Posts

Showing posts from 2009

COMMEMORATION

Image
Keterangan foto: (dari atas) karya Heri Dono, Wassily Kandinsky, dan Hans Hartung. * Pameran Koleksi Galeri Nasional Indonesia 17 Des 2009 s/d 10 Jan 2010 Catatan oleh Kuss Indarto Perhelatan pameran ini sepenuhnya merupakan eksposisi atas karya koleksi Galeri Nasional Indonesia (GNI). Hanya sekitar 2,5 persen karya diketengahkan dari sekitar 1.770 karya yang kini dimiliki oleh GNI. Berangkat dari aspek kuantitas tersebut, pameran ini mencoba merepresentasikan bagian kecil dari potongan penampang sejarah pengoleksian karya di dalam GNI. Publik barangkali bisa bersepaham bahwa pameran ini, kiranya, merupakan sebuah “tanda peringatan” atau “kenangan” untuk membaca kembali rentetan karya koleksi yang dimiliki Galeri Nasional Indonesia. Ada karya-karya penting perupa dunia yang layak untuk diapresiasi kembali, berikut dugaan publik atas pengaruh karya-karya tersebut dalam khasanah seni rupa di dunia, termasuk Indonesia. Ada pula rentetan karya yang menjadi penanda penting atas ban

Pameran Pathway di Bangkok, Thailand

Image
25 November 2009, duta besar RI untuk Thailand, Mohammad Hatta, membuka pameran Pathway, di Galeri Nasional Bangkok. Ini adalah program pameran karya koleksi Galeri Nasional Indonesia di Thailand. Ada 18 karya lukis dan grafis yang dibawa dari Indonesia dan digabung dengan 4 karya perupa (koleksi Galeri Nasional) Thailand. Dari Indonesia ada karya S. Soedjojono, Affandi, Mochtar Apin, Soeromo, dan sebaginya. Setelah melihat keadaan Galeri Nasional Thailand, sebenanya Indonesia bisa sedikit berbangga. Fasilitas gedung Galeri Nasional Indonesia jauh lebih megah, besar dan lengkap ketimbang Thailand. Karya koleksipun juga lebih kaya Indonesia. Namun, soal kebersihan dan perawatanlah yang barangkali Negeri Gajah Putih itu lebih unggul. Ya, ini baru kesan sekilas. Karya seniman Indonesiapun relatif lebih jauh berkembang dibanding seniman Thailand. Setidaknya penilaian ini terlihat dari karya yang terpampang dalam ruang pameran kemarin. Dan memang dari kecenderungan yang berkembang dewasa i

Pameran EXPOSIGNS

Image
Hari ini, Senin, 30 November 2009, aku menyaksikan pameran EXPOSIGNS di gedung Jogja Expo Center (JEC), di Yogyakarta bagian timur. Sebagai salah satu anggota tim kurator dari pameran tersebut, tentu “keterlaluan” sekali aku baru menyaksikan pameran yang aku kuratori. Ya, apa boleh buat? Aku memang tak bisa maksimal terlibat dalam pameran ini. Sehari menjelang pembukaan pameran, aku harus bertolak ke Bangkok, Thailand, untuk ikut terlibat dalam pameran koleksi Galeri Nasional Indonesia (GNI) di Galeri Nasional Bangkok. Aku berangkat 24 November pagi bersama pak Tubagus “Andre“ Suksmana (Kepala GNI) dan pak Sulistyo Tirtokusumo, Direktur Kesenian, Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan Nasional. Di sana sudah menunggu mas Rizki Zaelani, salah satu kurator GNI dan mas Eddy Susilo, Kepala Seksi Pameran GNI. Kapasitasku tentu sebagai salah satu kurator GNI juga. Pameran itu sendiri dibuka oleh duta besar RI untuk Thailand, Mohammad Hatta, mantan politisi Golkar yang sebelumnya lama dud

