Posts

Showing posts from October, 2009

Pencarian Identitas Visual Julnaidi

Image
(Wawancara oleh Kuss Indarto , dan disarikan oleh Kuss Indarto dan Satmoko Budi Santoso . Naskah ini telah dimuat di katalog pameran tunggal Junaidi Ms, [C]ARTOGRAPHY, Emmitan Contemporary Art Gallery, Surabaya, 11-31 Oktober 2009) ADA kurun waktu yang cukup panjang dan masuk dalam kesadaran yang laten ketika melihat seni rupa Minangkabau adalah seni rupa “mooi Indie”. Ini tak lepas dari peran seniman Semarang yang pada paruh pertama abad 20 lalu hijrah di Sumatra Barat, yakni Wakidi. Selanjutnya, hampir selalu melekat dalam identitas estetik perupa Minangkabau, idiom-idiom visual dalam kanvas yang menunjukkan keminangan. Misalnya, bentuk rumah. Salah seorang perupa yang berasal dari Minang ini, yakni Julnaidi Mustar, dengan segera menyergap perhatian karena upayanya melepaskan diri dari identitas estetika yang khas Minang. Pertanyaan yang segera mengemuka: ada apakah dengan Julnaidi Musyar? Apakah ia sengaja melakukan pengingkaran terhadap spirit tradisi estetik? Apa yang kemudian di

[c]artography, solo exhibition of Julnaidi Ms

Image
By Kuss Indarto There will be a time.... when an image with a name that it bears will loose its identity. (Michel Foucault, This is not a Pipe, 1983) [1]: Searching for a Change Julnaidi Mustar’s instinct of creative searching keeps moving. I distinguished his works in detail in 2005, when one of his paintings was chosen to be exhibited in visual art exhibition ““KOTAKATIKOTAKITA: Yang Muda Melihat Kota” in Yogyakarta Art Festival XVII, on July 2005 in Taman Budaya Yogyakarta. His work, entitled Kota Ritual Individualis (Individualist Ritual City) illustrates images of two piles of protuberant and pointed small and big stones. That strange stone looks arrogant. Tens of white boxes similar to crowded buildings grow about the stone. Jul seems like to tell about his strangeness to the (physical) situation of the city which starts to take a distance to its resident. Uniform cities but crowded, it seems that it is not more than a lump of conceited stone and raises a terror. Tha

Yogyakarta dalam Kerumun Seni Rupa Asia

Image
Oleh Kuss Indarto ( Tulisan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, Minggu Kliwon, 4 Oktober 2009, halaman 14) Kalau Yogyakarta mengklaim diri sebagai “ibukota seni rupa Indonesia”, publik bisa menemukan banyak rujukannya. Salah satunya dari laporan Artprice, sebuah lembaga data dan riset mengenai pasar seni rupa dunia yang berkedudukan di Paris, yang pada pertengahan tahun ini mengeluarkan sebuah laporan tahunan bertajuk Contemporary Art Market 2007/2008 (Artprice Annual Report). Ada banyak data penting perihal aspek komodifikasi atas karya seni rupa dalam kurun akhir tahun 2007 hingga akhir 2008 di sana. Di antara data laporan itu, bisa diketahui bahwa ada 9 nama seniman seni rupa (perupa) kontemporer Indonesia yang masuk dalam 500 Besar seniman yang karyanya terjual dengan harga tertinggi di bursa lelang di dunia. Dan sembilan perupa itu, semuanya berproses dan tinggal di Yogyakarta. Mereka adalah Nyoman Masriadi (berada di urutan 41), Agus Suwage (122), Rudi Mantovani