Posts

Showing posts from January, 2007

Lanskap Indonesia versi Economist

Image
Ada catatan sangat menarik dari blog -nya Bung Philip Jusario Vermonte, seorang peneliti di CSIS Jakarta, yang pantas untuk aku kutip di sini. Tengkiu abis ya bung PJVer, atas ijinnya. (Kalok foto nan mooi ini jelas lanskap Ngarai Sianok di pinggir kota Bukittinggi, Sumbar. Hmm, segar banget hawanya, setidaknya itu yang kurasakan awal 2002 lalu). Ini nih teks dari bung PJVer: Sore tadi saya dapat kiriman dari majalah The Economist . Karena saya berlangganan majalah ini, saya mendapat hadiah awal tahun sebuah buku kecil berjudul World in Figures 2007 edition . Isinya data-data berdasarkan beragam kategori mengenai negara-negara di dunia, dikemas menjadi handy dan accessible sebesar buku saku, tebalnya 254 halaman. Saya melakukan quick reading , dan menemukan hal-hal menarik yang bisa dibagi di sini. Beberapa dari data itu saya kutip di bawah, juga saya sertakan data mengenai negara tetangga seperti Thailand, Filipina, Malaysia atau Singapura. Ini dia: A. Largest Population: (1) Cina 1,3

Kutipan "Muara Tanpa Muara"

Image
Ini sekadar kutipan teks dari buku souvenir pernikahanku. Kami sendiri menikah pada hari Minggu, 2 Juli 2006. Yah semacam pengantar kuratorial gitulah, biar keren kedengarannya. Karena kukira souvenir pernikahan itu kan bisa dimaknai sebagai bagian penting dari kultur berterima kasih dalam ritus perkawinan. Makanya aku menulis dengan penuh ekspektasi pada teman2 yang akan ngisi buku pernikahanku itu. Siapa tahu mereka memberikan banyak hal yang berguna untuk memperadabkan ( civilizing haha) aku ketika masuk ke garba rumah tangga. Menarik, karena teman2 yang adalah intelektual, aktivis LSM, dosen, seniman seperti halnya mas St. Sunardi dan mbak Damairia Pakpahan, DR. Budiawan, DR. George Junus Aditjondro, Prof. DR. I Made Bandem, Mas Suwarno Wisetrotomo, Adi Wicaksono, Agus Noor, Faisal "Sukribo" Ismail, Agung "Leak" Kurniawan, Arie Sudjito, Abdurrozaki, Kris Budiman, dan lainnya, bisa lepas menulis tentang aku dan perkawinanku dengan sangat menarik. Yah, kado indah

Muara Tanpa Muara

Muara Tanpa Muara: Sebuah Kuratorial untuk Menikah Oleh Kuss Indarto dan Narina Saraswati Akhirnya kami menikah, saudara-saudara! Dan, piye meneh, harus memutuskan menikah untuk mengesampingkan pilihan-pilihan lain yang melelahkan dan tak membuat produktif. Tiga tahun melewatkan masa berpacaran, sejak medio April 2003, relatif bukan waktu yang pendek (atau malah sekaligus bukan waktu yang panjang), untuk dapat saling memahami. Kalau Lao Tse berfilsafat bahwa: “orang yang tahu dikalahkan oleh orang yang kenal, orang yang kenal dikalahkan oleh orang yang mengerti, orang yang mengerti dikalahkan oleh orang yang memahami”, maka – barangkali – fase untuk memahami memang tengah dan akan senantiasa kami bangun. Atau kalau menjumput secara “ngawur” teorinya Michael J Gelb yang merisalahkan Menjadi Jenius seperti Leonardo da Vinci (2001), kami seperti tengah mencoba merunuti elemen esensial seperti curiosita , yaitu pendekatan berupa keingintahuan akan pasangan kami dan upaya untuk belajar tanp