Pencarian Identitas Visual Julnaidi

Image
(Wawancara oleh Kuss Indarto , dan disarikan oleh Kuss Indarto dan Satmoko Budi Santoso . Naskah ini telah dimuat di katalog pameran tunggal Junaidi Ms, [C]ARTOGRAPHY, Emmitan Contemporary Art Gallery, Surabaya, 11-31 Oktober 2009) ADA kurun waktu yang cukup panjang dan masuk dalam kesadaran yang laten ketika melihat seni rupa Minangkabau adalah seni rupa “mooi Indie”. Ini tak lepas dari peran seniman Semarang yang pada paruh pertama abad 20 lalu hijrah di Sumatra Barat, yakni Wakidi. Selanjutnya, hampir selalu melekat dalam identitas estetik perupa Minangkabau, idiom-idiom visual dalam kanvas yang menunjukkan keminangan. Misalnya, bentuk rumah. Salah seorang perupa yang berasal dari Minang ini, yakni Julnaidi Mustar, dengan segera menyergap perhatian karena upayanya melepaskan diri dari identitas estetika yang khas Minang. Pertanyaan yang segera mengemuka: ada apakah dengan Julnaidi Musyar? Apakah ia sengaja melakukan pengingkaran terhadap spirit tradisi estetik? Apa yang kemudian di

[c]artography, solo exhibition of Julnaidi Ms

Image
By Kuss Indarto There will be a time.... when an image with a name that it bears will loose its identity. (Michel Foucault, This is not a Pipe, 1983) [1]: Searching for a Change Julnaidi Mustar’s instinct of creative searching keeps moving. I distinguished his works in detail in 2005, when one of his paintings was chosen to be exhibited in visual art exhibition ““KOTAKATIKOTAKITA: Yang Muda Melihat Kota” in Yogyakarta Art Festival XVII, on July 2005 in Taman Budaya Yogyakarta. His work, entitled Kota Ritual Individualis (Individualist Ritual City) illustrates images of two piles of protuberant and pointed small and big stones. That strange stone looks arrogant. Tens of white boxes similar to crowded buildings grow about the stone. Jul seems like to tell about his strangeness to the (physical) situation of the city which starts to take a distance to its resident. Uniform cities but crowded, it seems that it is not more than a lump of conceited stone and raises a terror. Tha

Yogyakarta dalam Kerumun Seni Rupa Asia

Image
Oleh Kuss Indarto ( Tulisan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, Minggu Kliwon, 4 Oktober 2009, halaman 14) Kalau Yogyakarta mengklaim diri sebagai “ibukota seni rupa Indonesia”, publik bisa menemukan banyak rujukannya. Salah satunya dari laporan Artprice, sebuah lembaga data dan riset mengenai pasar seni rupa dunia yang berkedudukan di Paris, yang pada pertengahan tahun ini mengeluarkan sebuah laporan tahunan bertajuk Contemporary Art Market 2007/2008 (Artprice Annual Report). Ada banyak data penting perihal aspek komodifikasi atas karya seni rupa dalam kurun akhir tahun 2007 hingga akhir 2008 di sana. Di antara data laporan itu, bisa diketahui bahwa ada 9 nama seniman seni rupa (perupa) kontemporer Indonesia yang masuk dalam 500 Besar seniman yang karyanya terjual dengan harga tertinggi di bursa lelang di dunia. Dan sembilan perupa itu, semuanya berproses dan tinggal di Yogyakarta. Mereka adalah Nyoman Masriadi (berada di urutan 41), Agus Suwage (122), Rudi Mantovani

[c]artography

Image
Oleh Kuss Indarto (Catatan ini dimuat dalam katalog pameran tunggal Julnaidi, [c]artography, di Emmitan Art Contemporary Gallery Surabaya, 11 Oktober 2009. Foto karya bertajuk "Dunia Ide", 2009) Akan datang suatu masa…ketika citra beserta nama yang disandangnya akan kehilangan identitasnya. ( Michel Foucault, This is not a Pipe, 1983) [1]: Mencari Perubahan Naluri pencarian kreatif Julnaidi Ms terus saja bergerak. Saya mengenal karyanya dengan cukup rinci pada tahun 2005, saat salah satu lukisannya terpilih untuk mengikuti pameran seni rupa “KOTAKATIKOTAKITA: Yang Muda Melihat Kota” di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) XVII, Juli 2005 di Taman Budaya Yogyakarta. Karyanya yang bertajuk Kota Ritual Individualis itu menggambarkan sebuah cecitraan dua gunduk batu berukuran besar dan kecil, yang meruncing dan menjulang. Batu aneh itu berkesan angkuh. Di sekujur tubuh batu tersebut bertumbuh puluhan kotak putih serupa citra bangunan gedung-gedung yang riuh. Jul seperti ingi

