Posts

Showing posts from December, 2007

Identitas Biennale Jogja 2007

Image
Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini telah dimuat di harian Suara Merdeka , Semarang, Minggu, 30 Desember 2007) Biennale Jogja datang lagi! Ya, perhelatan ini, tak pelak, masih saja dianggap sebagai forum penting dalam peta seni visual di Indonesia. Karena asumsi penuh antusiasme dan ekspektasi tersebut, maka sekurang-kurangnya 3 perhelatan Biennale Jogja sebelum ini pun mencuatkan respons dan resepsi yang begitu kuat menyedot perhatian dalam medan wacana seni visual, setidaknya di Yogyakarta hingga radius tertentu di sekitarnya. Kita dapat mengilas balik sejenak. Perhelatan Biennale Jogja VI/1999 yang diampu oleh kurator Asmudjo Jono Irianto menghadirkan 33 nama perupa, berlangsung di Purna Budaya. Kala itu, sempat meruncing tudingan dari publik seni Yogya bahwa Asmudjo, antara lain, dianggap sebagai “kepanjangan tangan (galeri) Cemeti” karena spirit kontemporerisme atas karya dan pilihan seniman yang dieksposisikan segaris dengan kecenderungan karya yang dipioniri oleh (sekarang) Cemeti Ar

Ikut Pameran Karikatur

Image
Aku tak tahu secara langsung kalau ternyata jadi salah satu peserta pameran karikatur di gedung Komnas HAM, Jl. Latuharhari 4B Menteng Jakarta Pusat, antara Selasa-Jumat, 4-7 Desember 2007 yang lalu. Event itu adalah bagian dari acara peringatan HAri HAM, 10 Desember. Temanya kurang lebih tentang "Stop, Kekerasan terhadap Anak-anak". Karyaku ada di antara 60 karya yang dianggap terbaik dalam Lomba Karikatur HAM yang diadakan beberapa waktu sebelumnya. Ya, sayang gak juara atau masuk 5 Besar, tapi cuma bisa masuk 60 Besar, hehehe! Lumayanlah, setidaknya bisa ikut dilihat oleh publik. Apalagi aku juga sudah lama tak menggambar. Karya itu, yang terpampang di atas, kubuat di sela-sela kesibukanku urus ini-itu akhir2 ini. Selesai dalam dua hari, tentu disambi macam-macam, dan kukirimkan sehari sebelum batas akhir pengiriman. Biasa, penyakit lama, kalau belum deadline ya belum dikerjain! Kukira hasilnya lumayan. Ini kalau alat ukurnya dari penilaian dewan juri yang antara lain k

Meraba Alur, Menilik Struktur

Image
(Tulisan ini, Meraba Alur, Menilik Struktur: Sebuah Praduga Awal atas Seni Rupa di Jawa Timur, telah dimuat dalam kataloh pameran Biennale Seni Rupa Jawa Timur II yang dibuka 11 Desember lalu. Ini tulisan yang aku rasa masih bertele-tele dan terburu-buru. Yah, biasa, banyak yang sedang kupikirkan. Jadi ya cukup ruwet hasilnya hehehe... Sementar foto kujepret kira2 dua tahun lalu saat listrik mati, dan sendiri!) Oleh Kuss Indarto O vos doctores, qui grandia nomina fertis, Respicite antiquos patris, jurisque peritos. Non in candidulis pensebant dogmata libris, Arte ses ingenua sitibundum pectus alebant. (Wahai kalian orang-orang terpelajar yang menyandang nama-nama besar, Lihatlah kembali kepada bapa-bapa pendahulu yang belajar dalam hukum. Mereka tidak menimbang-nimbang dogma dalam cahaya buku-buku putih, Namun memuaskan kehausan hati mereka dengan kemampuan alamiahnya). Sebastian Brant, Stultifera navis , 1497 /1/ TERUS TERANG, saya cukup gamang terhadap tawaran untuk

Blangkon Gaul di Biennale Jogja 2007

Image
Penutup kepala tradisional khas Jawa, blangkon, bagi perupa muda Evi Sulistyowati, bukanlah sebentuk benda yang sangat ketat sakralitasnya. Justru karena selama ini dianggap sangat sakral, maka lambat-laun menemukan “kuburannya” dan “dijauhi” oleh masyarakatnya. Karya Evi kali ini, dalam gradasi pemahaman tertentu, berupaya untuk melakukan desakralisasi atas blangkon khas Jawa gaya Ngayogyakarta Hadiningrat. Mondhol yang membulat di bagian belakang tetap ada, lipit dan draperi masih konsisten ada di dalamnya, namun motif kain yang dipakai sama sekali mengalami pembaruan. Yah, Neo-Blangkon , atau Post-Blangkon, barangkali! Bagi Evi, kerja kreatifnya ini menjadi sebentuk cara ungkapnya untuk menyikapi bangsa ini yang tengah mengalami krisis identitas dan krisis kebudayaan. Dia mengangap bahwa: “Kini tengah terjadi pergeseran apresiasi kebudayaan lokal ke budaya asing untuk mengejar pengakuan diri sebagai bagian dari masyarakat modern. Kita melupakan akar budaya sendiri. Kita dijauhkan, s

