Posts

Showing posts from 2008

Cercah Religiusitas Ala Tommy Tanggara

Image
(Catatan ini untuk mengiringi pameran tunggal Tommy Tanggara, The Covenant of Love , yang berlangsung di CG Artspace, Plaza Indonesia, Jakarta, 6-14 Desember 2008. Pameran ini menarik karena selain karya-karya Tommy khas, juga sebagian dari hasil penjualan karya ini didonasikan untuk Panti Asuhan Bunda Karmel, Jakarta. Dua karya di atas masing-masing bertajuk Strech Your Faith, You Can Walk on Water , dan Last Supper I ) [Pertama]: estetika di luar mainstream ? Estetika berbasis religiusitas sepertinya adalah obyek yang sangat jarang dikerjakan oleh sejumlah perupa. Hal ini bisa dibuktikan dengan membuka secara komprehensif khazanah perkembangan dunia seni rupa Indonesia dari berbagai mazhab, mulai dari realisme, surealisme, kubisme, abstrak, atau yang lainnya. Memang, di dalam perkembangan estetika dunia seni rupa tersebut sempat muncul adanya fenomena kaligrafi yang kemudian dianggap sebagai pelarian untuk "menyelamatkan" estetika yang berciri religius. Seolah-olah pengerti

Neng-Nang

Image
(Catatan ini termuat dalam katalog pameran tunggal Budi Yonaf, Neng-Nang , 2-9 Desember 2008, di Bentara Budaya Yogyakarta) Oleh Kuss Indarto Jagad seni rupa, tak ayal lagi, seperti jagad mode. Dan memang, seni rupa adalah juga mode itu sendiri. Selalu saja ada siklus untuk menampilkan hal yang penuh kebaruan sebagai tuntutan serta standar utama yang tak terelakkan. Seperti yang sempat merebak (kurang lebih) dalam lima tahun terakhir setelah beberapa galeri di Indonesia memberi ruang gerak yang besar bagi seniman China untuk mengeksposisikan karyanya di sini. Mulai dari Yue Minjun, Fang Lijun, Zhou Chunya, Wang Guangyi, dan lainnya. Seperti ada gaya-ucap utama beserta arus kuat yang menyelinap dengan deras pada sebagian bentang kanvas para perupa di Indonesia. Setidaknya ini bisa terlacak dalam berbagai perhelatan pameran dan terpacak pada beragam buku lelang seni rupa yang kinclong dengan ketebalannya yang melebihi buku telepon kota Jakarta. Publik dengan mudah bisa melihat gelagat y

Akal Budi dan Tawaran Sugesti Budi

Image
Ditulis dari hasil interviu oleh Kuss Indarto dan Satmoko Budi Santoso. Naskah ini dimuat dalam katalog pameran tunggal Budi Yonaf, Neng-Nang , di Bentara Budaya Yogyakarta, 2-9 Desember 2008 JALAN kreativitas adalah jalan seribu cara. Hal ini secara tegas ditunjukkan oleh perupa Budi Yonaf yang karya-karyanya terhitung “baru menggeliat” di percaturan dunia seni rupa Indonesia. Namun, kita tahu, sesungguhnya, “karya besar” maupun “karya kecil” adalah sama saja nilainya, yakni sama-sama memberikan alternatif pencerahan tertentu melalui keberadaan masing-masing. Tentu saja, karena alasan tersebut maka menjadikannya tidak dapat dipandang sepele. “Semua layak dicatat, semua layak dapat tempat!” begitu kurang lebih bunyi syair puisi milik penyair Chairil Anwar yang dapat kita gunakan dalam mendudukkan penghargaan terhadap karya seni. Dalam momentum pameran Budi Yonaf kali ini, setidaknya kita memang dapat melihat seberapa jauh proses kreatif yang begitu sublim dilakoni Budi Yonaf. Jelas, h

Homonisasi ala “Ngono ya Ngono”

(Teks ini dimuat dalam katalogus pameran Homo Homini Lupus di Mon Decor Gallery, 7-17 November 2008. Pameran ini mempresentasikan karya-karya lukisan Agung Hanafi "Pekik", Anis Ekowindu, Maslihar "Panjul", dan Yudi Sulistyo) Oleh Kuss Indarto Dalam salah satu karya pentingnya yang bertajuk Asinaria , penulis komedi jaman Romawi, Titus Marcius Plautus (254-184 Sebelum Masehi), menuangkan kalimat yang seolah menjadi mantra kini: homo homini lupus . Aslinya, dulu berbunyi lupus est homo homini . Artinya tegas, yakni: manusia adalah serigala bagi sesamanya. Berabad-abad kemudian, setidaknya abad 19, filsuf dan pemikir ilmu politik, Thomas Hobbes, kembali mempopulerkan istilah tersebut untuk menandai perilaku buruk manusia yang “memakan” sejawat, rekan atau sesamanya demi keuntungan pribadi atau kelompoknya, khususnya dalam ranah perpolitikan. Demi kepentingan politik, jalan kasar pun ditempuh. Bahkan dengan menghalalkan segala cara seperti yang dianut oleh politikus be

