sandeq khas suku Mandar, Sulawesi Barat ini memiliki lambung yang ramping,
cadik ganda, dan penahan arus di depan mencuat. Lalu ada perahu Pledang yang
digunakan oleh para pemburu paus di Nusa Tenggara Timur menjadikan kapal jenis
perahu layar ini sebagai identitas mereka. Karya Abdul Rahman ini ditampilkan
secara bersahaja dengan teknik pewarnaan monochrome yang terkesan sebagai benda
atau artefak berusia lama. Di balik kebersahajaannya, karya semacam ini
berpotensi sebagai medium untuk transfer
of knowledge. Tergantung bagaimana content
selanjutnya akan digarap oleh sang seniman.
Pilihan kreatif menarik juga dikerjakan oleh
Aidillah Naring. Alternatif mediumnya sederhana: drawing di atas kertas dengan menggunakan ballpoint. Dia membincangkan narasi besar, yakni tentang
kebudayaan. Pada intinya seniman ini galau ketika kini melihat masyarakat
seakan-akan cuek pada budaya yang terserak
di sekitar. Tapi langsung ribut dan heboh ketika budayanya diklaim oleh negara
lain, seperti kasus kuda lumping, motif batik dari Jawa, reog, angklung, dan
lainnya. Tema-tema seperti ini sangat menarik karena berpotensi masuk ke ruang
diskursif yang kompleks. Apalagi bila kemudian secara visual Aidillah mampu
menampilkan sisi unik tema, misalnya aspek ironi yang kontradiktif. Aspek ini
yang tampaknya belum tergarap dengan kuat. Juga upaya untuk mengayakan medium
dengan, misalnya menggunakan ballpoint
di atas kanvas yang pasti akan punya titik beda ketimbang media kertas.
Relatif satu rel
dengan Aidillah adalah Eki Asfari yang menguliti tema berbau sosial politik.
Tema ini diberangkatkan oleh pengidolaan Eki terhadap tokoh-tokoh yang
digambarkan. Ada tokoh pembela HAM, Munir, lalu buruh pabrik arloji, Marsinah
dari Sidoarjo, dekat Surabaya, Jatim, dan tokoh penyair aktivis, Wiji Thukul.
“Saya sangat mengidolakan mereka. Mereka adalah orang-orang yang rela hidupnya
terancam demi orang lain. Membela dan mewakili suara masyarakat, hak yang kita
miliki sejak lahir,” tutur Eki.
Eki
menggambarkan tokoh-tokoh ini dengan teknik blok dan pewarnaan hitam-putih atau
monochrome. Tema “Melawan Lupa” dari karya-karya Eki ini mengingatkan public
pada kata-kata tokoh Mirek dalam novel fiksi Milan Kundera, Book of Laughter
and Forgetting (Kitab Lupa dan Gelak Tawa, 1971). Tokoh Mirek mengatakan bahwa
“perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa” yang merujuk pada
insiden tewasnya tokoh protagonist Clementis yang digantung oleh penguasa
komunis Gottwald yang totaliter. Sosok Munir, Marsinah, Wiji Thukul adalah
deretan nama yang mereprsentasikan simbol perjuangan melawan kekuasaan yang
cenderung menghalalkan segala cara atau machevelian. Mereka secara faktual
tewas dengan cara misterius dan sudah bisa dipastikan karena perjuangan mereka
melawan kekuasaan Negara yang otoriter. Karya Eki ini menarik, dan akan lebih
menarik pula ketika memunculkan sosok-sosok korban politik kekuasaan dari
berbagai Negara yang telah ikonik dengan problem perjuangan serupa.
Serupa dengan
Abdul Rahman, karya-karya Fathul Fajeri Mahdar menggunakan medium yang relatif
sama, yakni potongan kayu. Kayu dibelah horizontal, dan kemudian garis tepi
potongan bidang kayu itu adalah diameter dari pohon tersebut. Lalu di atas kayu
itu digambarkanlah wajah-wajah satwa asli Indonesia yang terbilang langka
seperti Dicerorhinus sumatrensis
(Badak Sumatra), Panthera tigris sumatrae
(harimau Sumatera), Elephas maximus
borneensis (gajah Kalimantan), hingga Cervus
unicolor (rusa sambar). Semuanya adalah satwa yang dilindungi secara hukum
di beberapa ekosistemnya di Sumatera atau pulau lain.
Fathul menuturkan
bahwa, “Saya mengangkat tema ini bermula dari kegelisahan terhadap beberapa
satwa yang terancam punah akibat oknum yang memanfaatkan hewan ini untuk diperdagangkan,
dan mengambil alih habitat hewan tersebut untuk permukiman dan perkebunan.
