Posts

Showing posts from 2006

East Art Map

Image
Menurut majalah Artforum, East Art Map ini adalah salah satu buku (seni) terbaik tahun ini, di samping judul2 lain seperti Eat the Document , sebuah novel karya Dana Spiotta dan We karya Yevgeny Zamyatin. East Art Map ditulis secara kolaboratif oleh lima seniman yang melakukan survei atas geliat produksi seni di bawah kekuasaan pemerintahan Komunis dari tahun 1945 hingga tahun2 terakhir ini, terutama di Slovenia. Sepertinya menarik banget. Sayang sementara ini hanya bisa baca sinopsisnya aja. Entah bisa atau enggak baca seluruhnya. Ah, seandainya... Grrrrfff!!

Museum Situs Ingatan

(Tulisan ini dimuat dalam katalog pameran Homage 2 Homesite . Pameran ini berlangsung di eks kampus Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, di Gampingan, Wirobrajan, Yogyakarta) Oleh Kuss Indarto Sesungguhnya, tulisan yang hendak ngalor-ngidul ini tak berhasrat banyak untuk mendedahkan problem substansial atas teks visual (yang bertebaran di ruang pamer) seperti yang ditengarai oleh tajuk pameran ini. Dan sejatinya, memang, label Homage 2 Homesite (Kembali ke Gampingan) “sekadar” judul penanda pameran, bukan tajuk kuratorial yang galibnya dengan kuat mengimbas pada implimentasi atas rentetan karya-karya seni rupa di dalamnya. Ya, terus terang, ini memang merupakan pameran “dalam rangka”, bukan pameran “dengan kerangka” tematik yang ketat dan rigid . Tak berbeda jauh ketimbang perhelatan sebelumnya, yakni Melukis Lagi di Gampingan yang berlangsung Minggu, 19 November 2006 lalu, pameran ini memberangkatkan diri dari upaya “romantik” untuk merawat ingatan. Ingatan, seperti yang digagas oleh pe

DPR yang D-Rp

Image
"Di Sini Mandi Uang". Kukira ini merupakan salah atu karya performance ar t yang jenial di Yogyakarta dalam tiga tahun terakhir ini. 15 orang kampung Gamping itu didaulat oleh teman2 Kelompok Seringgit untuk memajang kalimat cerdas dan kontekstual ketika mereka hadir persis di depan gedung DPRD Yogyakarta, kira-kira Agustus 2004 lalu. Ini menjadi bagian dari kreasi ratusan seniman Yogyakarta yang waktu itu diprakarsai oleh Kerupuk (Komunitas Ruang Publik Kota) Yogyakarta yang menggalang proyek seni "Di Sini Akan Dibangun Mall". Ya, itulah bentuk respons seniman dan aktivis perkotaan atas rencana pembangunan belasan mall di sekujur kota Yogyakarta. Dan beginilah salah satu "sikap politik" Kelompok Seringgit atas wacana mall-isasi Yogya. Dapat dipahami bahwa menurut para seniman ini, kunci persoalan kasus mall-isasi teramat berkait pada attitude politik para anggota DPRD yang sangat permisif bin akomodatif bukan karena nilai fungsional bangunan kotak sabun r
Akhir November lalu, Sabtu tanggal 25 persisnya, saat didaulat untuk ngobrol di hadapan puluhan seniman Purwokerto, aku seperti disadarkan oleh realitas jagat seni rupa di sekitarku yang masih sangat-sangat beragam gradasi pemahamannya atas dunia seni rupa itu sendiri. Di Purwokerto, seperti halnya yang dialami oleh seniman di kota lain di Jawa, apalagi di luar Jawa, masih banyak berkutat pada problem elementer yang cukup berjarak dengan perkembangan di Yogya. Dialog yang dilakukan beberapa jam setelah pembukaan pameran seniman Trio Faham (mas Fathur, pak Hadi Wijaya, dan mas Medi) ini berlangsung begitru menggairahkan hingga berlangsung hampir 4 jam sampai jam 23.30-an. Aku cukup capek juga sih, tapi senang. Banyak hal bisa kulontarkan untuk memberi pengayaan pikiran atas perkembangan seni rupa yang selama ini belum terpikirkan oleh teman2 seniman di Purwokerto. Pun aku mendapatkan banyak fakta menarik tentang geliat perkembangan mereka di tengah apatisme publik dan negara terhadap ja