Penampang Kesetiaan Zhao Chun

Image
(Catatan ini dimuat dalam katalog pameran tunggal senima China, Zhao Chun, bertajuk Dream, 7-16 November 2008. Ini foto sehari sebelum pembukaan pameran. Aku dan Zhao Chun jeda ngopi di sela mendisplai lukisan) Oleh Kuss Indarto Bagi perupa Zhao Chun, sosok perempuan muda suku Miao seolah bagai derai aliran sungai Yangtze yang tak habis ditimba sebagai sumber inspirasi. Puluhan bahkan mungkin ratusan karya telah dan akan terus lahir dari tangan dan kesadaran estetikanya di atas kanvas. Pilihan untuk menjadikan perempuan muda suku Miao sebagai titik tolak penciptaan pada hampir sebagian besar karyanya, memang, merupakan sebuah alternatif kemungkinan yang sangat menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Pada satu sisi menarik dari perspektif sang seniman sendiri yang secara konsisten meyakini jagad perempuan suku Miao sebagai titik tolak gagasan kreatifnya. Dan pada sisi lain ada titik menarik bagi apresian karena pilihan tersebut akan menerbitkan teka-teki (enigmatik) yang kemudian me

Undang-undang Bodoh Disahkan!

TURUT BERDUKA YANG SEDALAM-DALAMNYA ATAS DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG ANTIPORNOGRAFI DAN PORNOAKSI (UU APP). DINAMIKA KEBUDAYAAN INDONESIA SEGERA MUNDUR DI PERANGKAP WAKTU RATUSAN TAHUN KE BELAKANG DI TENGAH LAJU WAKTU ITU SENDIRI YANG BERGERAK MAJU KE DEPAN. KASIHAN DPR, KASIHAN PRESIDEN RI, KASIHAN ANAK-ANAK INDONESIA YANG KELAK MEWARISI MONUMEN KEBODOHAN DAN ARTEFAK PEMBODOHAN!

Narration of a Nation

Image
(Ini sekadar catatan kecil untuk pameran dadakan bertajuk Narration of a Nation, yang berlangsung di Mon Decor Gallery, 27 Juni hingga awal Juli lalu. Ada 15 seniman waktu itu, antara lain Yudi Sulistyo, Ivan Yulianto, Joko Dwi Prastowo, dan lainnya. Dan setelah kubaca kembali, sepertinya pas untuk di-upload tepat pada 28 Oktober 2008, sebagai pengingat kecil di Hari Sumpah Pemuda ini... Semoga!) Maxima de nihilo nascitur historia. Kisah (sejarah) besar bisa muncul dari sesuatu yang bukan apa-apa Sejarah adalah (salah satu) cara untuk mengekalkan, membingkai, dan memberi perspektif atas sebuah peristiwa yang telah lampau. Peristiwa tersebut tidak sekadar dirangkai dalam deret ukur waktu atau kronologi, namun lebih dari itu, di dalamnya ada praktik kuasa yang secara implisit maupun eksplisit mendasari kenapa sebuah peristiwa itu terjadi, bersama jalinan pemikiran, latar belakang, dan dampak yang secara post-factum terjadi. Tak mengherankan kalau kemudian orang Barat dengan sinis menyata

Momentum Anak Gunung

Image
(Teks ini menyertai pameran komunitas seni Air Gunung, Wonosobo, 18-28 September 2008, di Mon Decor Gallery, Jakarta) Oleh Kuss Indarto Siapa sebenarnya para seniman komunitas seni Air Gunung, Wonosobo, Jawa Tengah ini? Bagaimana positioning serta peluang mereka kini dan ke depan dalam kecamuk konstelasi seni rupa di Indonesia? Ini merupakan deret pertanyaan elementer yang pantas untuk dikemukakan di tengah fakta adanya kecenderungan yang menunggal tatkala kita menelisik “anatomi” pelaku atau praktisi dalam dinamika seni rupa di Indonesia kini. Dalam pemetaan atas “anatomi” itu—seperti kita tahu bersama—mayoritas adalah para seniman yang (pernah) terdidik dalam lingkungan lembaga pendidikan khusus seni rupa. Untuk konteks seni rupa di Indonesia, “anatomi” semacam ini tampak lebih mengerucut dengan begitu dominannya para seniman lulusan (atau pernah studi) di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (FSR ISI) Yogyakarta dan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung

Filsafat Soto dalam Kanvas

Image
"Gunjingan" tentang (ke)seniman(an) Widodo yang pameran tunggal di Studio 83, di Kim Yam Road, Singapura, 3-17 Oktober 2008 Oleh Kuss Indarto Sosok seniman Widodo, sesungguhnya, melakukan ritus berkesenian tidak sekadar di atas kanvas seperti yang terpapar pada pameran tunggalnya kali ini. Namun juga dalam kehidupan sehari-harinya. Di hadapan sang istri yang dinikahinya belasan tahun lalu, di depan anak-anaknya yang kini beranjak dewasa, dalam pandangan beberapa karyawatinya yang bekerja di warung soto Jawa Timuran-nya, juga dalam perspektif teman-teman sesama seniman, Widodo tak jarang membopong atmosfer kesenimanan dan bentuk kesenian yang lebih luas. Tak berlebihan andai dikatakan bahwa kesenian adalah jalan hidupnya. Dan kehidupannya penuh jalan kesenian. Kita bisa melihat petilan fragmen kesenimanannya di rumah tinggalnya di pinggiran barat kota Yogyakarta, yang di bagian depan dijadikan sebagai warung soto “Jiancuk”. Ya, mulai dari nama warungnyapun merupakan kata umpa