Posts

Showing posts from October, 2006

Memoar Apotik Komik

Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas , Minggu 22 Oktober 2006 halaman 29) Apotik Komik menutup hikayat. Tak ada air mata. Tiada tangis sedu-sedan untuk melepas kepergiannya. Seremoni penamatan riwayat komunitas seni rupa yang cukup populer dan fenomenal di Yogyakarta ini dilangsungkan dengan peluncuran buku tentang proyek seni mereka, Sama-Sama/Together , di Jogja Gallery, Sabtu malam, 7 Oktober 2006. Buku tersebut memuat teks dan foto dokumentasi proyek Sama-Sama/Together antara Apotik Komik dan CAMP (Clarion Alley Mural Project) San Fransisco yang berlangsung di Yogyakarta dan San Fransisco tahun 2003 lalu. Sayang forum itu tidak dihadiri secara lengkap oleh personal inti Apotik Komik. Hanya Samuel Indratma dan Ari Diyanto. Sementara eksponen lain yang mengawali pembentukan kelompok tersebut pada April 1997, Bambang Wicaksono dan Popok Tri Wahyudi, tak nampak. Diskusi kecil yang menyertai peluncuran buku itu pun relatif tidak cukup serius. Penuh celotehan, sal

Huhuhuhuuu

Sedih juga Valentino Rossi gak bisa juara MotoGP lagi. Sirkuit Valencia Spanyol emang gak cukup cocok buat dia. Sayang banget sih karena Nicky Hayden, juara baru itu, sebetulnya belum jadi juara sejati ketimbang Rossi dalam 5 taun terkahir. Untuk taun ini aja Rossi bisa menang di 5 sirkuit, lebih banyak ketimbang Hayden yang cuma jagoan di 2 sirkuit. Cuma konsisten aja di banyak seri sebagai medioker. Juara kagak, bontot juga enggak. Ini kayak Michael Schumacher di F1 yang taun ini dimenangi lagi sama Alonso. Scummy cuma kalah mujur ketimbang si Espanola bedebah itu. Persis kayak taun kemaren yang garis kemujuran dari Dewi Fortuna "dikasihkan" ke Alonso, bukan ke Kimi Raikonen yang jauh lebih piawai ngebut dengan jet darat. Liat aja taun 2007 depan, Alonso pasti keteteran jauh di belakang Kimi atawa Felipe Massa. Apalagi Alonso "cuma" nongkrong di belakang cockpit McLaren yang banyak punya problem mesin, daripada tunggangan baru Kimi, Ferarri.
Image

J.Allora - G.Calzadilla

Ini foto karya J.Allora - G.Calzadilla yang sedang dipajang di bienalle venice, italia, yang memang sedang jatahnya fotografi, film dan arsitektur.

Galeri Simbol Kota

Image
Artikel di bawah ini sudah dimuat di harian Kompas edisi Yogyakarta dan Jateng, Rabu 18 Oktober 2006 kemaren. Jujur aja , ini artikel yang kurasa masih agak prematur. Data masih minim dan argumentasi kurang "mbuku". Tapi mas Budiawan yang doktor sejarah itu malah komentar via sms kalau itu artikel "apik, dab!" Dia nyarain juga agar aku (serius) masuk IRB (Ilmu Religi Budaya) Sanata Dharma dan ntar bikin tesis dengan judul "Cultural-Economy of Art Galleries in Yogyakarta". Juga alternatif nyari beasiswanya dimana. Walah, walah, kalok dikasih aba-aba gitu jadi ngeri nih Aku sih sebetulnya cuma nyindir aja via tulisan itu, bahwa kalo bikin galeri dengan embel2 sebagai galeri publik internasional itu nggak gampang. Apalagi kalo cuman cari link dengan galeri di kota kecil yang tak begitu penting semacam Wollongong. Emang sih di Ngostralia tapi kan gak semua yang bau luar negri tuh bagus. Sayang kan, bikin galeri denan biaya mahal, sudah pake nama Jogja, tapi di

Sebel, cah...