Pertautan Psikologis Sebuah Angkatan

Image
(Aku lagi makan gudheg di depan mas Heri Dono di lantai 3 gedung Seni Murni) Jumat malem kemarin, 14 Desember, aku lihat pembukaan pameran di eks kampusku di kampung Gampingan, Wirobrajan. Sayang agak telat, jadi aku cukup kehilangan kelebat atmosfir waktu ’80-an yang tentu dibawa oleh para seniman yang tengah berpameran. Yah, mereka adalah para alumni Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI “Asri”) Angkatan ’80. Aku sendiri adik kelas jauh mereka, yang baru kuliah 9 tahun kemudian setelah mereka masuk pertama kali. Dan ketika aku masuk, kampus telah berubah nama, Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI Yogyakarta. Malam itu, banyak tetamu yang riuh menyambangi pameran di gedung Seni Murni lantai 2. Mungkin ada sekitar 20-an alumni Angkatan ’80 pada datang. Aku kenal beberapa, seperti Eddie Hara yang masih suka melucu dengan plesetan ala Jogja, Heri Dono yang ramah dan tetap doyan tertawa, Arwin Darmawan yang masih kental logat Batak-nya, Totok Ireng alias Basuki Sumartono yang frien

Kolektivitas 80

Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini dimuat dalam katalog pameran Angkatan '80 /1/ Ketika “anak-anak” Angkatan 1980 ini pertama kali masuk kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa (STSRI) “Asri” Yogyakarta (mulai tahun 1984 berubah menjadi Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta), ada sergapan situasi eksternal yang melingkungi mereka. Pertama, kuatnya sistem kontrol negara terhadap semua kisi dunia pendidikan di Indonesia. Ini terindikasikan dengan mulai diberlakukannya NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) yang disahkan tahun 1979 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1978-1983, Dr. Daoed Joesoef. Fakta tersebut memperlihatkan bagian penting dari kian mengentalnya sentralisme negara Orde Baru setelah empat tahun sebelumnya, rezim Soeharto dihantam peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) yang berimbas besar pada tata politik negara. “Normalisasi” versi Daoed Joesoef ini merupakan pendisiplinan terhadap perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang berimbas pada

Kontribusi, Sebuah Titik Penting

Image
Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini dimuat dalam katalog pameran Angkatan '80 STSRI ASRI Yogyakarta, 14-22 Desember 2007 di eks kampus Gampingan. Mereka antara lain Heri Dono, Eddie Hara, Dadang Christanto, Arwin Darmawan, dll). /1/ Ketika “anak-anak” Angkatan 1980 ini pertama kali masuk kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa (STSRI) “Asri” Yogyakarta (mulai tahun 1984 berubah menjadi Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta), ada sergapan situasi eksternal yang melingkungi mereka. Pertama , kuatnya sistem kontrol negara terhadap semua kisi dunia pendidikan di Indonesia. Ini terindikasikan dengan mulai diberlakukannya NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) yang disahkan tahun 1979 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1978-1983, Dr. Daoed Joesoef. Fakta tersebut memperlihatkan bagian penting dari kian mengentalnya sentralisme negara Orde Baru setelah empat tahun sebelumnya, rezim Soeharto dihantam peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) yang berimbas besa

Biennale di Antara Kebanalan

Image
(Hehehe, foo yang cukup narsis. Duduk di bawah pohon beringin sisi selatan gedung Ajiyasa, bekas Kampus Seni Rupa ISI Yogyakarta, yang kini akan dijadikan Jogja National Museum. Dari kanan ke kiri: aku, Mbak Dyan Anggraini, kepala Taman Budaya Yogyakarta, Mbak Anggie Minanrni, Direktur Karta Pustaka, Mas Warno Wisetrotomo, Sujud Dartanto, dosen muda ISI Yogya dan salah satu kuratorBiennale Jogja, dan Iin, bagian manajemen Biennale Jogja 2007. Ini tulisan yang akan dimuat di Buletin Biennale Neo-Nation) Oleh Kuss Indarto /I/ Awal November lalu, dalam sebuah mailing-list yang beranggotakan sekitar 5.400-an pemilik e-mail, seorang rohaniwan yang bertugas di Paroki Semarang, Romo Tulus Sudarto, mengaku terhenyak. Pasalnya, tetangga seberang desanya memberi tengara “Andreas Surya Saputra” untuk ditabalkan sebagai nama pada anak pertama. Padahal orang itu adalah pemeluk Islam ketat. Sebaliknya, sang romo ini juga terkejut tatkala menemukan nama “Ibn Fajar Muhamad” sebagai nama seorang pastor

"Pentas" Sang (Calon) Doktor

Image
(Ini foto mah aku lagi dipotret saat motret (calon) istriku, Maret 2006) Senin, 26 November lalu aku diundang untuk mengikuti acara sidang pengukuhan doktor di gedung Pascasarjana UGM. Aku lupa nama persisnya acara itu. Sedang tema disertasinya tentang perkembangan jagad wisata di Gianyar, Bali, kurun 1930-2000. Pasti mengasyikkan karena bisa jadi ini sebuah “pentas ilmiah” yang akan memunculkan perbincangan dan perdebatan intelektual. Tentu inspiratif untuk menyumbang meruncingkan akalku yang telah mulai jarang berdiskusi dengan intens. Apalagi dewan penguji dalam sidang itu ada 8 profesor doktor ilmu budaya dan humaniora. Di UGM lagi, salah satu kampus paling terhormat di republik ini. Hmm, ini bagai seperangkat aktor dan aksesoris “pentas ilmiah” yang menjanjikan. Aku datang terlambat beberapa menit. Dan setelah belasan menit menyimak “pentas” itu, fiuhhh, ternyata ekspektasiku terlalu melambung jauh dari realitas yang kutemui di ruang ber-AC dengan kapasitas kursi hingga 300-an itu