Posts

Showing posts from August, 2016

Yogya dan Mimpi Film Indonesia

Image
Foto: Suasana syuting film "Siti" oleh kru Fourcolour Films di pantai Parangkusumo, Yogyakarta   HINGGA pertengahan tahun 2016, menurut data dari www.liputan6.com , jumlah penonton film Indonesia (bukan semua film yang beredar di Indonesia!) telah mencapai angka 11 juta penonton. Ini jauh melonjak ketimbang 15-10 tahun lalu. Tahun 2000 film kita hanya ditonton oleh 1,8 juta orang, tahun 2001 (0,6 juta), 2002 (4,3 juta), 2003 (4,7 juta), 2004 (6 juta), 2005 (8,7 juta) dan 2006 (10 juta). Lonjakan angka ini memuat makna yang beragam. Kita bisa beranggapan bahwa film Indonesia telah kembali menemukan kekariban dengan masyarakat penontonnya sendiri—mengalahkan, atau mampu setidaknya bersaing keras dengan minat terhadap film-film mancanegara yang beredar di sini. Market share film Indonesia hingga medio tahun ini sebanyak 30% dibanding film asing yang masing mendominasi hingga 70%. Anggapan lain bisa dikemukakan pula kalau angka tersebut mengisyaratkan bahwa sekarang

Menyegarkan Aura Festival

Oleh Kuss Indarto   Festival Kesenian Yogyakarta atau FKY datang lagi untuk ke-28 kalinya. Selama hampir tiga dasawarsa terakhir perhelatan seni dan budaya ini turut mengiringi perjalanan dan dinamika kebudayaan, khususnya di jagat kesenian di lingkungan propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Beragam persoalan kesenian yang bisa terwaliki dalam perjalanan perhelatan kesenian tersebut. Ada masanya ketika penguasa Orde Baru di bawah rezim Soeharto secara langsung atau tak langsung memberlakukan “politik perizinan” yang represif dalam segala lini, termasuk dalam dunia seni. Ini berlangsung mulai awal mulainya FKY hingga tahun 1998 saat pemerintahan Soeharto jatuh. Maka, tak heran bila panitia pun—secara konseptual dan teknis—memberlakukan self-cencorship atau aksi antisipatif dengan menyensor materi karya seni yang berkemungkinan akan “meresahkan masyarakat”. Standar “meresahkan masyarakat” itu tentu banyak berasal dari jaring-jaring birokrasi yang menjadi salah satu bent

Citra dan Citra Kampus ISI Yogya...

Akhirnya, Citra Aryandari dinyatakan kalah/salah oleh PTUN setelah "berseteru" dengan lembaga tempat dia mengabdi selama bertahun-tahun, ISI Yogyakarta. Lalu apa? Naik banding? Itu langkah yang baik, namun akan memakan banyak waktu, tenaga, dana serta segala energi. Dan itu pun belum tentu menang. Citra diam dan menerima keputusan pengadilan? Ini menarik karena akan menguji kedua belah pihak: Citra dan lembaga ISI Yogyakarta. ISI tidak bisa dengan serta merta memecat Citra ka rena tidak membuat kesalahan yang besar dan fatal yang mencoreng citra inatitusi. Dia bisa dengan cuek menerima gaji buta tanpa harus bekerja sebagai PNS karena memang tidak diberi jatah jam kuliah untuk mengajar karena dianggap tidak punya kompetensi. Lha kalau tidak punya kompetensi (apapun), lha kok dulu diterima sebagai dosen? Tim selektornya bagaimana? Kebobolan? Kenapa bida sampai bertahun-tahun? Di sisi ini akan menampakkan manajemen yang kurang baik di internal ISI yang sebe

Zheng Lu

Image
  Aku dan Zheng Lu di rumah sekaligus studionya di pinggiran Beijing, Juli 2016. AKU beruntung bisa bertemu dengan Zheng Lu, perupa muda China yang karya patungnya kusaksikan akhir Januari 2016 lalu di ArtStage Singapura. Studio sekaligus rumahnya yang cukup luas berada di kawasan Song Chuang (?), di pinggiran kota Beijing. Begitu pintu gerbang halaman dikuak, patung besar berujud laki-laki telanjang itu sudah meneror mataku. Seniman kelahiran Chifeng tahun 1978 ini tidak saja membuat patung, namun juga menorehkan puisi atau teks-teks dalam kaligrafi Chin a ke seluruh permukaan tubuh patung. Kaligrafi itu kecil-kecil, dibuat berlubang sehingga tubuh patung karyanya serupa relief. Ini menjadi konsep kreatifnya yang unik dan berbeda dengan para pematung lain karena dia masih menjumput akar tradisinya dalam tiap karya. Kami diundang masuk ke hampir semua bagian dari rumah dan studionya. Menarik. Terasa ada energi yang kuat dari anak muda ini untuk terus berkarya den