Ekosistem hewan-hewan ini pun hilang.” Fathul memanfaatkan secara maksimal
warna yang ada untuk karyanya. Ini titik bedanya dengan karya Abdul Rahman yang
menggali keunikan karya monochrome
(satu warna). Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Kemampuan Fathul
dalam mengelaborasi objek secara cukup detail menjadikan karya-karyanya menjadi
kuat dan berkarakter.
Sementara itu Iswan
Bintang menukikkan tema budaya sebagai pokok soal pada karya-karyanya dengan
membincangkan masalah benda pusaka lokal Sulawesi. Iswan menghadirkan beberapa
bentuk senjata atau benda pusaka dan makna yang divisualkan dalam media kanvas.
Tujuannya, tentu, untuk memperkenalkan kekayaan budaya Sulawesi dalam hal ini
benda pusaka atau heritage object. Iswan
menggarap tema tersebut dengan asumsi “agar di era modernisasi ini tidak
mengalami degradasi kepedulian terhadap peninggalan leluhur kita.” Lewat karya
ini Iswan Bintang ingin menyampaikan kepada publik bahwasanya Benda Pusaka yang
dibuat oleh para leluhur bukan sekadar berfungsi sebagai perkakas (alat
perang), melainkan juga memiliki fungsi estetik dan juga fungsi spiritual.
Minat yang kuat
dari Iswan Bintang terhadap tema Budaya atau Benda Pusaka antara lain ingin “menyalakan
alarm kepedulian” dalam masyarakat terhadap budaya dalam bentuk visual dua
dimensi (lukisan). Dengan siasat tersebut kiranya masyarakat terutama generasi
muda tidak mengalami alienasi atau gegar budaya ketika menyimak benda pusaka.
Karya ini juga sebagai bentuk apresiasi kepada mahakarya orang-orang terdahulu—dimana
tiap bentuk dan ornament-ornamen bilah besinya mengandung makna dan mengandung
unsur spiritual. Ya, memang Iswan Bintang dengan sengaja menghadirkan benda
atau senjata lokal khas Sulawesi, dan mempertautkannya dengan simbol visual
tertentu, seperti bentuk ornamen ukir dan potongan huruf-huruf kuno yang dulu pernah
dijadikan sebagai sarana komunikasi atau transfer
of knowledge bagi masyarakat setempat. Dari tampilan karya Iswan ini
sebenarnya publik makin dikuatkan pemahamannya bahwa karya seni rupa dapat
difungsikan secara lebih meluas. Misalnya—untuk konteks karya ini—sebagai bentuk
dokumentasi visual atas kekayaan pusaka, atau sebagai salah sau wujud karya
antropologi visual.
Pada karya-karya Ma’ruv Ghani publik akan
disuguhi lukisan 7 wajah Presiden RI. Karya diekspresikan di media kanvas
ukuran 80 x 120cm, dieksekusi dengan teknik airbrush.
Ma’ruv membilang bahwa, “Karya ini dibuat dengan tujuan untuk mengajak kembali
generasi muda—entah itu pelajar, mahasiswa, atau yang sudah menyelesaiakan
pendidikannya—yang mungkin saat ini masih banyak yang belum mengetahui biografi
ke-7 pemimpin Indonesia tersebut.” Lebih jauh, seniman ini menaruh pengharapan
agar kaum muda bangsa bisa belajar tentang spirit memperjuangkan kedaulatan
bangsa.
Sebagai sebuah
gagasan untuk “mengurutkan kembali” deretan orang-orang yang pernah menjabat
sebagai presiden RI, tentu sangat menarik. Juga menampilkan kliping surat kabar
yang mengangkat peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi pada masing-masing
pemimpin, pasti ada dalih yang telah terkonsep sebelumnya. Problemnya adalah,
seberapa kuat nilai representativeness kliping surat kabar tersebut dalam
memperkuat konstruksi sosok Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, dan seterusnya?
Bagaimana pula pertimbangan artistik atas elemen visual tersebut dalam
keseluruhan karya? Inilah yang saya lihat pada karya-karya Ma’ruv ini. Karakter
Bung Karno, atau Pak Harto yang relatif telah mulai cukup kuat, justru
terkurangi oleh kehadiran potongan (berita) surat kabar yang ditempatkan dengan
pertimbangan artistik cukup minimal. Bahkan terkesan mengganggu sosok utama
tiap karya. Citra visual simbolik dan ikonik khas pencapaian masing-masing
presiden, mungkin, akan menjadi alternatif solusi. Misalnya drawing pesawat
terbang CN 235 mungkin pas ditempatkan di latar belakang Habibie. Satelit
Palapa mengiringi figur Soeharto, Patung-patung simbol kebebasan mendampingi
sosok Bung Karno, dan semacamnya.
