Posts

Showing posts from September, 2016

Operasi: Perca-perca Aksi Kreatif dan Aksi Sosial

Image
(2 lukisan karya Operasi Rachman Mochamad yang dipamerkan di Taman Budaya Yogyakarta, Juli 2016) Oleh Kuss Indarto Tahun ajaran 1986/1987 belum berakhir. Pengumuman kelulusan bagi para siswa kelas 3 di SMA di Jember—juga di kawasan lain di Indonesia—belum berlangsung. Namun, Mohamad Operasi Rahman sudah bikin geger keluarga dan sekolahnya, SMAN 2 Jember, Jawa Timur. Ketika itu pertengahan tahun 1987.   Dengan berbekal uang sekitar Rp 50.000,- dan pakaian secukupnya, anak muda ini memutuskan minggat—pergi tanpa pamit. Tujuannya jelas: melarikan diri ke kota impian, Yogyakarta. Dengan menumpang kereta ekonomi jurusan Jember-Yogyakarta, pagi-pagi, berangkatlah dia dengan segala kenekatannya. Kota Yogya menjadi titik pengharapannya yang begitu besar untuk dituju dan ditinggali. Operasi ingin betul menjadi seorang seniman dan dihidupi oleh atmosfir kota Yogyakarta yang nyaman, yang memiliki sejarah panjang dalam perkembangan peradaban dan kebudayaan, juga teruta

YAA, Kontemporer, dan Manual

Oleh Kuss Indarto EMPAT puluh tiga pelukis siap berkontestasi dalam satu ruang yang dihelat oleh Sangkring Art Space, di bilangan Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Perhelatan itu bertajuk YAA, Yogya Annual Art, berlangsung mulai 20 Mei hingga 20 Juli 2016. Dr. Hilmar “Fay” Farid, sang Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan direncanakan akan membuka resmi YAA. Ini merupakan perhelatan kali pertama yang kelak—seperti namanya—akan berlangsung secara rutin tiap tahun (annual) . Dan, bisa jadi, ini menjadi ambisi tersendiri bagi pengelola Sangkring Art Space untuk memiliki sebuah peristiwa seni rupa yang ikonik, yang menjadi simbol sebuah kawasan, dan diingat oleh masyarakat selama mungkin. Setidaknya jagat seni rupa Yogyakarta atau di luar Yogyakarta bisa “dipecah” perhatiannya tidak sekadar pada Biennale Jogja atau ArtJog yang telah lama menggenang dalam ingatan publik. Putu Sutawijaya a.k.a. Liong dalam sebuah percakapan di suatu sore di pertengahan

Susi

Image
(Catatan di akun facebook-ku, 10 September 2015) SOSOK Susi Pudjiastuti tampaknya butuh improvisasi dalam hidup. Apalagi pada 12 bulan terakhir ketika "tiba-tiba" menjadi pejabat tinggi. Jadi menteri lagi! Nyaman sekali tampaknya ketika semalam pengusaha ini menyambangi Bentara Budaya Yogyakarta, di jalan Suroto 2, Kotabaru, Yogyakarta. Hadir bersama rombongan kecil sekitar pukul 19.00 wib, dan baru pulang empat jam berikutnya, pukul 23.00 wib. Dua mangkok bakso permintaannya tandas disantapnya. Juga teh panas dan air putih. Tapi tampaknya Bu Susi menahan diri untuk tidak merokok, daripada esok harinya para hater punya bahan untuk nyampah dan nyumpah di medsos. Dia maju di depan tetamu, setidaknya 5 kali, untuk menyampaikan sambutan, menerima hadiah lukisan dari perupa Nasirun, mengucapkan tabik hormat untuk para pemain ludruk, memenuhi ajakan untuk berfoto bersama, dan menari. (Tarik, maaanngg...) Pejabat sekelas menteri "nongkrong" hin

Sop Sapi

Image
Setiap kali mampir makan di warung sop sapi itu, salah satu pelayannya, seorang laki-laki yang ber-make up cukup tebal dan kemayu selalu menyapa kami dengan santun. “Makan apa, mas? Adik makan juga?” sapanya pada kami sekeluarga. Warung itu ada di pinggir timur Kebumen, dekat batas kota, di sisi selatan jalan. Adikku yang merekomendasi tentang lezatnya sop sapi di situ. Dan memang benar, lidahku sekeluarga cocok. Pantas kalau warung itu cukup ramai. Bahkan mengantri banyak kalau pas jam makan siang datang. Maka, setiap kali mudik beberapa bulan sekali ke Banyumas yang jaraknya sekitar 180 km dari Yogyakarta, kami berhenti makan di separuh jarak tersebut, yakni di jarak sekitar 100 km, persisnya di batas timur kota Kebumen. Dan setiap kali kami datang, mas-mas yang kemayu itu hampir pasti antusias menyambut kami. “Makan apa, mas? Ini masih komplit,” sapanya. Sementara pelayan lain, 4 perempuan, ramah meski datar cara penyambutannya. “Ritus” itu berkali-kali kami alami seti