Rekontekstualisasi Komik

Oleh Kuss Indarto   Dua belas perupa yang juga staf pengajar pada beberapa perguruan tinggi di Jakarta ini adalah representasi dari generasi yang mengalami masa kecil di dasawarsa 1970-an. Dasawarsa 1970-an hingga 1980-an menjadi kurun puncak dan penting bagi perkembangan dunia komik Indonesia. Dalam karya para perupa Jagad Roepa ini, apresian digiring untuk mengingat kembali tentang komik. Komik-komik dikreasi oleh para komikus lokal dan dimassalkan oleh jejaring kerja produksi yang relatif masih konvensional namun mampu menembus kebutuhan publik. Dan publik sebagai pasar meresponsnya tidak sekadar sebagai sumber bacaan, namun secara perlahan menjadikannya semacam “club culture” , bahkan “subculture” yang menggejala waktu itu. Tak heran, kalimat, gerakan, kebiasaan atau perilaku dalam komik-komik Pandji Tengkorak, Si Buta dari Gua Hantu, Kapten Mlaar, Gundala Putera Petir, dan sekian banyak judul komik yang beredar di Nusantara waktu itu telah menjadi sebagian panutan bagi seke

Operasi Raksasa di Taman Budaya Yogyakarta

Image
Salah satu lukisan Muchamad Operasi Rachman dalam pameran tunggalnya yang betajuk "OPerasi", Juli-Agustus 2016, di Taman Budaya Yogyakarta. Sebuah lukisan raksasa berukuran 3 kali 48 meter terpampang di Taman Budaya Yogyakarta. Media besar itu menjadi salah satu tumpahan ekspresi "Operasi", tema pameran yang diambil oleh Mohammad Operasi Rahman pada 30 Juli hingga 12 Agustus 2016. Dia ingin selalu mengoperasi nilai-nilai estetika, seni, dan budaya, bahkan kalau perlu berskala raksasa. Tema "Operasi" memang sengaja diambil dari namanya, tapi juga punya makna lain. Menurut Operasi, tema itu ingin menegaskan bahwa dia selalu mengoperasi dan mencari semua teknik, bentuk, dan ekspresi estetika untuk lebih maksimal, selain juga "mengoperasi" potensi-potensi budaya. Maka, dalam pameran yang dikuratori Kuss Indarto itu, dia benar-benar berusaha maksimal. Bahkan, lukisan raksasa yang dia tampilkan mencoba mengangkat budaya yang dia operasi di tanah

Monumen WR Soepratman

Mungkin Soekarno seorang megalomania yang ingin mengidentifikasi kekuasaannya dengan sesuatu yang gigantik atau besar, dan akan dikenang sepanjang masa. Monas, stadion Gelora Bung Karno, masjid Istiqlal, jembatan Semanggi, tuan rumah Asian Games 1962, adalah sederet contohnya. Sebenarnya masih ada satu proyek raksasa Soekarno yang gagal terwujud hingga ujung kuku kekuasaannya berakhir, bahkan sampai tutup usia, yakni Monumen W.R. Soepratman. Soekarno tak hanya memiliki ide it u, namun bahkan ikut mengonsep dan mendisain dasar monumen tersebut. Sekitar tahun 1952 rancangan awal sudah dibuat. Tinggi monumen itu 85 meter, berasal dari angka 5x17 (5 dari sila dalam Pancasila, dan 17 dari tanggal kemerdekaan RI). Dalam buku "Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya 1930-1960)" terbitan LIPI (2010) tulisan Dr. Sarkawi B. Husein (dosen Departemen Sejarah, Fak. Sastra, Unair) disebutkan bahwa a real yang dibutuhkan 240 hektar (b

HOS Tjokroaminoto

Image
Lukisan potret HOS Tjokroaminoto karya Affandi yang dipamerkan dalam pameran koleksi istana kepresidenan "17/71: Goresan Juang Kemerdekaan" di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 2-28 Agustus 2016.   Barangkali, posisi Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto serupa "godfather" bagi beberapa tokoh pergerakan nasional. Dialah guru tempat belajar bagi Soekarno, Semaoen, Tan Malaka, Alimin, Musso, dan lainnya. Bahwa kemudian anak didiknya terberai dengan ideologi pilihan masing-masing, mungkin, itulah bagian dari pembekalan atas cakrawala pengetahuan yang pernah diberikan oleh Tjokroaminoto bertahun- tahun sebelumnya. Sayang, Tjokroaminoto berumur pendek, hanya 52 tahun (1882-1934). "Raja Tanpa Mahkota" yang mendirikan Sarekat (Dagang) Indonesia (1912) ini, kalau berumur lebih panjang, barangkali, bisa ikut terlibat menyusun platform negara ini dengan lebih baik bersama para (mantan) muridnya. Entahlah. Lukisan karya Affandi tentang figur HO