Terakhir, bila
menyimak karya-karya Zaki Fausan, publik seperti dipersuasi untuk ikut
merasakan keresahan atau pengalaman empirik menyoal tentang kehidupan manusia
pulau. Keterbatasan sudah menjadi hal yang identik tentang Zaki dan masyarakat
di sekitarnya yang hidup di kawasan pesisir. Dalam proses berkarya, Zaki menghadirkan
beberapa simbol yang nyata terjadi di sana, serta beberapa mitos yang
dipercayai manusia pulau.
Zaki
menuturkan, “Simbol itu misalnya tentang hewan lumba-lumba yang dianggap
sebagai hewan penolong, simbol tentang keterbatasan tekhnologi, simbol kapal
sebagai media mata pencaharian, simbol pendidikan yang menjadi persoalan
subtansial di pesisir, simbol anak pulau dengan permainannya seperti kapal-kapalan,
bola, dan kelereng.”
Semuanya jadi
semacam early warning karena tujuan
dari konsep ini tentu memberikan notifikasi khusus kepada penguasa setempat
bahwa ada manusia-manusia pesisir yang juga butuh perhatian yang lebih,
terkhusus pada wilayah pendidikan dan keterbatasannya.
Zaki
mengeksekusi gagasan kreatif dan keresahan sosial tersebut dengan media digital
dengan software Sketchbook dan Photoshop serta pen tablet. Ya, digital paint
menjadi pilihan kreatifnya. Tak ada problem dengan pilihan medium dan perangkat
tersebut. Pertanyaan yang bisa mengemuka justru pada pilihan ekspresi visual
yang diungkapkan oleh karya garapan Zaki: kenapa gagasan dasar yang menarik ini
nyaris semuanya dieksekusi dengan corak karya yang serupa karikatur atau poster
(minus teks)? Saya tidak menyatakan bahwa karya rupa jenis karikatur atau
poster menempati kasta yang lebih rendah. Bukan! Namun menyimak kecakapan
teknis Zaki yang relatif cukup memadai ini, sayangnya, belum dioptimalkan untuk
mencipta karya rupa atau lukis problematis. Artinya tiap bentang karyanya
adalah serupa pelukisan lengkap dan komprehensif serta di dalamnya menyertakan
substansi problema yang ingin disampaikan. Kita bisa berkaca pada karya S.
Sudjojono—misalnya—yang menggambarkan dengan cukup detil, riuh, kompleks suatu
lanskap sebuah kawasan, namun di dalamnya tetap dibenamkan problem kritis sebagai
sebuah pesan.
Secara umum,
pameran kolektif seni Dactyl atau Pterodactyl dari 8 seniman dengan 56
karya ini menarik untuk disimak. Masing-masing memiliki ketertarikan isu dan
tema, dan tiap-tiap dari personal di dalamnya mempunyai skill yang beragam.
Pencapaian artistik dan estetiknya pun pasti telah nampak (meski ini akan bisa
dinilai secara subyektif oleh masing-masing orang).
Andaikan
menjadi seniman masih tetap sebagai pilihan hidup ke depan, ada berbagai agenda
persoalan yang perlu dikedepankan. Pertama,
ada kehendak atau hasrat untuk mengelola isu dan tema yang lebih fokus. Ada
banyak contoh bagaimana seniman yang memiliki kemampuan teknis sangat memadai
namun secara substansial kurang cakap mengelola isu dan tema sebagai basis dan
ruh karyanya. Akhirnya karya yang dilahirkan (mungkin) bagus secara teknis,
namun kurang pendalaman. Kedua, ada
kehendak untuk membangun jejaring kerja secara personal dan komunal ke
ruang-ruang kerja yang lebih luas dan beragam. Problem besar akan segera
memerangkap ketika seseorang seniman hanya berhenti di satu titik tujuan tanpa
mencoba membangun pengayaan gagasan, pengayaan jejaring kerja untuk menangkap
setiap gejala kebaruan di dalam dan di luar diri dan lingkungannya. Ketiga, ada
kehendak untuk terus melakukan kolaborasi (collaboration),
bukan sekadar berpartisipasi (participation)—khususnya
ketika seniman dihadapkan pada sebuah kolektif seni atau komunitas semacamnya.
Dalam kolaborasi tiap-tiap individu memiliki kesempatan yang setara dalam
mengisi konten, konsep dan kepemilikan hingga keputusan kreatif. Sementara
dalam pola relasi seniman sebagai partisipan sebuah komunitas, karena posisi
tawarnya yang bisa mengambang, maka garis tanggung jawabnya bisa lemah dan abai
terhadap kebersamaan atau kolektivitas.
Selamat
berpameran untuk Dactyl atau Pterodactyl. Jalan masih panjang dan terbuka untuk
orang-orang yang selalu menggenggam pengharapan dan optimisme. ***
Kuss Indarto, kurator
dan penulis seni rupa, tinggal di Yogyakarta