Posts

Showing posts from May, 2016

Nasirun: Narasi Pertarungan dan Pertaruhan

Image
Oleh Kuss Indarto (Catatan yang hanya 30% dari tulisan "aslinya" ini termuat dalam katalog kecil pameran tunggal Nasirun, "Run: Embracing Diversity". Catatan utuh dimuat dalam buku tebal yang juga mengiringi pameran ini, yang berlangsung 29 Mei s/d 2 Juni 2016, di Sportorium kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) [Satu: Menuju Yogya, Uang Pintu, dan Bismillah ] MALAM telah menjemput ketika kereta api jurusan Bandung-Yogyakarta tiba di Tugu, stasiun kereta api terbesar di Yogyakarta. Ratusan penumpang pun turun dalam keriuhan. Beragam manusia berjejal membopong tas, koper, dan bawaan lain, bertumbuk bersama para penjemput yang telah puluhan menit menanti kedatangan kereta tersebut. Mereka bersengkarut dengan para kuli angkut yang tangkas menawarkan jasa kepada para penumpang yang penuh terbebani barang bawaan.             Dalam keriuhan manusia itu, ada dua anak kecil belasan tahun yang terselip di antaranya. Mereka menumpang kereta api itu

Selamat Jalan, S. Teddy D.

Mungkin tahun 1993 atau 1994, pintu masuk dan sebagian tembok gedung Seni Murni, Fakultas Seni Rupa (dan Disain) ISI Yogyakarta, ditutup dengan ratusan kertas fotokopian bergambar potret diri. Jajaran kertas itu meneror mata karena tertata secara repetitif dan dalam jumlah yang banyak. Kertas yang dilem di pintu gerbang kaca tersebut juga membuat ruang di balik pintu jadi gelap. Ternyata, itu semua ulah S Teddy Darmawan, sosok mahasiswa Seni Lukis angkatan 1992. Reaksi teman- teman mahasiswa waktu itu beragam. Ada yang komentar, “Asu, opo meneeehh iki?” karena anak-anak Kampus Gampingan (dari nama kampung tempat FSRD ISI Yogyakarta berada) sering bikin ulah. Pun ada celetukan lain yang beragam: “ah, caper”, “Karepe ngopo to iki?”, “Iki mata kuliah Eksperimental po?” dan lainnya. Biasa, selalu riuh dengan reaksi plus-minus. Kalau bertahun-tahun kemudian Teddy sangat eksploratif sebagai seniman dengan berbagai gagasan artistik dan estetik seni rupa, momentum aksi tempel fotokopian di te

Rajawali yang (Ingin) Menolak Takdir

Image
Oleh Kuss Indarto KALAU penerbit PT Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1950 menerbitkan antologi puisi tiga penyair papan atas Indonesia—masing-masing Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani—dengan tajuk yang legendaris: “Tiga Menguak Takdir”, maka tiga person dalam pameran seni rupa di tahun 2016 ini bisa saja disebut sebagai “Tiga Menolak Takdir”. Ya, ini hanya satu permainan kata-kata, bukan sebuah perbandingan yang sudah barang pasti banyak hal yang kurang selaras. Saya, kita, sedang memperbincangkan jagad seni rupa, bukan sastra seperti yang ditengarai dengan tajuk “Tiga Menguak Takdir”. Kita juga tidak tengah mempercakapkan figur-figur dengan nama dan reputasi yang meraksasa dalam seni rupa. Ini sekadar narasi kecil tentang upaya untuk bercermin dan menatap diri sendiri.             Tiga perupa yang menghelat pameran ini menggabungkan diri dalam grup sekaligus tema pameran “3 Rupa Rajawali”. Marsda (purn.) Akbar Linggaprana, (Marsma (purn.) Sudjadijono, da

Perspektif Beda Ihwal Mooi Indie

Image
Fotografi karya Kalibi, salah satu karya yang dipamerkan dalam pameran "After Mooi Indie" yang dihelat oleh FORMMISI (Forum Mahasiswa Minang di ISI Yogyakarta), di Galeri R.J. Katamsi, ISI Yogyakarta. Oleh Kuss Indarto HAMPIR empat puluh tahun silam, 18 Juli 1976, Oesman Effendi atau OE kembali memberi gambaran yang menegaskan bahwa dunia seni lukis di kawasan Sumatera Barat banyak dipengaruhi oleh seorang Wakidi (1889-1978). Ya, “ideologi artistik” sang guru Wakidi ini bahkan berpendar pengaruhnya hingga ke banyak wilayah di pulau Sumatera karena sekian banyak muridnya berasal dari berbagai kawasan di Sumatera. Dalam ceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM) tersebut, OE juga membilang bahwa pilihan artistik (dan estetik) satu guru itu telah memonopoli sebuah mazhab seni lukis di bentang pulau Sumatera, dan pengaruhnya—mazhab Wakidian itu—telah memanjang hingga enam dasawarsa atau melintasi 3 generasi. Mooi Indie atau “Hindia Molek” pilihan artistik yang digelut

Menobatkan Anak

"Kok sekarang banyak orang pinter, tapi lupa pakai 'roso' (rasa, perasaan) ya, mas?" ungkap seorang bapak yang tampak mulai rapuh tubuhnya. Kami tak sengaja ber temu di sebuah warung angkringan di pinggir jalan. "Lha kenapa to, pak?"tanyaku balik, sembari nyeruput teh manis. "Mosok menghukum mati dianggap bodoh, salah total, dan ketinggalan jaman!" seru si bapak sembari makan nasi kucing dengan lahap. "Lha kenapa to, pak?" tanyaku hati-hati. "Belum pernah sih orang-orang pinter itu merasakan seperti saya. Saya sudah hampir 60 tahun, seharusnya sudah banyak santai di rumah, melihat anak-anak hidup nyaman, momong cucu, atau reunian dengan teman lama. Tapi malah sebaliknya," si bapak mulai curhat. "Memangnya ada apa to, pak?" lagi-lagi, aku harus hati-hati. "Ya, anak saya tiga, hancur semua hidupnya karena narkoba! Anak pertama yang memulai sebagai pemakai lalu pengedar. Adiknya lalu ketularan. Seluruh