Aku sebel banget dengan tulisan Kun Adnyana di Kompas , Minggu 8 Oktober 2006 lalu. Bagaimana tidak, sebuah ulasan seni rupa yang ditulis oleh seorang dosen seni rupa, bahkan mahasiswa pascasarjana, isinya cuma puja-puji melulu. Seperti tulisan wartawan biasa yang sekadar memenuhi kaidah jurnalistik, 5W + 1H. Miskin kritisisme yang bisa mencerahkan pembaca. Inikah produk pendidikan S2 ISI Yogyakarta yang ngejar kuantitas aja? Hahahaha. Bener lho , respon semacam ini juga menghinggapi banyak teman seniman yang baca tulisan Kun tersebut. Ora mutu . Atau takut sama kurator pameran yang diulasnya, Dwi Marianto, yang kebetulan dosen dan direktur S2 ISI Yogya? Ah, lebih gombal lagi kalo itu yang terjadi. Bikin seni rupa gak maju-maju. Hihihi. Untung di hari yang sama tulisanku juga muncul di harian Media Indonesia . Isinya juga ulasan tentang pameran yang sama, Icon: Retrospektif . Ya, cuma nasibnya agak beda. Kalau dimuat Kompas , pasti yang baca lebih banyak karena tirasnya sampai 500 ribu

Bermain Ikon Sejarah

Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini telah dimuat di harian Media Indonesia , Minggu 8 Oktober 2006) Sore mulai berangin tatkala beberapa perupa yang beranjak gaek asyik mengobrol ngalor-ngidul di depan Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Hari itu, Selasa 19 September 2006. Di antara reriuhan itu ada Haris Purnomo, Ronald Manulang, dan Hari Budiono, yang pada 1978-an membikin heboh dengan mendirikan kelompok seni rupa PIPA (Kepribadian Apa). Ada juga Bonyong Munny Ardhi, Hardi, dan lainnya – yang pada tahun-tahun sebelumnya tak kurang heroiknya dengan aksi yang melegenda, Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Ada gelak tawa yang membuncah pada pertemuan nostalgis mereka. Dan di ujung persuaan itu, mereka saling berucap dan berharap untuk kembali bertemu menuntaskan kangen di malam harinya, di Jogja Gallery. Namun Hari Budiono tidak mengiyakan. Dia tak akan datang pada pembukaan pameran sekaligus launching perdana galeri di Jalan Pekapalan di ujung timur laut alun-alun utara kraton Ngayogyakarta Hadining

Potret-potret Palsu Plantungan

Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini dimuat dalam katalog pameran fotografi: Habis Gelap tak Kunjung Terang di Taman Budaya Yogyakarta, 20-24 April 2006) Sekitar September-Oktober 2005 lalu, HD. Haryo Sasongko merilis puluhan puisi lewat media dunia maya (cyberspace). Dari sudut ritme bunyi atau pun kebahasaan, sebenarnya puisi-puisi itu begitu lugu dan lugas tanpa banyak "kelokan" yang melenturkan kata demi kata. Nyaris tiada berupaya memesonakan diri lewat metafora. Belum cukup "artistik", dan tampaknya bukan capaian itu yang ingin direngkuh. Melainkan membangun realitas dalam puisi yang berkehendak untuk menampilkan keutuhan isi atas narasi yang didedahkan kembali dari hasil wawancara yang direpresentasikan lewat sebentuk puisi. Salah satu puisi tersebut bertajuk Plantungan: di plantungan desa yang dingin itu di barak-barak kotor bekas tempat perawatan penderita lepra yang juga dihuni ular, ulat, dan kelabang serta serangga kami yang tercatat menjadi anggota gerwani at

Memeriksa Ulang Tanda-Kuasa

Oleh Kuss Indarto (Tulisan ini dimuat di harian Suara Merdeka Semarang, Minggu 14 Mei 2006) Sejatinya, dalam pembacaan saya, perhelatan ini merupakan salah satu upaya untuk memeriksa kembali relasi praktik kuasa yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakatnya. Orde dan order. Tatanan dan pesanan atau perintah. Dua terminologi yang saling bertaut melekat, yang senantiasa beroperasi ulang-alik antarkeduanya. Puluhan bahkan ratusan obyek atau artifak renik yang dijumput dari masa lalu itu dikumpulkan kembali. Dielus kembali. Dilap dan dibersihkan dari puing-puing pola makna masa lalu yang dibangun oleh negara Orde Baru, untuk kemudian direkonstruksi dengan modus, sistem, dan cara pandang pemaknaan yang berbeda – untuk tak mengatakan baru. Dengan demikian, pameran dengan tajuk Orde & Order yang berlangsung 5 Mei hingga 3 Juni mendatang di Kedai Kebun, Jalan Tirtodipuran 3 Yogyakarta ini, saya kira, juga mengagendakan kembali proses mengingat untuk merancang – atau setidaknya meraba-r