Posts

Showing posts from 2010

Jogja Gumregah! Jogja Bangkit!

Image
Jogja Gumregah! Jogja Bangkit! AKHIRNYA, gunung Merapi kembali “bekerja”. 26 Oktober 2010 lalu Merapi, gunung berapi paling aktif di Indonesia, bahkan di dunia, ini menunjukkan kebesarannya. Puncaknya, Kamis malam, 4 November 2010, ketika gunung dengan ketinggian 2.968 meter dpl (di atas permukaan laut) ini memuntahkan banyak kandungan materialnya berupa awan panas, lava pijar, lahar dingin, juga debu vulkanik. Diperkirakan, secara keseluruhan gunung Merapi kali ini menggelontorkan material hingga sekitar 140 juta meter kubik. Ini jauh lebih besar dibanding dengan letusan Merapi yang terakhir, tahun 2006 lalu. Dampak dari meletusnya gunung yang mempertemukan empat kabupaten (dan dua propinsi) ini begitu luas dan masif. Ratusan orang tewas, ribuan orang cedera, dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal, lahan tanah, hingga mata pencaharian utama. Jutaan hektar hutan dan lahan pertanian dan perkebunan lenyap menjadi “padang pasir” yang perlu bertahun-tahun untuk bisa kembali

Meta-Body

Image
Oleh Kuss Indarto (Catatan ini dimuat dalam katalog pameran tungal Anis Ekowindu dalam pameran tunggal "Meta-Body" di Valentine Willy Gallery, Kuala Lumpur, Malaysia, November 2010) PERUPA Anis Ekowindu, lewat 12 (duabelas) karya lukisnya dalam pameran tunggal kali ini seolah ingin mengurai persoalan bahwa tubuh bisa menjadi etalase (showcase) atas persoalan yang mengitari di luar diri dan tubuhnya. Dalam lukisan-lukisan itu ada wajah-wajah yang bukanlah dirinya, tapi mengemukakan tentang diri dan gagasan-gagasannya. Wajah-wajah, tubuh-tubuh berikut gestur, teks dan benda-benda pendukung lainnya, dijadikan perangkat penting untuk memberangkatkan opininya tentang berbagai persoalan. Semua elemen visual itu berintegrasi satu sama lain untuk mengonstruksi makna baru. Tubuh yang secara kasat mata telah dimunculkan, tidak lagi utuh bermakna sebagaimana adanya, namun telah bersiasat membentuk “politik makna” yang berbeda dan meluas. Tubuh-tubuh dalam sistem makna baru itu tel

Aja Dumeh: Belajar pada Tanda-tanda

Image
Oleh Kuss indarto [satu] MARSEKAL Muda (Marsda) Sudjadijono, Kol. (purn.) H. Totok Sudarto, dan Ki Djoko Pekik, saya kira, hadir pada pameran ini dalam kapasitas masing-masing, dan tak bisa serta-merta “disatukan” satu sama lain. Artinya, ada sejarah, titik berangkat, dan orientasi yang berbeda satu sama lain dalam memandang dan masuk di dunia seni (rupa). Dua nama pertama memiliki latar belakang pendidikan militer (angkatan udara), meniti karier militer hingga di level perwira tinggi. Sudjadijono yang hendak memasuki masa pensiun beberapa pekan mendatang, kini menyandang pangkat perwira tinggi dengan bintang dua di pundaknya, dan menjadi salah satu orang penting di Mabes TNI. Sedang Totok Sudarto meminta pensiun dini ketika karier militer merangsek terus hingga berpangkat kolonel untuk kemudian berganti haluan menjadi pejabat politik, yakni wakil bupati, di lingkungan birokrasi kabupaten Bantul. Sementara nama pamungkas, Ki Djoko Pekik—yang pernah mengenyam pengalaman kelam

