Yogyakarta dalam Kerumun Seni Rupa Asia
(Tulisan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, Minggu Kliwon, 4 Oktober 2009, halaman 14)
Kalau Yogyakarta mengklaim diri sebagai “ibukota seni rupa Indonesia”, publik bisa menemukan banyak rujukannya. Salah satunya dari laporan Artprice, sebuah lembaga data dan riset mengenai pasar seni rupa dunia yang berkedudukan di Paris, yang pada pertengahan tahun ini mengeluarkan sebuah laporan tahunan bertajuk Contemporary Art Market 2007/2008 (Artprice Annual Report). Ada banyak data penting perihal aspek komodifikasi atas karya seni rupa dalam kurun akhir tahun 2007 hingga akhir 2008 di sana.
Di antara data laporan itu, bisa diketahui bahwa ada 9 nama seniman seni rupa (perupa) kontemporer Indonesia yang masuk dalam 500 Besar seniman yang karyanya terjual dengan harga tertinggi di bursa lelang di dunia. Dan sembilan perupa itu, semuanya berproses dan tinggal di Yogyakarta. Mereka adalah Nyoman Masriadi (berada di urutan 41), Agus Suwage (122), Rudi Mantovani (142), Putu Sutawijaya (152), Yunizar (176), Handiwirman Saputra (250), Budi Kustarto (316), Jumaldi Alfi (384), dan M. Irfan (481).
Nama-nama perupa Yogyakarta di atas menyeruak di antara sekitar 160-an seniman papan atas China, antara lain Zhang Xiaogang, Zeng Fanzhi dan Yue Minjun yang masing-masing berada di urutan kelima, 6 dan 7. Mereka juga menyelip di antara nama-nama perupa kelas dunia dewasa ini yang kita bersama telah mafhum kualitas karyanya, seperti Jeff Koons, Jean-Michel Basquiat, Damien Hirst, serta Richard Prince yang secara berurutan berada di deretan pertama, 2, 3 dan 4. Dalam “kerumunan” itu juga tercetak nama-nama besar yang lain seperti Takashi Murakami yang berada di level 8, Keith Haring (16), Anish Kapoor (18), Yoshitomo Nara (21), Banksy (22), Anselm Kiefer (25), Julian Schnabel (47), dan ratusan nama top lain. Dengan berderetnya ratusan nama seniman Asia dalam daftar 500 Besar seniman terlaris di dunia itu, kekuatan seniman Asia tampaknya mulai diapresiasi dengan baik, meski tetap dengan dugaan kontroversi(al)nya. Misalnya dugaan adanya konspirasi para pemilik modal China yang mengangkat keberadaan seniman China lewat kekuatan kapitalnya.
Apapun, entah itu bagian dari kekuatan yang dikonstruksi lewat konspirasi ataupun berlangsung dengan “alamiah”, faktanya, kekuatan pasar seni rupa di Asia telah merangsek dengan sangat mencengangkan. Gelembung pasar seni yang kian menggembung dalam kurun boom 2007-2008 telah menghasilkan realitas yang tak bisa dielakkan, yakni: 10 Besar negara di dunia yang memiliki balai lelang terlaris, 5 negara di antaranya berada di Asia. Amerika Serikat, masih menurut Contemporary Art Market 2007/2008 (Artprice Annual Report), menempati level utama dengan mengeruk hasil penjualan hingga menyentuh 348 juta Euro dari seluruh balai lelang yang beroperasi di sana. Berikutnya berturut-turut adalah Inggris (262 juta Euro), China (259 juta), Prancis (15 juta), Taiwan (14 juta), Singapura (13 juta), Italia (10 juta), Jerman (6 juta), Uni Emirat Arab (4) juta, dan Jepang (3 juta).
Data ini sedikit banyak telah memberi indikasi yang tegas akan kuatnya geliat pertumbuhan pasar (lelang) seni rupa di dunia, sekaligus luruhnya dominasi pasar Eropa dan Amerika Serikat atas kawasan lain yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Dengan asumsi angka penjualan sebesar 641 Euro juta pada negara-negara Amerika Serikat dan Eropa (yang masuk 5 Besar) berbanding 293 juta pada negara-negara di Asia, dengan kentara mempertontonkan potensi yang besar bagi kekuatan Asia, terutama China, untuk membalik posisi dengan mendominasi pasar seni rupa pada kurun waktu 5-10 tahun ke depan. Dan kecenderungan tersebut akan berimbas positif pada perkembangan seni rupa di Indonesia, terkhusus Yogyakarta yang keberadaan seniman di dalamnya mulai banyak dilirik banyak kalangan di luar Indonesia.
