Posts

Showing posts from October, 2016

Gatot Indrajati Juarai Kompetisi Seni Lukis UOB 2016

Image
Lukisan " Right or Wrong My Home" karya Gatot Indrajati (Yogyakarta) yang memenangi Kompetisi Seni Lukis UOB 2016 itu.   Di salah satu ruang di lantai 12 gedung Ciputra Artpreneur Gallery, Kuningan, Jakarta, sore itu cukup meriah, juga menegangkan. Senin, 24 Oktober 2016, kompetisi seni lukis berlevel nasional, “2016 UOB Painting of The Year” memasuki babak akhir. Para pemenang pun segera diumumkan. Lebih dari 200-an orang berkerumun di ruangan tersebut. Ada panggung putih berbentuk lingkaran, ada giant screen di belakang panggung, yang menjadi pusat perhatian semua tetamu. Tuan rumah perhelatan ini, Kevin Lam, Preseident Director PT Bank UOB Indonesia duduk di deretan depan dari jajaran kursi yang ada. Juga beberapa punggawanya seperti Maya Makagiansar, dan lainnya. Nyonya rumah sekaligus President Director Ciputra Artpreneur Galery, Rina Ciputra Sastrawinata, berada di sana dengan blazer warna putih. Salah satu petinggi Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) yang mewa

Djoko Pekik: “Saya Tipe Pelukis Kuda Balap, Bukan Kuda Andong!”

Oleh Kuss Indarto   (Catatan ini dimuat dalam majalah Tong Tjie Lifestyle, edisi IV - 2016, halaman 16-26)   TAHUN 1998, nama seniman Djoko Pekik mengguncang jagad seni rupa Indonesia. Pasalnya, pada 16-17 Agustus tahun itu dia memamerkan hanya satu buah lukisan dan dalam durasi 24 jam atau sehari semalam saja di gedung Bentara Budaya Yogyakarta. Hal yang lebih menghebohkan lagi, karya tersebut, yang bertajuk “Berburu Celeng”, berpindah ke tangan seorang kolektor dengan harga transaksi sebesar Rp 1 miliar! Itulah harga tertinggi sebuah karya seni lukis di Indonesia pada waktu itu. Pencapaian tersebut mengalahkan harga karya para seniman maestro, yang lebih senior, dan telah mengisi jejak penting sejarah seni rupa Indonesia seperti Affandi Kusuma, Hendra Gunawan, S. Sudjojono, Basoeki Abdoellah, dan lainnya. Pada tahun-tahun itu harga karya para maestro itu baru sampai angka ratusan juta rupiah.   Peristiwa itu begitu fenomenal karena kemudian berimbas pada dimensi la

Reinterpretasi Budaya

Oleh Kuss Indarto (Catatan ini dimuat dalam katalog pameran seni rupa "Legenda Nusantara", di Galeri Koi, Jakarta, Oktober 2016) SETIAP kali menghadapi artifak budaya seperti karya seni rupa, khususnya lukisan, kadang kita ingin mengempaskan kembali ingatan kepada pengertian mendasar tentang kebudayaan. Kita mengingat kata “culture” (budaya) yang secara etimologis (asal-usul kata) berasal dari kata dalam bahasa Latin, “colere” yang berarti merawat, menjaga, memelihara dan mengolah. Kalau dugaan ini diyakini, maka kata “budaya” dapat didefinisikan sebagai cara hidup bersama sebagai strategi manusia dalam menjaga dan memelihara tradisinya . Dalam konteks bahasa Indonesia kita juga memahami bersama bahwa kata “budaya” secara etimologis berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta, “buddhayah” (bentuk jamak dari kata “buddhi” ) yang berarti daya dari akal budi berupa cipta, karsa, dan rasa. Kedengarannya ini kuno dan terlalu mainstream . Tapi begitulah, dari

Bhumibol Mangkat

Image
SIANG itu, tujuh tahun silam, persisnya awal Desember 2009 saya berdua dengan pak Tubagus Andre (kepala Galeri Nasional Indonesia) naik tuk-tuk —salah satu moda transportasi lokal—menuju BCC (Bangkok Culture Center) di pusat kota Bangkok. Kami bertolak dari hotel mungil di Jalan Rambuttri yang banyak turis back packer- an, tak jauh dari Jalan Khaosan yang jauh lebih riuh dengan turis back packer- an dari seluruh dunia. Perjalanan cukup meriah karena deru mesin tuktuk yang keras, bahkan cukup memekakkan telinga. Maka, dialog kami dengan sopir tuk-tuk yang ramah itu harus diungkapkan dengan setengah berteriak biar suara masuk ke telinga. Bahasa Inggris kami bertiga juga tidak fasih-fasih amat, sehingga itulah yang membuat komunikasi jadi seru karena gesture tubuh, terutama tangan, melengkapi baku dialog. Pada suatu kelokan jalan yang lebar dan cukup sepi, tiba-tiba sang sopir berteriak sambil menoleh ke arah kami: “Down your hat! Down your hat! Down your hat!” Bajigur!