Wathathitha dan Keberanian untuk Memilih

Image
Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini dimuat dalam katalog pameran "Wathathitha" yang berlangsung di Museum Barli, Bandung, 8-22 Oktober 2010) [satu]: Wathathitha dan Nilai Homo Ludens SESUNGGUHNYA, ini bukanlah sebuah catatan kuratorial. Apalagi catatan yang hendak berhasrat besar untuk membedah secara serius pada berbagai aspek kekaryaan pameran ini, plus catatan kaki yang merimbun di sekujur tubuh teks. Tidak! Ini sekadar tulisan pendek—dan ngalor-ngidul ke mana-mana—yang ingin mengiringi dan sedikit melongok hiruk-pikuk gairah kreatif yang cukup menyala dari sebuah keluarga, dengan subyek utama karya: sang bapak. Ya, pameran ini bagai sebuah ode (lagu kepahlawanan) yang dihunjukkan kepada almarhum ayahanda dari anak-anaknya. Kelima anak itu: Lugiono, Untung Wahono, Soeyoedie, Klowor Waldiono, dan Didiek “Nano” Rahnyono hendak memberi “momentum ingatan” terhadap mereka sendiri atas sosok sang bapak, Gatot Tjokrowihardjo atau yang karib disapa sebagai Gatot Lelono, yang telah

Daya Hidup Sang Kartunis

Image
KALAU di harian Kompas edisi Sabtu, 14 Agustus 2010, persisnya di rubrik “Opini” halaman 6 masih terpapar gambar kartun editorial (editorial cartoon) “Oom Pasikom”, itulah bagian penting dari daya hidup seorang Gerardus Mayela Sudarta atawa lebih populis diakrabi sebagai GM Sudarta. Hidupnya seperti didedikasikan sepenuhnya untuk seni kartun. Padahal, sehari sebelumnya, 13 Agustus 2010, tulang kering (tibia) kaki kirinya harus dioperasi untuk dipasang platina. Ini terpaksa dilakukan setelah kartunis kelahiran Klaten tersebut terjatuh di kamar mandi. Dan semuanya ini—ya operasi tulang kaki, berkarya meneruskan “nyawa” Oom Pasikom di Kompas, dan pemulihan serta mengontrol kesehatannya—dilakukannya di Ruang Carolus lantai 5 nomer 28, Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Selain patah tulang kaki, setidaknya dalam setahun terakhir ini GM Sudarta mengidap penyakit kronis yang tengah menggerogoti tubuhnya: Hepatitis C. Dokter memvonis penyakit itu berjangkit di tubuhnya justru ketika

Priyaris Munandar: An Artist Brings into Being and Creates

Image
A few days after graduating from junior high school in 1996, Priyaris Munandar decided to decorate a part of his neck with tattoos. They depicted elephants holding hands (or trunks?) Perhaps these elephants were a kind of fantasy imagined by this young man in hopes of receiving blessings from the God Ganesha, the symbol of intellectualism and beauty in the Hindu tradition. We know of course, that for centuries now the history and culture of Java has always been close to that of Hinduism. Naturally Priyaris' parents were shocked at those elephant tattoos. But what could anyone do? Those tattoos were a kind of symbol of defiance for this young artist towards the expectations of his father and mother who wanted their son to go to SMTI (Industrial Technology High School) in Yogyakarta. By attending this school -- along with the connections that had been built up by his father -- Priyaris could quickly finish school and become a civil servant, with privileged means, in the Archaeo

Hip! Hip! Hero!

Image
Portrait of Joko 'Gundul' Sulistiono (up) and Priyaris Munandar. By Kuss Indarto Every hero becomes a bore at last. Ralph Waldo Emerson (1803-1882) [one] So much has been depicted in visual narratives about heroes and heroism on the canvases of the artists of the world. Including the artists in Indonesia. From the masters of the modern art movements to what is called contemporary in Indonesia, the public has become familiar with this theme. One of the “classic” works of a phenomenal nature is the painting “The Arrest of Dipanegara” (112 x 178 cm), the work of Raden Saleh Syarief Bustaman. This painting, made in 1857, was done in response to as well as an anti-thesis of the work of a Dutch artist, Nicolaas Pieneman (1809-1860), that was done twenty seven years previously, in 1830, titled “The Submission of Diepo Negoro to Lt. Gen. H.M. de Kock, 28 March 1830 (75 x 98 cm). Apart from the assumption that Raden Saleh’s painting was considered to be in “defense of th

