Posts

Showing posts from 2012

Pengingkaran Hendra pada Identitas Kreatif

Image
Seorang pengunjung tengah menyimak 2 lukisan karya Hendra Buana di Jogja Gallery, Jl. Pekapalan, Alun-alun Utara, Yogyakarta. Pameran tunggal Hendra Buana bertajuk "Peaceful in F aith II" berlangsung 20 Des 2012 s/d 8 Jan 2013 . (Catatan ini dimuat dalam katalog pameran "Peaceful in Faith II") Oleh Kuss Indarto   PILIHAN dan konsistensi dalam proses kreatif perupa bisa membuahkan pisau bermata dua. Pada satu sisi, publik bisa menduga bahwa konsistensi akan membawa perupa pada gejala pembentukan identitas kreatifnya. Setidaknya publik memiliki rujukan visual dan konseptual yang jernih untuk mengidentifikasi karya seseorang seniman dari rentetan karya-karya yang dibuat sebelumnya dengan pilihan kreatif yang jelas dengan tingkat konsistensi yang terjaga. Sementara pada sisi lain, pilihan kreatif berikut kecenderungan visual yang serupa dengan konsistensi namun tanpa dinamisasi, berpeluang besar untuk masuk dalam perangkap stagnasi, kemandegan. Ini dua hal ya

SUMATERA BIENNALE 2012

Image
AKHIRNYA, perhelatan Sumatera Biennale 2012 segera digelar di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat, tanggal 5 hingga 15 Desember 2012. Ini merupakan perhelatan seni rupa yang dirancang berlangsung secara rutin dua tahun sekali, dan berlangsung secara berpindah-pindah di kota-kota yang berada dalam kawasan (pulau) Sumatera. Untuk kesempatan pertama, Sumatera Biennale #1-2012 berlangsung di kota Padang, Sumatera Barat, dan selanjutnya berputar di kota lain sesuai kesepakatan bersama. Gagasan untuk membuat perhelatan semacam ini sudah dirancang cukup lama, dan menjadi bagian penting dari upaya untuk menciptakan forum seni rupa yang penting dan kompetitif dengan subyek utama Sumatera. Selain Sumatera Biennale ini, sebelumnya, selama bertahun-tahun sudah ada perhelatan bernama PLDPS atau Pameran Lukisan dan Dialog Perupa se-Sumatera. Namun kalau ditilik karakternya, PLDPS cenderung lebih bersifat partisipatif dengan mengedepankan aspek representativeness atau keterwakilan pada tiap p

Bermain Ikon Sejarah

Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini telah dimuat di harian Media Indonesia , 8 Oktober 2006) Sore mulai berangin tatkala beberapa perupa yang beranjak gaek asyik mengobrol ngalor-ngidul di depan Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Hari itu, Selasa 19 September 2006. Di antara reriuhan itu ada Haris Purnomo, Ronald Manulang, dan Hari Budiono, yang pada 1978-an membikin heboh dengan mendirikan kelompok seni rupa PIPA (Kepribadian Apa). Ada juga Bonyong Munny Ardhi, Hardi, dan lainnya – yang pada tahun-tahun sebelumnya tak kurang heroiknya dengan aksi yang melegenda, Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB).   Ada gelak tawa yang membuncah pada pertemuan nostalgis mereka. Dan di ujung persuaan itu, mereka saling berucap dan berharap untuk kembali bertemu menuntaskan kangen di malam harinya, di Jogja Gallery. Namun Hari Budiono tidak mengiyakan. Dia tak akan datang pada pembukaan pameran sekaligus launching perdana galeri di Jalan Pekapalan di ujung timur laut alun-alun utara kraton Ngayogyakarta Hadiningr

Mengharap Kritisisme dan Kreativitas Anak Muda

Image
Bersama salah satu finalis Kompetisi Seni Lukis Remaja Indonesia 2012, Bella Tifa Ardhani dari Jakarta. Kompetisi ini diadakan oleh Yayasan Seni rupa Indonesia (YSRI). Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini dimuat dalam katalog Kompetisi Seni Lukis Remaja Indonesia YSRI tahun 2012) KOMPETISI dan pameran seni lukis remaja ini menjadi salah satu jendela kecil untuk melongok persepsi, imajinasi, juga opini anak-anak usia remaja dalam memandang kembali Pancasila. Ini bukan hal baru, namun layak untuk diketengahkan kembali. Pancasila sendiri sebagai ideologi negara, pandangan hidup bangsa, sistem falsafah, ataupun sebagai paradigma pembangunan, kini dianggap telah mengkhawatirkan posisinya karena tergeser bahkan tergusur dalam imajinasi juga kerangka berpikir anak-anak muda. Gelombang informasi yang datang bagai air bah dari berbagai penjuru adalah salah satu sebab munculnya berbagai subyek ketertarikan baru yang lebih “ideologis” dan memberi rasa nyaman bagi para anak muda kini.

Memanusiawikan Affandi

Image
Helfi Affandi, Pak Djon, Rukmini Affandi, dan Agung Tobing saat peluncuran buku "The Stories of Affandi", Juli 2012 lalu. (Catatan di bawah ini merupakan advertorial yang dimuat di majalah Visual Arts, edisi September-Oktober 2012) PENERBITAN buku “The Stories of Affandi” bukanlah proyek yang instan: mudah dan cepat. Ada rentang jarak antara imajinasi dan realisasi. Ini bila diukur dari jarak waktu mulai dari terlontarnya gagasan hingga peluncuran buku yang membutuhkan waktu 6 tahun. Setidaknya, inilah fakta yang terjadi menurut penggagasnya, Agung Tobing. Semuanya berawal pada tahun 2006. Kala itu, Agung bertemu dengan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Prabukusumo, salah satu adik Sri Sultan Hamengkubuwono X. Mereka berdua membincangkan banyak hal, termasuk tentang kepedulian Prabukusumo (yang mewakili Kraton Ngayogyakarta) atas kondisi aset seni yang dimiliki oleh simbol pengayom kebudayaan Jawa itu, yakni lukisan-lukisan karya Raden Saleh. Dari