Posts

Showing posts from October, 2015

Mushala Sunaryo

Image
  Salah satu bagian yang indah dari keseluruhan bangunan Selasar Sunaryo Art Space di Bandung, bagi saya, adalah mushala di halaman belakang. Bangunan mungil itu kira-kira seluas 3 x 7 meter. Cukuplah untuk sholat berjamaah bagi 7-9 orang. Sisi paling menarik adalah dinding di ujung depan atau di arah kiblat. Di situ ada dua dinding yang bertemu dan membentuk sudut. Di sudut itulah imam shalat berposisi. Dua dinding di arah kiblat tersebut seperti menjadi kanvas bagi sang pemilik ruang seni, seniman Sunaryo. Dinding seperti terkelupas di bagian tertentu. Sementara di bagian tengah-atas tampak semburat warna emas yang menjadi aksen untuk menguatkan komposisi “lukisan”. Di bagian tengah-kanan ada kutipan ayat-ayat Al Qur'an. Dua dinding yang menyudut itu tidak menyambung secara massif derngan bagian dinding lainnya. Ada celah vertikal yang dimanfaatkan sebagai pemberi cahaya (matahari) dalam mushala. Dan lantai kayu menambah nuansa kehangatan dalam ruangan mungi

Proses Jokowi-JK

Image
Itu Jokowi-JK lewat! Jakarta, 20 Oktober 2014 . Persis setahun lalu, 20 Oktober 2014, aku sudah di Jakarta. Pagi hari sekitar pukul 06.00 wib kujejakkan kaki di seputaran Jakarta Nol Kilometer atau sekitar Istana Merdeka. Hari itu Jokowi-JK dilantik sebagai presiden dan wapres 2014-2019. Aku sendiri datang dengan spirit untuk merayakan dan menghargai sebuah proses. Ya, proses untuk menjadi warga negara yang ingin menyimak kilasan perjalanan bangsa ini, setidaknya 5 tahun ke depan—di bawah kendali seorang bekas tukang kayu dan kakek tua yang jago berdagang.  Menghargai sebuah proses itu mengasyikkan. Apalagi dibalut dengan sebuah keyakinan. Bahwa kelak semua—proses dan harapan—itu lenyap, tak perlu disesali kalau ada perjuangan di atasnya. Apalagi ada keringat, air mata dan darah yang melambari perjuangan itu. (Waduh, Mario Teguh banget!) Banyak kisah yang bisa jadi cermin atas proses itu. Seorang Thomas Alva Edison pernah dikeluarkan dari sekolah karena dianggap idio

Kapal Tsunami

Image
Museum kapal (kecil) di Gampong Lampulo, Aceh. 4 Oktober 2015 Kapal kecil ini menjadi saksi bisu kedahsyatan tsunami Aceh, 26 Desember 2004. Artifak ini bertengger sekitar 3-4 meter di atas sebuah rumah milik seorang karyawan Pertamina di kawasan Gampong Lampulo, kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Oleh PNPM telah dibeli dan dijadikan museum.  Saat saya berkunjung pada hari Minggu, 4 Oktober lalu, kondisi secara keseluruhan lingkungan relatif masih rapi dan terawat. Namun artifak kapal itu sendiri cukup mengkhawatirkan. Setelah lebih dari 1 0 tahun bertengger di tempat itu, proses pelapukan mulai menggerogoti. Pada beberapa bagian badan kapal, kayu-kayunya terlihat terkikis karena terkena hujan dan panas dengan cuaca yang bergantian terus-menerus. Bahaya pelapukan, menurut saya, sudah menunjuk di lampu kuning. Pencegahan tampaknya segera dilakukan. Alternatif solusi bisa dikerjakan. Misalnya, bekerjasama dengan para seniman patung, misalnya, untuk melapisi seluruh

Rejim Jagal

Image
Bertahun-tahun setelah kuliah, aku baru sadar, betapa berat beban ayahku untuk "mempertahankan" posisinya sebagai anggota Brimob Polri. Ini sama sekali tidak bertalian dengan soal ambisi. Bukan. Sederhana saja. Seorang kakak iparnya, ya kakak kandung ibuku, atau pakdheku, hilang setelah tahun 1965. Tak pernah jelas kemana dan dimana dia (di)hilang(kan), apalagi makamnya. Kata ibuku, pakdhe dulu terbilang anak yang paling cerdas di keluarga, dan aktif berorganisasi.   Lalu ada juga adik ipar ayahku, suami dari salah satu adik ka ndung ayahku, atau paklikku, yang masih selamat dari penculikan dan kematian namun seperti "mati dalam hidup". Ya, paklik mungkin dianggap "tersangkut" oleh orde baru meski masih bisa termaafkan. Namun, seingatku, dia menjadi "penganggur abadi" karena setiap geraknya selalu diawasi. Menyakitkan, karena dia beranak banyak dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Lebih menyakitkan lagi, dia nyaris terpenjara di rumah. B