Posts

Showing posts from April, 2007

Vandana Sudah Sebulan

Image
26 April ini, anak pertamaku, Vandana Emas Paramaresi, genap berusia satu bulan. Keajaiban bagi aku dan istriku, Narina Saraswati, ini, hmm, semoga masih dan akan begitu luar biasa sensasinya mengiringi hari-hari kami kelak. Vandana, Insya Allah, jadi anak yang sehat lahir batin, cerdas, kreatif, cantik, berbakti lagi. Ah, semoga doa yang kami tabalkan dalam nama dia, "orang pandai yang terhormat, penuh kasih dan berhati emas" ini bisa mewujud kelak. Semoga... :-))

Mengapa Membuat Kritik Seni Rupa

Image
Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini telah dipresentasikan dalam diskusi "Kritik Seni Jurnalistik" di harian Suara Merdeka Semarang, Kamis, 12 April 2007, bersama pembicara lain Chris Dermawan [Galeri Semarang], Ari Setyawan [seniman], dan Triyanto Triwikromo [Redaktur Budaya Suara Merdeka]. Foto di atas instalasi karya Ugo Untoro, The Last Race , 2007) SUDAH begitu banyak pengertian mendasar tentang kritik, atau yang khusus tentang kritik seni rupa, yang beredar dalam ruang-ruang pewacanaan kita. Dalam buku Criticizing Art, Understanding Contemporary (1994) sebagai misal, Terry Michael Barret dengan cukup komplit membuat bunga rampai dari sekian banyak pengamat dan kritikus dengan definisi, fungsi, target, manfaat, dan lainnya dari keberadaan kritik seni. Misalnya Arthur Danto yang bersepakat dengan pemikiran Baudelaire bahwa sebuah kritik haruslah “berpihak, berhasrat dan bersifat politis”. Danto menekankan bahwa kritik seni “janganlah berbicara tentang pokok soal atau membincang

DecoraGent: Men in Irony

Image
By Kuss Indarto Dyan Anggraini has never called herself a feminist (activist). She might not know prominent and “scary” names such as Mary Woolstonecraft, Betty Friedan, Dorothy Dinnerstein, Simone de Beauvoir, Iris Young, Helene Cixous, Luce Irigaray, Julia Kristeva, Vandana Shiva, Maria Mies, and many other names of world feminist thinkers, either of liberal, Maxist Socialist, extentialist, post-modern, eco-feminism and others. She might have paid no attention to local feminist and feminism thinkers who are occasionally mentioned in the media like Ratna Megawangi, Gadis Arivia, Maria Pakpahan and several other names. She might not understand the working interrelationship between the theories developed by those feminists and their practical derivatives put forward by activists in a number of complicated discussions or street demonstrations. However, this is the interesting point of Dyan’s thought which is represented in her visual language. Dozens of her art works now on display, to

Tersesat Membaca Seni Rupa Semarang

Image
Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini telah dimuat di harian Suara Merdeka Semarang, Minggu 8 April 2007) Dalam kurun enam tahun terakhir, setidaknya dalam kacamata subyektif saya, pergeseran situasi seni rupa di Semarang makin menguat mengikuti perkembangan yang terjadi di wilayah lain. Ini, antara lain, ditandai oleh beberapa faktor kemungkinan. Pertama, munculnya galeri komersial, yakni Galeri Semarang sejak medio 2001, yang menjadi titik picu dan titik muara atas segenap “sumpah serapah” bagi seniman lokal yang tidak terakomodasi di ruang tersebut. Ini sekaligus melahirkan beragam bentuk resistensi atas keterasingan seniman Semarang di negerinya sendiri. Resistensi ini menjadi pokok soal penting karena berikutnya menggumpal menjadi berderet capaian yang sebelumnya telah mengembrio namun belum termuntahkan dengan baik. Maka lahirlah beberapa ruang seni (artspace) yang mampu mengakomodasi kepentingan dan interest estetik para seniman Semarang sendiri. Lahirnya ruang seni secara integral ju

Membuka Raport Murid dan Guru

Image
Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini telah dimuat dalam katalog pameran Bersemi yang berlangsung di Galeri Biasa, Yogyakarta, 15-31 Maret 2007. Kalau foto lukisan kelapa ini sih karya Rinaldi, bukan salah satu perupa yang berpameran). Menyimak sebuah karya seni rupa, bisa jadi, menyaksikan dua hal mendasar yang saling terintegrasi di dalamnya, yakni dunia bentuk dan dunia gagasan. Dunia bentuk lebih menyoal pada ihwal dan perkara teknis visual yang nampak di permukaan (surface) sebagai hal yang elementer, mulai dari warna, garis, bidang, komposisi, tekstur, dan sebagainya. Mulai dari bentuk yang coreng-moreng (scribbling), iconic, simbolik, realistik hingga yang abstrak. Semuanya merupakan hasil ekspresi atau sekaligus refleksi perupa/pelukis atas realitas yang diimajinasikan, atau sebaliknya, imajinasi yang direalisasikan. Ini menjadi hal pertama yang langsung tercerap oleh indera penglihatan ketika mengapresiasi karya. Sedang dunia gagasan lebih menyoal pada aspek substansi yang melatari “

Topeng-topeng Multimakna

Image
Oleh Kuss Indarto (Teks ini dimuat dalam katalog pameran tunggal "Beyond the Mask" karya Dyan Anggraini di Santrian Gallery, Denpasar, Bali, 5-24 Maret 2007) Menyimak rentetan karya-karya visual Dyan Anggraini, bagi saya, bagai menyimak cermin diri kita sendiri. Seperti sebuah persuasi untuk melihat ke dalam (looking inward) dan berintrospeksi. Di dalamnya juga ada titik provokasi untuk melihat petilan representasi atas fragmen realitas yang berkembang dalam budaya sehari-hari kita. Sengaja atau tak sengaja, disadari atau pun tanpa disadari, fokus tema tentang sosok-sosok manusia bertopeng pada nyaris semua bentang karyanya adalah gambaran perihal (manusia ber)topeng dalam maknanya yang telah hilir-mudik antara pemahaman denotatif dan pemahaman konotatif. Topeng tidak saja diasumsikan secara “apa adanya” sebagai salah satu ikon kultur kebudayaan (baca: kesenian) yang ada di banyak belantara etnik-suku di Indonesia, melainkan juga sekaligus ditahbiskan oleh sistem pemaknaan ya

Lenyapnya Negara di Seni Rupa

Image
Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas edisi Minggu Pon 1 April 2007) Sampai seberapa jauhkah sepak terjang perupa Indonesia di tengah kecamuk perkembangan seni rupa dunia? Bagaimanakah penetrasi mereka di fora internasional? Di manakah kehadiran negara dalam konteks ini? Ini rentetan pertanyaan klasik namun masih amat menantang untuk terus diperbincangkan lebih lanjut. Setidaknya, titik tersebutlah yang menjadi warna utama diskusi terbatas di kantor redaksi Kompas Yogyakarta tiga pekan lalu. Diskusi dihadiri oleh figur penting dan kaya pengalaman dalam seni rupa seperti I Made Wianta, Nindityo Adipurnomo, dan Arahmaiani yang men-jlentreh-kan (menggelar) beragam kompleksitas problem yang dihadapi seniman Indonesia tatkala masuk dalam perhelatan internasional. Lalu hadir juga sosok seniman dan kurator yang relatif lebih muda usia seperti Yuswantoro Adi, Nurkholis, Edo Pop, Mikke Susanto, Sujud Dartanto, Ronald Apriyan, dan penulis yang bertindak mengatur lalu-lint