Buntut, Stok Jadul

Di bawah ini kembali tulisan stok lamaku yang jadul banget. Saat itu masih 22 tahun, masih kuliah dan mulai latihan nyari2 duit sendiri buat nutup biaya kuliah hehehe. Kukorek lagi tulisan ini untuk pengingat bagiku sendiri bahwa, "Heyy, 14 tahun lalu kamu sudah bisa nulis! Yang maju donk, jangan jalan di empat!" Yah, kayaknya aku masih jalan di tempat tuh... Huhuhu! Buntut Oleh Kuss Indarto Tahukah Saudara arti judul di atas? Rasanya memori-otak kita tak perlu banyak memboroskan waktu untuk berlama-lama menjawab bahwa buntut adalah dua atau tiga nomor dari 7 nomor yang muncul tiap Rabu malam sebagai ‘program nasional’ mingguan pemerintah untuk mengumpulkan duwit (dana olahraga) dari sebagian di antara kita yang suka bergelar sebagai kaum ‘dermawan-sosial’ dan senang menggantang asap, membeli selembar kertas berisi (= berhadiah) satu milyar imajinasi. Tapi tak perlulah kita berpanjang-kata tentang buntut yang satu ini. Cukup Ibu Haryati Soebadio (Menteri Sosial kita) sajalah

Pameran di Purwokerto

Lebaran lalu, saat mudik di Banyumas, aku didatangi oleh beberapa seniman Purwokerto. Intinya, aku diajak untuk membantu menulis kata pengantar pada katalogus pameran 3 pelukis: Pak Hadi Wijaya, mas Medi dan Mas Fathur. Tak pelak, seharian itu, aku muter2 di rumah mereka, hingga malam hari. Ibuku yang masih kangen di rumah kutinggal bersama istriku, 2 keponakanku, dan adiku. Hehehe. Aku juga sekalian mampir di rumah pak novelis Ahmad Tohari yang masih satu kecamatan dengan rumah ibuku. Jadinya ya tulisan di bawah ini. Singkat banget karena dibatasi gak boleh panjang2, tapi gak jelas standarnya berapa karakter, berapa kata, atau gimana gitu. Ya, udah, jadinya ya tulisan yang kira2 kusesuaikan dengan audiens di Purwokerto. Mungkin aku sedikit underestimate . Tapi ya, kekhawatiran itu akan kubalas pada sesi acara diskusi malam Minggu besok itu. Aku udah siapin banyak materi visual, siapa tahu banyak membantu memberi pembayangan atas progres seni rupa dewasa ini. Aku sangat tertarik untuk

Melihat Teks, Meraba Konteks

Oleh Kuss Indarto (Teks ini telah dimuat di leaflet pameran lukisan tiga pelukis Purwokerto: Fathur, Hadi Wijaya, dan Medi, bertajuk Transisi 2006 yang berlangsung 25-30 November 2006 di Gedung Kesenian Soetedja Purwokerto) Dewasa ini telah banyak cara pandang seniman dalam mendasari praktik berkeseniannya, terkhusus di ranah seni rupa. Ada seniman yang memberlakukan karya-karyanya sebagai hasil ekspresi pribadi yang cenderung mengedepankan aspek personalitas diri. Bahkan terkadang begitu kuat menekankan semangat narsisisme, dimana citra diri (self) menjadi pusat pemaknaan. Pun masih banyak seniman yang memiliki modus kreatif dalam melakukan praktik berkarya sebagai proses mimesis atau meniru (alam) seperti pernah diteorikan oleh filsuf Plato berabad-abad lalu. Pada perkembangannya, praktik berkesenian telah begitu beragam sesuai dengan tuntutan dan sistem nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu yang terus bergerak. Dengan demikian, semangat jaman (zeitgeist) tidak sekadar memberi

