Posts

Showing posts from September, 2011

From Industrial Toward Personal

Image
By Kuss Indarto The pyroclastic storm at the temperature of 600 degrees Celcius, last October 2010, threatened to destroy so many forest and villages south and west of Merapi Volcano, Yogyakarta. The big wave of pyroclastic, part of the eruption of Merapi, climaxed till the night of November 4, 2010, when a big boom was heard, ripping the anatomy of the world’s most active volcano. This has been the worst eruption since the year 1872. The material blown out of the volcano’s stomach has been estimated to reach 140 million cubic meters. Wedhus gembel, the local phrase for pyroclastic, continued to expand its reach, destroying villages at the speed of 300 km/hour taking treasures and lives. From about 150 deaths, there was Mas Panewu Surakso Hargo, or more well known as Mbah Maridjan, the key keeper of Merapi and abdi dalem (courtier of) Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat, died at the age of 83 after staying in his house, refusing to evacuate because of a belief : that he must be

Dari yang Industrial Menuju yang Personal

Image
Oleh Kuss Indarto BADAI pyroclastic dengan suhu sekitar 600 derajat Celcius, akhir Oktober 2010 lalu, bergulung-gulung menghantam sekian banyak hutan dan desa di gigir selatan dan barat daya gunung Merapi, Yogyakarta. Gulungan pyroclastic yang bergelombang besar, yang menjadi bagian dari erupsi Merapi berpuncak hingga 4 November malam ketika beberapa kali dentuman keras merobek bagian atas dari anatomi gunung paling aktif di dunia itu. Inilah letusan Merapi yang paling dahsyat setelah letusan tahun 1872. Setidaknya dari muntahan material dari perut Merapi yang diperkirakan mencapai 140 juta meter kubik. Dan wedhus gembel, istilah lokal untuk menyebut pyroclastic, semakin meluas meluluh-lantakkan desa-desa yang dilewatinya dengan kecepatan 300 km/jam membawa korban jiwa dan harta benda. Di antara sekitar 150 korban jiwa itu ada sosok Mas Panewu Surakso Hargo atau yang karib dipanggil sebagai Mbah Maridjan, sang juru kunci Merapi. Abdi dalem kraton Ngayogyakarto Hadiningrat be

Ketika Jogja tak Dominan di Kandang

Image
oleh Kuss Indarto EMPAT puluh nama perupa dan kelompok perupa, akhirnya, terpilih sebagai seniman peserta Biennale Jogja XI-2011. Mereka terdiri dari seniman dua negara, yakni Indonesia dan India, dan memiliki basis kreatif beragam. Pilihan tersebut didasarkan pada pengamatan atas pencapaian kreatif para seniman itu oleh kurator Alia Swastika (Indonesia) dan co-curator Suman Gopinath (India). Hasil pilihan mereka itu dibeberkan dalam forum terbatas di kantor Biennale Jogja XI-2011 di Taman Budaya Yogyakarta, Senin, 22 Agustus 2011 malam lalu. Presentasi karya mereka secara final dalam bentuk pameran akan berlangsung mulai 25 November 2011 mendatang dan berlangsung selama dua bulan. Menilik nama-nama perupa dan kelompok perupa peserta, terutama yang berasal dari Indonesia, sedikit banyak akan terlacak dan terbayangkan presentasi karyanya kelak. Seni rupa konvensional dua dimensi, yakni lukisan, sudah nyaris diduga tak akan (banyak) mendapatkan tempat. Sementara karya-karya