Advis Kawin dari Pak George Aditjondro

Image
Hah, semalam aku antar istriku ke dokter untuk periksa kandungan. Baik-baik saja. Kepala si calon jabang bayi sudah di posisi yang bener, gak kayak bulan bulan lalu yang sempat aku waswas kalok ntar sungsang . Hmm, masuk bulan ketujuh kehamilan istriku membuatku makin banyak berharap pada keajaiban2 positif yang kan menimpa keluargaku, yang semoga memberi pengayaan warna pada perkawinan kami. Ah, aku jadi ingin menampilkan tulisan dosen dan sahabatku, Pak DR George Junus Aditjondro yang memberi wejangan pada buku souvenir perkawinanku 2 Juni 2006 lalu. Buku setebal 140 halaman yang diisi teks dan komik karya temen2ku itu, yang kuberi judul "Muara Tanpa Muara" , masih saja jadi monumen kebanggaan atas perkawinan kami. Yah, kalo souvenir cuman untel-untelan duit Rp 50.000,- seperti mantenannya cucunya Soeharto itu sih kampungan dan tidak edukatif. Kalo "cuman" tempat lilin mewah sih sudah stereotip. Nah, kalo buku kan bisa jadi medium pembelajaran publik, setidaknya y

"(P)leasure" ala Bupati Bantul

Image
Sabtu pagi ini aku dan beberapa teman seniman ketemu Pak Idham Samawi, Bupati Bantul. Intinya sih mo nglaporin perhelatan Festival Segara Kidul akhir tahun kemarin yang lumayan berhasil, dan mediasi ke publik lumayan bagus. Bupati pun salut dan sependapat. Kecuali acara pak Djoko Pekik, pelukis satu miliar rupiah itu, yang gagal. Lihatlah siluet aut wajah kecewanya di foto sebelah ini hahahahaha! (Sadis amat ya komentarnya). Tapi obrolan resmi dengan bupati justru menyita waktu yang cukup singkat. Malah sebagian besar waktu pertemuan berjalan santai banget. Pak Idham malah crita banyak soal hobi mancing di Segara Kidul (Samudra Hindia) yang berombak besar. Pengalaman "heroiknya" ya saat mendapat ikan tengiri seberat 26 kilogram. Sementara seorang lurah yang diajak mancing malah sibuk muntah-muntah karena hemasan ombak besar hingga membuat wajah sang Lurah pucat bagai kertas HVS. Juga cerita keterlambatan Pak Idham ketika menemui kami karena, katanya, dari pagi sudah menerima

Kurang Produktif...

Image
Selama setahun lalu, sepanjang 2006, aku masih belum terlalu produktif menulis. Entah di media massa atau untuk yang keperluan lain. Seperti di katalogus pameran dan lainnya. Data yang sempat kucatat adalah ada dua tulisanku yang termuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Lalu ada 7 tulisan di Media Indonesia, Jakarta. Jumlah yang sama, tujuh, juga tersebar di koran Suara Merdeka, Semarang, dan di harian Kompas, Jakarta tiga (3) tulisan. Sedang tulisan lain, ah, tak terdata dengan baik. Mungkin kurang lebih sama dengan yang kutulisakan di media massa. Ah, moga2 tahun 207 ini bisa lebih produktif. Semoga!

Is She Smiling for Two?