Tulisan Jadul

Aku terkesiap saat Janu, teman yang usianya sekitar 14-an tahun di bawahku, dan masih kuliah, datang beberapa hari lalu dan bawa majalah kampus, Sani . Wuih! Itu majalah yang aku dan beberapa teman buat saat kuliah di ISI Yogya masuk semester 4, kira-kira nyaris 15 tahun lalu. Saat aku masih lugu, "latihan" berambut gondrong, pakaian dikumal-kumalkan, gaya dicuek2kan. Njijiki banget kae kalo inget. Tapi masih imut abis, paling enggak waktu udah bisa gonta-ganti cewek. Sok playboy bin Don Juan norak kae. Njijiki pooollll! Hahahaha, lucu banget deh. Ini nih tulisan anak yang baru latihan nulis di tengah lingkungan kampusku yang jauh dari atmosfir intelektual(itas). Isinya cuman adu nyentrik, adu norak etcetera hahaha. Aku inget, itu kutulis beberapa bulan sebelum aku masuk kerja jadi karikaturis/ilustrator di harian Bernas yang membuat kuliahku jadi molor sepuluh tahun hahahaha! Bayangin, karena tiap semester ganti kartu mahasiswa baru, so aku punya 20 kartu mahasiswa! Njijiki

Obat Stress

Coba, ah, ngeliatin gambar ini barang 30 atau 45 detik. ali2 aja ada efek optisnya. Ya, sugesti aja. Kalau gak salah gambar ini "pengembangan" dari karya Optical Art-nya Victor Vassarelly yang emang efeknya mengelabuhi mata. Atau malah ngrusak mata hehehe
Image

Aku Datang, Aku Senang2, Aku Girang

Yayasan Yogyakarta Seni Nusantara bekerjasama dengan para seniman alumni Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta akan mengadakan perhelatan Melukis Lagi di Gampingan, Minggu 19 November 2006 mendatang. Acara akan berlangsung sehari penuh, mulai pukul 08.00 pagi hingga 18.00 WIB bertempat di bekas kampus STSRI Asri atau Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, di bilangan Gampingan, Wirobrajan, Yogyakarta (belakang pasar Serangan, Wirobrajan). Perhelatan ini dihasratkan sebagai forum komunikasi antar seniman seni rupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, sekaligus sebagai upaya sosialisasi atas rencana pembangunan Jogja National Museum. Acara melukis bersama ini tidak sekadar merawat semangat romantisme atas keberadaan (bekas) kampus seni rupa tertua di Indonesia itu, tetapi juga dimaksudkan sebagai "pintu masukâ" bagi upaya mewacanakan lebih lanjut gagasan berdirinya Jogja National Museum. Oleh karenanya, acara ini tidak ditendensikan sebagai perhelatan yang bersifat internal, tetapi t
"The man of knowledge must be able not only to love his enemies but also to hate his friends." Friedrich Nietzsche

Art Child 1

Image

Art Child 2

Aku senang dapat kesempatan dan dipercaya oleh Mas Totok dari PPPG Kesenian untuk ikut nulis kata pengantar di katalog pameran lukisan anak-anak, Art Child . Sedianya pameran itu dibuka Sabtu, 11 November 2006 besok di Taman Budaya Yogyakarta. Itu tuh sebelah barat Toko Progo, Gondomanan. Sebaiknya Anda nonton deh. Ajak anak atau keponakan Anda. Bagus2 kok. Bayangin, anak2 nglukis segede 4 meter dan bagus2. Itu tuh di atas, salah satu contohnya, karya anak Perancis. (Sayang gak jelas anak usia berapa tahun. Tapi kalau nurut teorinya Viktor Lowenfeld sih, anak2 ya 0-14 tahun). Ada dua pameran sebenarnya, tapi di jadiin satu, yaitu yang internasional, dan nasional. Aku kebagian nulis pameran yang nasional bareng pak DR. Agung Suryahadi dari PPPG Kesenian. Sedang untuk yang internasional, ada tulisan pak DR. Agung S juga, bareng pak DR. Dwi Marianto. Aku nggak spesifik nulis tentang materi pameran itu karena males kejebak untuk bahas karya yang "baik" dan "buruk". Tapi

Risiko...

