Posts

Showing posts from August, 2015

Kota, Ruang, dan Landasannya

Image
Potongan pemandangan kota Dubai. Oleh Kuss Indarto PADA bulan Juli 2008 lalu, dalam kongres IUA (International Union of Architects) yang berlangsung di kota Torino, Italia, seorang arsitek berkelas internasional, Peter Eisenman memberikan sebuah ceramah yang mengesankan. Dari pemaparan panjang itu—seperti yang bisa dikutip dari buku “Mengubah Dunia Bareng-bareng” (2015) yang ditulis oleh Ridwan Kamil (walikota Bandung) dan Irfan Amalee—ada setidaknya 6 (enam) poin penting yang berkaitan dengan problem arsitektur kontemporer.   Pertama , kita diingatkan bahwa dunia sedang dalam krisis diskursus arsitektur. Eisenman menyebut bahwa “saat ini kita berada dalam dasawarsa yang tidak menawarkan nilai baru”. Yang ada hanyalah lateness atau kebaruan demi kebaruan geometri arsitektur yang berubah secara periodik, baik tahunan, bulanan, atau mingguan. Tak ada kegairahan pada perdebatan arsitektur dunia, seperti halnya ketika arsitektur modern bergeser ke post-modern , atau

Antara Pemenang dan Pecundang

Image
Oleh Kuss Indarto MENYIMAK karya-karya lukis Afriani dalam tiga kali pameran tunggalnya seperti menatap irisan kecil panorama Indonesia yang penuh keburaman—meski ada cercah harapan. Menonton bentang-bentang kanvas Afriani dalam sewindu terakhir seperti merunuti pergeseran visual juga perkembangan substansi karya yang cukup tertata dan lumayan terkonsep. Dari pameran tunggal pertamanya tahun 2010 yang bertajuk “Vox Populi” lalu berlanjut pada “Prahara Sunyi” (tahun 2013), hingga “Be The Winner” yang dipresentasikan kali ini, apresian—setidaknya saya—bisa melihat dan merasakan gerak evolutif dari perjalanan kreatif seorang perupa yang berhasrat kuat membuat titik-titik pencapaian dari waktu ke waktu. Perkembangan dan gerak yang evolutif tampaknya menjadi modus dan pilihannya. Bukan bergerak secara revolutif/revolusioner atau terlalu kontras dan bergegas sehingga sangat mungkin melenyapkan jejak langkah kreatif yang ditorehkan sebelumnya. Karya yang dikerjakannya untuk pameran kali ini

Berkubu dengan Buku

Image
Dalam keluarga, perlu membangun atmosfir untuk mencintai buku. (foto: kuss indarto) oleh Kuss Indarto SAYA terkejut ketika suatu sore mendapati anak perempuan saya—yang masih duduk di kelas 2 SD—tengah duduk di tempat tidur sembari takzim menyimak sebuah buku di hadapannya: Kumpulan Cerita Pendek karya Dostoyevky. Buku itu tentu hasil terjemahan, dan dipinjamnya dari perpustakaan sekolahan. Saya berusaha menyembunyikan keterkejutan dengan mencium kening anak saya, lalu meninggalkannya sendiri—agar dia khusyuk menuntaskan bacaannya. Keterkejutan saya, karena, pertama, pada usia yang belum genap 8 tahun, anak pertama saya itu sudah mulai fasih dan doyan membaca—kukira jauh lebih fasih ketimbang saya ketika masuk dalam usia yang sama puluhan tahun lalu. Generasi muda bangsa ini, tampaknya, berkembang kecerdasannya. Kedua, kebutuhan untuk membaca pada generasi sekarang—setidaknya anak saya—relatif bisa terakomodasi oleh banyaknya kehadiran buku fisik, termasuk di sekolahan anak saya