Posts

Showing posts from June, 2018

Oom GM Sudarta, Selamat Jalan...

Image
Sosok GM Sudarta. (foto: Kompas) Damar, yang kini telah berkeluarga dan menetap di Yogyakarta, Jumat kemarin seharian pergi ke perumahan di bilangan Gemblengan, Kalikotes, Klaten, Jawa Tengah. Hampir sehari penuh dia membersihkan rumah besar milik orang tuanya yang telah bertahun-tahun dibiarkan kosong tanpa penghuni. Tetangga rumah besar itu, seniman Karang Sasangka—yang juga anak pelukis senior almarhum Rustamadji—sempat menyapa dan menyatakan keheranannya karena tumben Damar datang dan bersih-bersih rumah. Rumah itu selama ini hanya dititipkan kepada salah seorang di kampung itu untuk dibersihkan sekadarnya, tapi tidak ada yang mendiaminya. “Iya, ini saya bersihkan, biar kelak anak-anak saya yang akan menempatinya,” tutur Damar seperti ditirukan oleh Karang Sasangka. Rumah dengan dua gapura khas Bali itu memang terasa wingit bila malam tiba karena bercahaya minim sementara ukuran rumah berikut pekarangannya terasa begitu besar dan luas ketimbang rumah-rumah lain di

Gomblang

Image
Ini seperti blessing in disguise dalam bentuk yang berbeda. Liburan Lebaran ini rencananya ingin ke Curug (air terjun) Cipendok di kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah. Tapi sepertinya itu telah menjadi destinasi wisata favorit dan mainstream. Jadi terlalu riuh dan kurang nyaman. Apalagi Baturraden yang pasti lebih crowded karena terlalu banyak pengunjung. Kendaraan kuarahkan mencari kawasan ketinggian yang mungkin ada panorama bagus. Pada sebuah persimpangan, oh, ada banner kecil yang menawarkan sebuah tempat bernama "Curug Gomblang". Ah, ternyata aku kurang gaul, ada banyak tempat wisata di Banyumas atau sekitar kota Purwokerto. Kendaraan kupacu pelahan karena jalan tak terlalu lebar dan cukup ramai situasinya. Dari kota kecamatan Kedungbanteng ke arah utara. Desa di utara Kedungbanteng yang pernah kudatangi beberapa tahun lalu adalah desa Windujaya. Sekarang kondisi jalannya bagus tapi tetap harus hati-hati karena sempit dengan salah satu

Pangan(an)

Image
Kue clorot atau dhumbeg. Lebaran sudah berakhir meski atmosfirnya masih sedikit berpendar seminggu setelah tanggal 1-2 Syawal. Atmosfir itu dibangun, antara lain, oleh makanan yang masih tersaji di meja-meja tamu di banyak rumah yang merayakan Idul Fitri atau lebaran. Banyaknya makanan atau kuliner yang tersaji di rumah-rumah memang menjadi salah satu penanda penting datangnya lebaran--hari istimewa orang mus lim (di Indonesia). Kekayaan dan keragaman kuliner di pelbagai kawasan di Nusantara kembali (di)muncul(kan) pada momentum itu, meski mungkin lambat laun mulai surut aneka ragamnya. Makanan lokal secara pelahan digeser oleh makanan dari luar yang dianggap mudah cara pembuatannya, awet hingga bertahan beberapa minggu, dan mudah mencari bahan bakunya. Misalnya kastengel. Kini camilan ringan asal negeri kafir Belanda ini sudah sangat populer sebagai hidangan khas lebaran. Di meja-meja tamu masyarakat Jawa, camilan lokal sebenarnya masih cukup banyak tersedia, t

Cinta Christo

Legenda itu bernama Christo. Lengkapnya: Christo Vladimirof Javacheff. Laki-laki sepuh yang pada 13 Juni 2018 berusia 83 tahun ini tidak menghentikan jejak kelegendaannya dengan karya-karya kolosal yang telah dibuatnya puluhan tahun lalu. Christo terus bergerak melampaui detak-detak jantungnya yang mulai melemah karena kerentaannya. Karya “seni membungkus” (sebagian kritisi seni menyebutnya sebagai seni instalasi, atau sebagaian karya lainnya diidentifikasi sebagai land art, atau environmental art) yang telah dikreasi kini menjadi jejak penting sejarah seni rupa dunia. Karya-karyanya terasa melegenda karena sering dibuat antara lain dengan aspek kolosalitasnya yang luar biasa, anggarannya yang jumbo, dan proses pembuatan yang penuh kompleksitas. Tahun 1995, misalnya, Christo bersama istrinya Jeanne-Claude membungkus gedung parlemen Jerman (Reichstag) di Berlin. Proses membungkus gedung itu memakan waktu hingga 8 hari, 17-24 Juni 1995. Maklum, seniman kelahiran Gabrovo

Yustoni Volunteero Berpulang

Bersama teman-teman seniman Yogya, paruh kedua 1998, Yustoni Volunteero mendirikan Taring Padi, sebuah komunitas seni rupa kerakyatan. Garis orientasi estetikanya kurang lebih berupaya menngeluti seni rupa realisme sosial yang kekiri-kirian haluan politiknya. Ya, kira-kira seperti komunitas serupa yang hidup sekitar 1950-1960-an, yakni Bumi Tarung. Komunitas Taring Padi diresmikan pendiriannya pada sebuah sore, di halaman kantor LBH (Lembaga Bantuan Hukum), bilangan Kadipaten, Yogyakarta. Taring Padi menjadi ruang ekspresi penting seorang Yustoni. Aktivitas seninya adalah juga aktivitas politik yang cukup relevan untuk mengisi masa pancaroba setelah jatuhnya rezim Orde Baru untuk memasuki era Reformasi. Itu masa-masa penting ketika masyarakat yang telah 3 dasawarsa dikungkung oleh pemerintahan yang totaliter di bawah Soeharto, tiba-tiba menikmati kebebasan penuh. Toni dan Taring Padi bisa dibilang sebagai "art-tivist" karena beberapa aktivitas seninya dipra