Kilasan data di atas tentu tak bisa dilihat dalam kerangka pandang yang sempit. Saya harus mengingatkan dengan tegas bahwa menyebut data kuantitatif yang berasal dari balai lelang terkadang bisa diasumsikan memberi bias pemahaman oleh sebagian kalangan karena diduga mereduksi beberapa hal yang substansial berkait dengan seni, yakni soal nilai-nilai. Angka-angka dalam bursa pasar juga tidak bisa dijadikan parameter tunggal dalam menentukan kualitas karya. Maka, jangan heran, dalam data tersebut tak masuk nama perupa Yogyakarta lainnya seperti Heri Dono, Dadang Christanto, Entang Wiharso, Nindityo Adipurnomo yang juga perupa kontemporer dengan pewacanaan yang sangat memadai namun diserap oleh perhelatan dan lembaga-lembaga pemegang nilai-nilai simbolik dalam seni rupa yang tak kalah pentingnya.
Harga karya Heri Dono, misalnya, memang belum semahal karya lukisan Nyoman Masriadi yang salah satu karyanya ada yang mencapai harga 281.000 Euro atau lebih dari Rp 4 milyar. Namun karya-karya Heri telah dikoleksi oleh National Gallery of Australia, Museum der Kulturen, Swiss, Singapore Art Museum, Fukuoka Art Museum, Jepang, Artoteek Den Haag, Belanda, dan lainnya. Ini tentu merupakan pencapaian tersendiri yang saling melengkapi prestasi para perupa Yogyakarta (= Indonesia) di level internasional.
Realitas ini, minimal bagi saya, tentu membanggakan. Masriadi, Jumaldi Alfi, Heri Dono, Nindityo “hanyalah” beberapa gelintir nama yang “disangga” oleh sekian ribu perupa lain yang saling berkompetisi satu sama lain yang kemudian mengonstruksi dan melahirkan beberapa “bintang”. Ini penting saya katakan karena komunalitas (seniman di) Yogyakarta teramat mendukung untuk berproses kreatif dengan baik, melebihi kondisi yang terjadi di kawasan lain seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, dan lainnya.
Lalu, apa yang menjadi masalah dengan situasi ini? Jawabnya: pengelola Yogyakarta! Saya melihat, para pengelola Yogyakarta, entah di jajaran legislatif maupun eksekutif, belum secara serius melihat dan memahami persoalan serta kebutuhan dunia seni rupa (atau seni secara umum) untuk kemudian memberi kebijakan yang memadai. Mereka kurang menyerap banyak gejala kebaruan yang bergerak di sekitarnya sehingga justru cukup terasing dengan cakupan persoalan yang semestinya menjadi wilayah kerja yang mereka tangani. Mereka seolah baru tahu “Yogyakarta Kota Seni Budaya” hanya sebatas slogan, belum sebagai subyek persoalan yang semestinya ditangani.
Kita bisa menggelar sedikit persoalan. Misalnya keberadaan Festival Kesenian Yogyakarta yang sudah lebih dari 20 tahun namun tanpa kebaruan kebijakan yang mampu mengakomodasi kepentingan perhelatan tersebut. Tentu sudah banyak detail persoalan atas FKY yang disampaiakan oleh banyak pihak selama bertahun-tahun tanpa action yang berarti.
Tentu ini teramat ironis dan patut disayangkan. Yogyakarta dengan segudang seniman (dalam konteks ini seniman seni rupa) yang telah berprestasi mendunia ternyata belum memiliki ruang mediasi, tidak memiliki dukungan legislasi, dan kebijakan pengelola kota memadai. Semuanya seperti berjalan sendiri-sendiri. Yang satu menorehkan pencapaian dan prestasi, yang lain tergenang dalam slogan yang kurang membumi. Kapan ya bisa bertemu? Jangan malu, Bapak-ibu sekalian!