Posts

Showing posts from 2015

End Note(s): Sekadar Perca Sketsa Persoalan

Image
Aku dan Heri Dono di depan lukisan karya Muji Harjo, "John Lennon". (foto: suitbertus sarwoko)   Oleh Kuss Indarto I/Satu Ini bukanlah catatan kuratorial. Ini sekadar sketsa sederhana tentang kilasan kisah-kisah kecil dalam seni rupa di sekitar kita, yang menyoal tentang pencarian, inovasi, konsistensi ada pilihan hidup, dan semacamnya. Juga yang berkelebat dalam pameran ini. Ya, sederhana saja. Seperti halnya dengan pameran ini, yang dirancang dengan singkat, yang hanya perlu waktu sekitar 18 hari (dari perbincangan awal hingga pembukaan pameran). Ketika saya mencari 9 seniman untuk menjadi peserta pameran ini, mayoritas dari mereka semuanya sudah siap dengan karya yang relatif baru. Tujuh seniman sudah dari awal menyatakan bersedia ikut ketika tawaran pameran ini disodorkan. Sedang 2 nama lainnya datang dari “periode” berikutnya setelah nama seniman lain ternyata tidak siap sama sekali. Bahkan, dari mereka yang tidak siap itu, ternyata ada yang mengaku tera
Image
Karya Iqi Qoror dalam Biennale Jatim #6 - 2015. (foto: Kuss Indarto) Bisnis.com, JAKARTA—Keterbelakangan penulisan kritik seni rupa di Tanah Air, sepertinya tidak hanya dipicu lemahnya apresiasi seni yang di lakukan khalayak. Namun, lebih condong pada keterbatasan jumlah kritikus seni yang memiliki keterampilan dalam menilai karya seni. Tercatat, dari era Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) hingga sekarang ini hanya beberapa kritikus seni yang masuk dalam kategori mumpuni. Sederet nama antara lain S. Sujojono, Trisno Sumarjo, Kusnadi, Dan Suwaryono, Popo Iskandar, Agus Dermawan T., dan Bambang Bujono menjadi tidak asing di telinga. Mereka terbilang jago membuat kritik seni rupa dalam larik-larik kalimat sederhana, tetapi begitu dalam dan jernih mengupas karya seni dan senimannya. Sayangnya, regenerasi kritikus seni rupa ternyata tidak secepat laju kreativitas para seniman muda. Di sisi lain, penyebab kritik seni rupa seakan berjalan di tempa

Buku "Melacak Jejak Rupa"

Image
Tanpa terasa, tulisan saya--anak pikiran saya itu--tidak sedikit jumlahnya. Setelah bertahun-tahun, dari sekian banyak yang tercecer dan terberai dimana-mana, saya kumpulkan menjadi sebuah buku. Taman Budaya Yogyakarta bersedia menerbitkan kumpulan tulisan itu, yang kemudian saya beri tajuk: "Melacak Jejak Rupa" . Ukuran buku itu 18 x 25 cm dengan tebal 330 halaman. Dari sekian banyak tulisanku, ada 44 judul tulisan yang masuk dalam buku ini. Terima kasih, Taman Budaya Yogyakarta. Saya akan tetap mengritikmu kalau ada yang kurang, hehe. Terima kasih mas Suwarno Wisetrotomo untuk catatan pengantarnya yang bernas. Alhamdulillah.

Taman Budaya Bukan Taman Makam Budaya

Image
Perhelatan ArtJog di halaman Taman Budaya Yogyakarta. Lembaga kesenian seperti Taman Budaya Yogyakarta ini, sesungguhnya, banyak dibantu oleh sumber daya seniman yang luar biasa di lingkungannya. (foto: kuss indarto)   oleh Kuss Indarto   BELAKANGAN ini, menilik beberapa Taman Budaya secara fisik tampak makin memprihatinkan. Taman Budaya Sumatera Utara di Medan—kota terbesar ketiga di Indonesia—tampak tak terawat dan terkepung sekian banyak bangunan megah. Rencana tukar guling belum kunjung tuntas. Di Pontianak, banyak bangunan di dalamnya kurang representatif. Bahkan untuk menggelar pameran seni rupa berlevel propinsi pun tak ada ruangan yang memadai. Demikian pula dengan di Makassar—sebagai kota terbesar di Indonesia Timur. Taman Budaya di kota itu nyaris tersembunyi dan tenggelam dalam keriuhan perkembangan kota yang begitu dinamis. Keadaan yang ironis juga terlihat kalau kita mengunjungi Taman Budaya Sulawesi Tenggara di Kendari yang hingga tahun 2013 memiliki sekitar 11 gedung