Joko “Gundul” Sulistiono: Menyangkal dari Stereotyping Robot

Image
Joko "Gundul" (kanan) bersama Priyaris Munandar saling melukis tubuh mereka untuk persiapan pameran Hip! Hip! Hero!, 6 Juni 2010 di Galeri Apik, Jakarta. MANUSIA BARU (140 x 190 cm, mixed media, 2000). Itulah karya yang menjadi tonggak penting bagi perjalanan kreatif Joko “Gundul” Sulistiono. Lewat lukisan tersebut, seniman berperawakan mungil ini bagai memuntahkan magma kreatif yang seolah bertahun-tahun terpendam di balik tubuh dan lupa. Ya, bahkan Joko sendiri juga sahabat-sahabat dekatnya barangkali lupa bahwa dirinya memiliki potensi besar untuk melahirkan karya penting. Setidaknya penting bagi perjalanan kreatif dirinya. Lukisan kolase (collage) itu menemukan momentum yang tepat pada perhelatan Indonesia Art Award (IAA) 2000 yang waktu itu masih disponsori oleh Philip Morris Group. Manusia Baru tidak sekadar masuk menjadi finalis (70 Besar), namun bahkan terpilih menjadi 10 Besar Karya Terbaik. Waktu itu, Tim Juri (yang terdiri dari M. Dwi Marianto, Sulebar Soek

Finalis Indonesia Art Award 2010: Perupa Yogyakarta Masih Dominan

Image
UNTUK kesekian kalinya, para seniman Yogyakarta masih tetap mendominasi Kompetisi Indonesia Art Award (IAA). Kali ini, dalam perhelatan IAA 2010, ada sejumlah 46 seniman seni rupa (perupa) yang masuk sebagai finalis atau nominees. Jumlah ini hampir menguasai separuh dari keseluruhan finalis yang jumlahnya ada 95 seniman. Sementara kawasan lain yang juga banyak masuk sebagai finalis, seperti sudah bisa diduga, berasal dari Bandung, yakni sebanyak 18 orang. Itulah salah satu sisi yang bisa disimak dari hasil penjurain tahap pertama Kompetisi IAA 2010 yang berlangsung hari Senin, 26 April 2010, yang berlangsung di gedung Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jalan Medan Merdeka Timur 14, Jakarta. Penjurian berlangsung hingga mencapai 11 jam dengan dipimpin oleh Ketua Tim Juri, Jim Supangkat beserta para anggota tim juri lainnya, yakni Asmudjo Jono Irianto, Rizki A. Zaelani, Suwarno Wisetrotomo, dan Kuss Indarto. Penjurian yang berlangsung seru dan ketat ini untuk menyeleksi proposal dari

Pameran Energi 3

Image
by : Sjifa Amori (Tulisan ini telah dimuat di harian Jurnal Nasional , 11 Apr 2010) Ada tiga orang seniman terlibat dalam pameran Energi 3 di Balai Budaya Jakarta -dibuka Sabtu (27/3) lalu. Tiga perupa ini; Priyaris Munandar, Agus YK Priyono, dan Dedeo Wahyu Widayat, berkolaborasi justru dengan modal perbedaan, bukan oleh persamaan. Gejala tersebut, menurut kurator pameran Kuss Indarto, kentara dari visualitas pada tiap kanvas trio ini. Agus YK Priyono, Priyaris Munandar, dan Dedeo Wahyu Widayat, masing-masing mengemukakan minat, karakter, dan kecenderungan visual yang berbeda. Semuanya punya bekal dan "tradisi" kreatif yang relatif berlainan satu sama lain. Dalam perhelatan pameran seni rupa seperti yang tengah berkembang dewasa ini, "agenda keseragaman dan penyeragaman" seolah justru menjadi titik tumpu untuk mempertautkan sebuah pameran kolektif. Apalagi dalam perkembangan paling mutakhir ketika tema kuratorial menjadi titik acu bagi seniman dalam sebua