Wah, sekarang aku garus banyak kalkulasi untuk setipa butir waktu yang akan kulalui. Bajigur. Ya udah. Itu risiko yang harus kupeluk, juga tanggung jawab yang mesti dekap. Tak masalah. Banyak hal juga keajaiban yang aku lewati setelah hidup bersama istriku, Narina... hihihi!

Mas Jaduk-Mbak Petra di Mantenanku

Image

Adios, Omi Intan Naomi

Image

Omi Berpulang

Omi berpulang. Hah, Naomi Intan Naomi yang anaknya pak Darmanto Jatman itu tutup umur? Aku kaget ketika Agung “Leak” Kurniawan kasih info tentang itu. Kala itu, sekitar jam 21.10 WIB hari Minggu 5 November, aku dan istriku naik motor untuk pulang setelah berakhir pekan di rumah mertua. Beberapa menit kemudian Neni, istri Leak kirim sms duka itu. Pun Senin paginya, mbak Anggi Minarni sms serupa. Bayangan tentang Omi segera berkelebat di batok kepalaku. Beberapa hari lalu aku baru berencana menyapa dia, meski lewat e-mail atau sms, setelah kubaca tulisan dia di harian Suara Merdeka (Semarang) edisi Minggu 29 Okteber 2006. Tulisannya yang bertajuk “Medioker” itu sebetulnya tak cukup menarik. Ngalor-ngidul kemana-mana. Tapi karena dia dengan langsung menyebut-nyebut namaku, dengan segala kenyinyirannya, aku seperti diingatkan bahwa barangkali itulah cara paling santun bagi dia untuk menyapaku. Hahaha. Ya, kami sudah amat lama tak saling sua. Entahlah, mungkin sudah 5-6 tahun meski tempat t
Lebaran kemaren, waktu aku ngumpul lengkap di rumah ibu, dua keponakan masih tetap jadi pusat perhatianku. Aku seneng banget mengingat2 mereka. Adel (2 tahun), anaknya Yana-Ida, semakin cerewet dan imut. Bulu matanya, idepnya masih panjang dan lucu banget. Suaranya cempreng bikin kangen banget. Sedang Ivan, anaknya Ning-Tri, udah mulai dewasa meski baru 6 taun. Dia bisa ngemong Adel. Nggak nakal banget kayak 2 tahun lalu. Bisa ngajak berlogika dengan Adel, tentu khas seusianya. Yang aku senang, Ivan makin senang menggambar. Kata ibunya, Ning, Ivan kemaren juara 2 lomba mewarnai. Lumayan deh, paling enggak agak2 nurun aku, pakdenya. Tapi Adel malah berkurang minatnya. Gak tau, padahal setahun lalu keliatan lebih antusias ketimbang Ivan. Kukira mood pun bisa fluktuatif, naik-turun frekuensi ngikuti lingkungannya. Mungkin ngikuti mood ibunya, Ida (adik iparku), yang mulai sebulan lalu memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai guru di SMKK dan serius dengan usaha bridal-nya yang mulai be
Image

Memoar Apotik Komik

Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas , Minggu 22 Oktober 2006 halaman 29) Apotik Komik menutup hikayat. Tak ada air mata. Tiada tangis sedu-sedan untuk melepas kepergiannya. Seremoni penamatan riwayat komunitas seni rupa yang cukup populer dan fenomenal di Yogyakarta ini dilangsungkan dengan peluncuran buku tentang proyek seni mereka, Sama-Sama/Together , di Jogja Gallery, Sabtu malam, 7 Oktober 2006. Buku tersebut memuat teks dan foto dokumentasi proyek Sama-Sama/Together antara Apotik Komik dan CAMP (Clarion Alley Mural Project) San Fransisco yang berlangsung di Yogyakarta dan San Fransisco tahun 2003 lalu. Sayang forum itu tidak dihadiri secara lengkap oleh personal inti Apotik Komik. Hanya Samuel Indratma dan Ari Diyanto. Sementara eksponen lain yang mengawali pembentukan kelompok tersebut pada April 1997, Bambang Wicaksono dan Popok Tri Wahyudi, tak nampak. Diskusi kecil yang menyertai peluncuran buku itu pun relatif tidak cukup serius. Penuh celotehan, sal