Main-main Tommy

Image
oleh Kuss Indarto ( Catatan pendek yang termuat dalam katalog ini untuk menyertai pameran tunggal Tommy Tanggara, Hey God, di Sangkring Artspace, Yogyakarta, 1-14 September 2009) Tommy Tanggara masih saja suka bermain-main. Garis-garisnya yang tertoreh di atas kanvas meliukkan cecitraan yang kartunal: model-model benda, tubuh, atau apapun yang bebas dari terkaman kaidah anatomi real. Tangan dan benaknya bagai bebas bergerak meruntuti imajinasi. Pameran tunggalnya kali ini, cukup beda dengan yang dipresentasikannya dalam “Covenant of Love” di CG Art Space, Jakarta, Desember 2008 lalu. Kala itu, tema yang berkait dengan relijiusitas yang dibopongnya begitu kental, meski penuh tarikan simbol-simbol (baru) yang menggiring persepsi segar. Apresian disuguhi, misalnya, oleh citra tentang “Perjamuan Terakhir” versi “Jawa” ketika dalam kanvas Tommy muncul 13 orang yang duduk lesehan membentuk formasi lingkaran. Bukan lewat pelukisan ala Leonardo da Vinci yang duduk berderet di sebuah meja panj

Tamasya Surealistik Kaum Terpinggirkan

Image
(Wawancara dengan Totok Buchori oleh Kuss Indarto, dan disarikan oleh Kuss Indarto dan Satmoko Budi Santoso. Naskah ini dimuat dalam pameran tunggal Totok Buchori, "Megaphonology", di Mon Decor Art Space, Jakarta, 20-31 Agustus 2009) MEMAHAMI proses kreatif adalah sesuatu hal yang penting dalam melihat segi paling holistic dari karya. Terlebih lagi pada sosok perupa. Bagaimanapun karya yang lahir tidak bisa dilepaskan dari keterkaitan proses kreatif yang bernilai sebagai sejarah tersendiri. Totok Buchori boleh jadi adalah perupa yang dalam era booming kemarin tidak ikut muncul dalam posisi yang sangat diuntungkan. Namun bukan berarti ia stagnan, atau tak lagi mempunyai mesiu kreatif. Pameran tunggalnya ini membuktikan bahwa ia masih tetap konsisten mengeksplorasi titik pijak surealistik dalam karya-karyanya sebagaimana trade mark yang melekat pada dirinya semenjak tahun 1980-an. Itulah yang juga membuatnya cukup diperhitungkan dalam khazanah percaturan dunia seni rupa Indone

Gelembung Harapan

Image
Oleh Kuss Indarto (Teks ini dimuat dalam katalog pameran "Up & Hope", di D'Peak Art Space, 8-27 Agustus 2009. Foto karya Budi "Swiss" Kustarto, Ketika Itu , 2009) [ Pertama]: “Mengenang” Booming Masa-masa boom seni rupa yang hingar-bingar tampaknya luruh sudah. Masa bulan madu pada kurun 2007-2008 yang menghinggapi para perupa di kawasan Asia itu—tentu termasuk perupa Indonesia di dalamnya—banyak memberi guncangan yang terasa cukup fenomenal. Pada beberapa segi bisa pula dikategorikan sebagai “keajaiban” karena banyak hal belum pernah terjadi sebelumnya, seperti melesatnya harga karya seorang seniman yang jauh di atas perkiraan. Fenomena tersebut, yang bisa terlacak dari deretan angka-angka, menyeruak dari rumah-rumah lelang yang bertebar di seantero jagad. (Tentu saja menyebut data kuantitatif yang berasal dari balai lelang terkadang bisa diasumsikan memberi bias pemahaman oleh sebagian kalangan karena diduga mereduksi beberapa hal yang substansial berkait