Macet

Image
Menatap ruang tunggu bandara Bandar Seri Begawan, Brunei, yang kosong melompong ini seperti menatap sebuah negeri yang miskin dinamika. Tapi juga seperti menyimak keteraturan yang menyehatkan pikiran. Aku tiba-tiba ingin mengunggah pemandangan yang kupotret awal November lalu untuk kukontraskan dengan pengalamanku kemarin sore, Jumat, 4 Des. Ya, dari sebuah hotel di pusat kota Bandung, sore itu, aku bergerak dengan mobil menuju bandara. Lambatnya minta ampun. Perlu waktu 45 menit untuk menempuh jarak yang pendek, kurang dari 15 km. Satu kilometer dari gedung utama bandara, situasi bikin tambah stres dan panik. Kendaraan hanya bisa beringsut lebih lambat lagi. Lebih cepat kalau jalan kaki. Tapi aku akan lebih repot kalau jalan kaki karena barang bawaan cukup banyak dan tidak ringkas bentuknya. Ya sudah. Ini memang perjalanan penuh doa. Doa agar tidak tertinggal oleh pesawat. Setelah turun dari mobil lalu mau masuk check in pun tidak mudah. Antri dengan

Santri Nusantara: Beragama Secara “Artistik”

Image
Oleh Kuss Indarto   ISU tentang praktik beragama (Islam) selalu muncul dari berbagai konteks waktu, tempat, dan senantiasa membawa respons serta implikasi yang beragam—bagi banyak pihak, dan di berbagai kawasan. Isu ini membawa aktualitasnya sendiri dari waktu ke waktu seiring dengan kompleksitas persoalan yang mengikutinya. Agama dan nilai-nilainya, ketika berhadapan manusia dengan konteks ruang dan waktu yang berbeda, mendapatkan perlakuan yang beragam pula. Problem adat dan budaya yang berlainan pada tiap bangsa, termasuk di ruang bernama Indonesia, akan membawa cara dan praktik beragama yang sedikit banyak memiliki “titik beda”. Bertahun-tahun lalu, K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sudah memberi tengara tentang isu ini lewat sebuah artikelnya yang sangat menarik dan fenomenal, yang bertajuk “Pribumisasi Islam” . Menurutnya, agama (Islam) itu bersumberkan wahyu dan memiliki norma-normanya sendiri, atau bersifat normatif, sehingga ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan

Sosok Butet Kertaradjasa: Seni, Idealisme, dan Uang

Bambang Ekolojo Butet Kertaradjasa tampak begitu santai dan cerah pagi itu. “Jangan motret dulu ya. Aku belum mandi. Ngobrol-ngobrol santai sajalah,” tuturnya mengawali perbincangan dengan Majalah Tong Tjie Lifestyle . Ini memang kesempatan santai bagi Butet yang agendanya padat dan mobilitasnya begitu tinggi. Sehari sebelumnya, seniman ini berada di Jakarta, dan besoknya dia kembali ke Jakarta beberapa hari untuk syuting di sebuah stasiun televisi dan aktivitas lain. Maka, hari itu dia banyak beristirahat di rumahnya yang berhalaman cukup luas di kawasan Kembaran, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Sang istri tercinta, Rulyani “Rully” Isfihana, selalu setia mendampingi di rumah. Kebetulan hari Senin itu Warung Bu Ageng—restoran yang mereka bangun sejak empat tahun lalu—libur, sehingga banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Memang tak lengkap benar karena anak tertua Butet, Giras Basuwondo telah berkeluarga dan tinggal di tempat lain. Dari Giras itulah kini Butet mendapatkan seorang c