Huhuhuhuuu

Sedih juga Valentino Rossi gak bisa juara MotoGP lagi. Sirkuit Valencia Spanyol emang gak cukup cocok buat dia. Sayang banget sih karena Nicky Hayden, juara baru itu, sebetulnya belum jadi juara sejati ketimbang Rossi dalam 5 taun terkahir. Untuk taun ini aja Rossi bisa menang di 5 sirkuit, lebih banyak ketimbang Hayden yang cuma jagoan di 2 sirkuit. Cuma konsisten aja di banyak seri sebagai medioker. Juara kagak, bontot juga enggak. Ini kayak Michael Schumacher di F1 yang taun ini dimenangi lagi sama Alonso. Scummy cuma kalah mujur ketimbang si Espanola bedebah itu. Persis kayak taun kemaren yang garis kemujuran dari Dewi Fortuna "dikasihkan" ke Alonso, bukan ke Kimi Raikonen yang jauh lebih piawai ngebut dengan jet darat. Liat aja taun 2007 depan, Alonso pasti keteteran jauh di belakang Kimi atawa Felipe Massa. Apalagi Alonso "cuma" nongkrong di belakang cockpit McLaren yang banyak punya problem mesin, daripada tunggangan baru Kimi, Ferarri.
Image

J.Allora - G.Calzadilla

Ini foto karya J.Allora - G.Calzadilla yang sedang dipajang di bienalle venice, italia, yang memang sedang jatahnya fotografi, film dan arsitektur.

Galeri Simbol Kota

Image
Artikel di bawah ini sudah dimuat di harian Kompas edisi Yogyakarta dan Jateng, Rabu 18 Oktober 2006 kemaren. Jujur aja , ini artikel yang kurasa masih agak prematur. Data masih minim dan argumentasi kurang "mbuku". Tapi mas Budiawan yang doktor sejarah itu malah komentar via sms kalau itu artikel "apik, dab!" Dia nyarain juga agar aku (serius) masuk IRB (Ilmu Religi Budaya) Sanata Dharma dan ntar bikin tesis dengan judul "Cultural-Economy of Art Galleries in Yogyakarta". Juga alternatif nyari beasiswanya dimana. Walah, walah, kalok dikasih aba-aba gitu jadi ngeri nih Aku sih sebetulnya cuma nyindir aja via tulisan itu, bahwa kalo bikin galeri dengan embel2 sebagai galeri publik internasional itu nggak gampang. Apalagi kalo cuman cari link dengan galeri di kota kecil yang tak begitu penting semacam Wollongong. Emang sih di Ngostralia tapi kan gak semua yang bau luar negri tuh bagus. Sayang kan, bikin galeri denan biaya mahal, sudah pake nama Jogja, tapi di

Sebel, cah...

Aku sebel banget dengan tulisan Kun Adnyana di Kompas , Minggu 8 Oktober 2006 lalu. Bagaimana tidak, sebuah ulasan seni rupa yang ditulis oleh seorang dosen seni rupa, bahkan mahasiswa pascasarjana, isinya cuma puja-puji melulu. Seperti tulisan wartawan biasa yang sekadar memenuhi kaidah jurnalistik, 5W + 1H. Miskin kritisisme yang bisa mencerahkan pembaca. Inikah produk pendidikan S2 ISI Yogyakarta yang ngejar kuantitas aja? Hahahaha. Bener lho , respon semacam ini juga menghinggapi banyak teman seniman yang baca tulisan Kun tersebut. Ora mutu . Atau takut sama kurator pameran yang diulasnya, Dwi Marianto, yang kebetulan dosen dan direktur S2 ISI Yogya? Ah, lebih gombal lagi kalo itu yang terjadi. Bikin seni rupa gak maju-maju. Hihihi. Untung di hari yang sama tulisanku juga muncul di harian Media Indonesia . Isinya juga ulasan tentang pameran yang sama, Icon: Retrospektif . Ya, cuma nasibnya agak beda. Kalau dimuat Kompas , pasti yang baca lebih banyak karena tirasnya sampai 500 ribu

