Posts

Showing posts from March, 2018

Three "Mengurai" Sampah

Image
SAYA berhenti cukup lama di booth Standing Pine, sebuah galeri komersial dari Nagoya, Jepang, yang ikut berpartisipasi di ArtStage 2018 Singapura, 27 Januari lalu. Bersama hampir seratusan galeri atau ruang seni dari berbagai negara di dunia, Standing Pine terlibat “menjajakan karya” dalam pasar seni yang makin marak di dunia—meski ArtStage Singapura tahun kini mulai berkurang crowded- nya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ada yang membilang bahwa banyak galeri memilih menyewa booth di Hongkong Art Fair yang lebih riuh dan waktunya tak jauh dari perhelatan ArtStage Singapura. Pun ada yang mengatakan bahwa pihak ArtStage yang bikin blunder karena membuat ArtStage Singapura di bulan Januari dan sekarang juga menghelat ArtStage Jakarta tiap bulan Juli atau Agustus. Tak heran bila galeri di Indonesia memilih untuk menyewa booth di ArtStage Jakarta ketimbang di Singapura yang relatif jauh lebih mahal. Tahun ini, hanya ada 3 atau 4 galeri yang ikut ArtStage Singapura,

Pameran Seni Rupa "Imajinesia"

Image
Halo para pecinta seni! Jangan lewatkan agenda besar kebudayaan di kota Semarang ini: “Graha Padma Art Project” Untuk memarakkan rangkaian grand launching Cluster Taman Anggrek, PT. Graha Padma Internusa dengan bangga mempersembahkan: PAMERAN SENI RUPA “IMAJINESIA” Pembukaan Pameran Hari Sabtu, 7 April 2018 pukul 18.00 sd selesai Oleh Bapak Hendrar Prihadi (Walikota Semarang) Pameran berlangsung pada: 7 – 15 April 2018 Waktu: Buka mulai jam 10.00 sd 20.00 WIB Tempat: Cluster Taman Anggrek Jl Boulevard, Perumahan Graha Padma, Semarang, Jawa Tengah PERUPA: • Ambara Liring • Ambrosius Edi Priyanto • Angga Yuniar Santosa • Bambang Pramudyanto • Basrizal Albara • Budi Ubrux Haryono • Chandra Rosellini • Danni Febriana • Dewa Mustika • Dunadi • Eddy Sulistyo • Galuh Tajimalela • Gatot Indrajati • Guruh Ramdani • Hedi Hariyanto   • Indarto Agung Sukmono • M. Irfan Ipan • Nasirun • Ngakan Putu Agus Arta Wijaya • Oetje Lamno • Operasi Rachman

Re-Kreasi Bersama Kartun

Image
Komik pendek karya Kuss Indarto Oleh Kuss Indarto   "I’m sorry. beggar is over Excessive demands. I was heat up. but now cooldown." "Mr. president JOKOWI and Indonesian everyone, and Indonesia gov I'm Really sorry. I am shame. I take back picture, I'm sorry. " Minggu siang, 25 Februari 2018, seseorang yang mengaku bernama Onan Hiroshi meminta maaf secara terbuka kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan seluruh rakyat Indonesia—seperti tertulis sebagai dua kutipan di atas. Permintaan maaf ini disampaikan lewat akun medsos Twitter dan Facebook -nya. Pasalnya, dia telah membuat sebuah gambar kartun satir yang memojokkan, bahkan cenderung menghina Indonesia. Dalam gambarnya tersebut terdapat teks (dalam huruf Kanji dan berbahasa Jepang, tentu saja) yang berbunyi: "Pengemis Kereta Berkecepatan Tinggi." Laki-laki berusia 30 tahunan itu membuat visualisasi yang menggiring kesan kuat bahwa rencana kerjasama antara China-Indonesia bermasal

Jupri Abdullah: Rhythm of Freedom

Image
Keragaman Antar Bangsa 2, (150 x 385 CM), akrilk pada kanvas, 2017 Membaca Tanda Tanda, (140 X 160 CM, 2 panel), akrilik pada kanvas, 2016 Oleh Kuss Indarto   LEWAT buku “Painting Today” (2009), Tony Godfrey membuat 16 pilahan kecenderungan seni lukis berdasarkan penelitiannya terhadap perkembangan gerakan dan tema seni rupa yang bergerak selama sekitar 40 tahun terakhir—sejak dasawarsa 1970-an. Dia mendasarkan diri pada pengamatan atas ratusan karya para seniman di lebih dari 30 negara. Dua di antara 16 pilahan itu disebutnya sebagai “pure abstraction” dan “ambiguous abstraction”. Pada “pure abstraction” Godfrey mendasarkan dan mencontohkan karya para seniman seperti Ian Davenport, Helmut Federle, Bernard Frize, Ha Chong-Hyun, Peter Halley, Alexis Harding, Callum Innes, Yves Klein, Jane Lee, Lee Ufan, Tim Maguire, Robert Mangold, Joseph Marioni, Sarah Morris, hingga nama-nama yang lebih populer seperti Gerhard Richter, Bridget Riley, Robert Ryman, Sean Scull

Bernas Berpulang

Berita duka itu datang. Surat kabar harian Bernas— awalnya bernama Berita Nasional— yang lahir dan tumbuh di Yogyakarta, akhirnya menemui ajal dalam usia 72 tahun. 1 Maret 2018 ini Bernas resmi tutup usia, dan secara pelahan beralih ke format digital. Gerak zaman dengan segenap kebaruan dan dinamikanya telah mengeremus segala hal yang dianggap lampau. Dan kematian, seperti yang terjadi pada harian Bernas— apa boleh buat—adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Semua media cetak di dunia, tak terkecuali, mengalami guncangan berat setelah era internet muncul dengan segala kepraktisan dan kelekasannya dalam mengirim informasi—jauh lebih lekas ketimbang media cetak konvensional. Harian Bernas, bagi saya, meninggalkan jejak ingatan yang tak lekang oleh sekian banyak gulungan waktu. Saya pernah bergabung di dalamnya selama 10 tahun—resmi masuk mulai 10 Juni 1991 hingga mengundurkan diri pada 1 April 2001. Ketika itu saya menjadi editorial cartoonist dan ilustrator yang