by Laurie Hurwitz From Artnews, edisi Januari 2007 Photo caption: Out of the box and ready for her close-up: the Mona Lisa undergoes examination by X-ray fluorescence. Space-age technology allowed restorers to see details of the Mona Lisa they never could before Newspaper headlines recently gave the Louvre’s most famous resident a new name. Maybe, they suggested, we should call her “Mama Lisa,” because a team of researchers who examined Leonardo’s masterpiece last September concluded that the Mona Lisa was pregnant. Under her thick coat of dirty varnish, the researchers said, she is wearing not a shawl but a fine, gauzy veil attached to a white bonnet that is no longer visible. Such garments were typically worn by Italian Renaissance women when they were pregnant. Leonardo’s portrait of the young wife of a Florentine silk merchant, painted between 1503 and 1506, is so famous and popular that the Louvre has given it its own gallery and keeps it in a special humidity- and temperature-co
Image
Satu Januari pagi aku dalam keadaan capek. Semalaman, dan tentu dengan persiapan beberapa waktu sebelumnya, aku memanitiai Festival Segara Kidul di pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta. Puncaknya memang saat mala pergantian tahun. Penonton melimpah di depan panggung. Setidaknya memnucak hingga sekitar 2.000-an orang menyemut di areal itu. Ini lumayan mengobati kekecewaanku pada happening art-nya pak Djoko Pekik di sepanjang pantai yang gagal. Serabut kelapa dan kain yang terentang sekitar 2 kilometer gagal dibakar saat sunset karena angin yang kencang. Puluhan wartawan tak menemukan momen istimewa yang sangat ditunggu2. Sayang memang, tapi apa boleh buat. Pak Pekik tampaknya kurang memperhitungan kekuatan alam itu. Seharian penuh tiduran aja. Diselingi dengan kondangan tak jauh dari rumah pada jam 12.0-an. Abis itu tidur lagi. Malam hari, aku dan istriku keluar rumah. Mo ke pameran buku di gedung Pamungkas di timur stadion Kridosono, Kotabaru. Cukup ramai, meski kota belum banyak be

Tahun Baru 2007

Hmm, kalender harus dicabut dari dinding, dan kuganti dengan almanak baru, 2007. Waktu memang tak bisa dihentikan, seperti denyut nadi yang memompa darah dari jantung dan aorta. Rasanya ingin menjelajah waktu sewaktu-waktu. Ingin tiba2 masuk ke tahun 1974 saat aku masuk TK Bayangkara di asrama Brimob Baciro, Yogyakarta yang cukup ajaib bagi masa kanak-kanakku. Atau menerobos ke tahun 1978 saat aku dan teman2 masa kecilku berombongan naik bus asrama ke kantor Polwil (?) di Malioboro yang sekarang telah dulap jadi arela perluasan Hotel Natour Garuda. Atau tiba2 ingin melesat ke tahun 2019 saat usiaku 50 tahun. Pasti ada keajaiban dengan lingkunganku, dengan habitus baruku, dengan sistem sosial yang memerangkap komunitasku. Apa boleh buat, aku tak bisa berpaling ke belakang kecuali berimajinasi menembus waktu yang telah lampau untuk menyuguhkan secuil nostalgi atau memori yang kadang sangat penting untuk merenung. Selamat Natal bagi yang masih merayakan. Selamat Idhul Adha bagi yang juga

Poros Trio-Parang: Dari Mitos ke Pengharapan

(Ini tulisan untuk 'genep-genep', daripada gak ada hehehe, untuk buklet Festival Segara Kidul 2006 yang berlangsung di pantai Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta, Minggu 31 Desember 2006) Menyebut ikon wisata pantai di Yogyakarta, dengan serta merta ingatan kolektif kita, tak pelak, akan mengerucut pada nama Parangtritis dan Parangkusumo. Ini tentu tak bertendensi mengesampingkan kawasan pantai lain. Dua nama pantai ini bagai pasangan ‘kembar identik’ karena kebetulan berada dalam satu wilayah yang hanya terentang oleh jarak sekitar 2,5 km. Di antara keduanya, meski belum sangat populer, ada pantai atau dusun Parangbolong yang kini juga terus berbenah merapikan diri. Kelak, siapa tahu, bakal menjadi ‘kembar tiga’ sebagai trio pantai (Parangtritis-Parangbolong-Parangkusumo) yang terintegrasi untuk saling berjajar dan saling bermutualisma sebagai mata rantai wisata bahari di kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. Kawasan trio pantai ini juga gampang ditempuh dari kota Yogyakarta yang ber