Bermain Ikon Sejarah

Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini telah dimuat di harian Media Indonesia , Minggu 8 Oktober 2006) Sore mulai berangin tatkala beberapa perupa yang beranjak gaek asyik mengobrol ngalor-ngidul di depan Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Hari itu, Selasa 19 September 2006. Di antara reriuhan itu ada Haris Purnomo, Ronald Manulang, dan Hari Budiono, yang pada 1978-an membikin heboh dengan mendirikan kelompok seni rupa PIPA (Kepribadian Apa). Ada juga Bonyong Munny Ardhi, Hardi, dan lainnya – yang pada tahun-tahun sebelumnya tak kurang heroiknya dengan aksi yang melegenda, Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Ada gelak tawa yang membuncah pada pertemuan nostalgis mereka. Dan di ujung persuaan itu, mereka saling berucap dan berharap untuk kembali bertemu menuntaskan kangen di malam harinya, di Jogja Gallery. Namun Hari Budiono tidak mengiyakan. Dia tak akan datang pada pembukaan pameran sekaligus launching perdana galeri di Jalan Pekapalan di ujung timur laut alun-alun utara kraton Ngayogyakarta Hadining

Potret-potret Palsu Plantungan

Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini dimuat dalam katalog pameran fotografi: Habis Gelap tak Kunjung Terang di Taman Budaya Yogyakarta, 20-24 April 2006) Sekitar September-Oktober 2005 lalu, HD. Haryo Sasongko merilis puluhan puisi lewat media dunia maya (cyberspace). Dari sudut ritme bunyi atau pun kebahasaan, sebenarnya puisi-puisi itu begitu lugu dan lugas tanpa banyak "kelokan" yang melenturkan kata demi kata. Nyaris tiada berupaya memesonakan diri lewat metafora. Belum cukup "artistik", dan tampaknya bukan capaian itu yang ingin direngkuh. Melainkan membangun realitas dalam puisi yang berkehendak untuk menampilkan keutuhan isi atas narasi yang didedahkan kembali dari hasil wawancara yang direpresentasikan lewat sebentuk puisi. Salah satu puisi tersebut bertajuk Plantungan: di plantungan desa yang dingin itu di barak-barak kotor bekas tempat perawatan penderita lepra yang juga dihuni ular, ulat, dan kelabang serta serangga kami yang tercatat menjadi anggota gerwani at

Memeriksa Ulang Tanda-Kuasa

Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini dimuat di harian Suara Merdeka Semarang, Minggu 14 Mei 2006) Sejatinya, dalam pembacaan saya, perhelatan ini merupakan salah satu upaya untuk memeriksa kembali relasi praktik kuasa yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakatnya. Orde dan order. Tatanan dan pesanan atau perintah. Dua terminologi yang saling bertaut melekat, yang senantiasa beroperasi ulang-alik antarkeduanya. Puluhan bahkan ratusan obyek atau artifak renik yang dijumput dari masa lalu itu dikumpulkan kembali. Dielus kembali. Dilap dan dibersihkan dari puing-puing pola makna masa lalu yang dibangun oleh negara Orde Baru, untuk kemudian direkonstruksi dengan modus, sistem, dan cara pandang pemaknaan yang berbeda – untuk tak mengatakan baru. Dengan demikian, pameran dengan tajuk Orde & Order yang berlangsung 5 Mei hingga 3 Juni mendatang di Kedai Kebun, Jalan Tirtodipuran 3 Yogyakarta ini, saya kira, juga mengagendakan kembali proses mengingat untuk merancang – atau setidaknya meraba-r