Pencarian Identitas Visual Julnaidi
ADA kurun waktu yang cukup panjang dan masuk dalam kesadaran yang laten ketika melihat seni rupa Minangkabau adalah seni rupa “mooi Indie”. Ini tak lepas dari peran seniman Semarang yang pada paruh pertama abad 20 lalu hijrah di Sumatra Barat, yakni Wakidi. Selanjutnya, hampir selalu melekat dalam identitas estetik perupa Minangkabau, idiom-idiom visual dalam kanvas yang menunjukkan keminangan. Misalnya, bentuk rumah. Salah seorang perupa yang berasal dari Minang ini, yakni Julnaidi Mustar, dengan segera menyergap perhatian karena upayanya melepaskan diri dari identitas estetika yang khas Minang.
Pertanyaan yang segera mengemuka: ada apakah dengan Julnaidi Musyar? Apakah ia sengaja melakukan pengingkaran terhadap spirit tradisi estetik? Apa yang kemudian dieksplorasi sehingga menjadi identitas estetik yang personal khas milik Julnaidi? Kenapa ia melakukan hal itu?
Berikut ini adalah esai naratif yang disarikan dari wawancara dengan Julnaidi Musyar. Dengan membaca esai naratif ini akan segera tampak betapa Julnaidi Musyar memang memilih cara ungkap berupa identitas estetik yang memang bisa saja tidak selalu monoton, terjebak dalam satu keseragaman penafsiran. Sebuah upaya membebaskan diri dari identitas visual yang sudah terlalu umum dan banal. Boleh jadi hal itu memang bagian dari risiko menempuh imbas iklim seni rupa kontemporer yang belum tamat, selalu berpacu dengan kebaruan-kebaruan.
Keindonesiaan yang Terbakar
GAGASAN besar yang ada di kepala saya dan menjadi landasan utama karya-karya di dalam pameran ini adalah tentang kompleksnya nilai-nilai kehidupan di dunia. Saya berusaha menjelmakan gagasan itu melalui media kertas-kertas. Awalnya, saya memperhatikan kertas-kertas yang bagi saya dekat atau identik dengan sejarah.
Kita tahu, sejarah adalah berawal dari tulisan di mana kertas tersebut ditulisi. Oleh sebab itulah maka di dalam lukisan saya ada visualisasi kertas bekas remasan karena sudah terkena air, misalnya. Karya seni ala saya akhirnya memang bisa saja berawal “cuma” dari keberadaan remasan kertas tersebut yang dapat dipindahkan secara artistik di atas bidang kanvas. Dengan modus seperti itulah maka secara simbolik saya juga ingin menyatakan bahwa dengan menggunakan medium karya seni rupa ternyata bisa menjadi jembatan melihat sesuatu yang bernilai ada di belakang maupun di depan realitas tersebut. Sesuatu yang bernilai di depan bisa berupa filosofi membongkar sesuatu dengan cara meremas atau mengoyak-koyak. Kertas yang terlipat-lipat atau teremas-remas secara basah itu bagi saya juga merupakan penggambaran sesuatu hal yang diabaikan. Bernilai lama, tak kita pikirkan, kita tinggalkan, lantas saya angkat kembali, saya hidupkan dan saya kontekstualisasikan sesuai dengan tuntutan kreatif sebagaimana yang saya inginkan.
Sebelum karya-karya semacam ini lahir sebelumnya saya sudah membuat karya-karya yang berjenis visual tentang lanskap (dengan pendekatan baru, bukan ala “mooi indie), rumah, maupun “kota batu”. Pergeseran dari hal itu tersebab adanya alasan karena ketidakpuasan saya mencari sesuatu yang baru dan menggali kemampuan diri saya dengan menciptakan hal-hal yang lebih bernilai alternatif. Misalnya, dalam konteks mencari hubungan keseimbangan antara alam dan manusia, katakanlah secara vertikal, yang terlihat di dalam karya terdahulu. Dan sekarang, saya lebih cenderung suka mengangkat hal-hal yang berbau tema atau isu global. Saya merasakan kini sudah tidak ada lagi batas antara Barat dan Timur. Meskipun di dalam koridor pemahaman antara Barat dan Timur itu kita tetap tak dapat melepaskan diri dari kompleksnya kehidupan religius, ekonomi, politik, atau sisi yang lain.
Sengaja saya memilih visualisasi tentang peta karena melalui petalah saya menganggap bisa mewakili gagasan yang saya inginkan. Dalam penafsiran tertentu bolehlah dikatakan jika peta juga bisa mewakili pengalaman personal ketika pulang kampung.
Kebetulan, sejak kecil saya amat suka dengan gambar-gambar berupa peta. Apalagi tugas-tugas sekolah yang menyangkut peta saya juga suka. Hal itu rupanya mengkristal menjadi sikap kreatif sampai hari ini. Peta Indonesia yang biasa disebut sebagai pulau Perca itu bagi saya bagaikan bentangan kanvas yang sangat artistik. Pulau kecil-kecil dan yang besar-besar itu amat inspiratif. Sampai waktu kecil saya sempat mengunyah kisah tentang kakak kelas saya yang tidak mampu membuat tugas sekolah berkaitan dengan peta maka sayalah yang membuatkan. Itulah salah satu ingatan kolektif yang berkaitan dengan kenangan tentang dunia peta.
Eksplorasi estetik saya selanjutnya adalah adanya peta yang bergambar uang, lampu, huruf tertentu, dan yang lain. Di dalam karya tentang peta yang ada tulisan jenis huruf tertentu seperti A, B, C, dan seterusnya saya maksudkan bahwa saya ingin mengatakan perihal permainan. Ibaratnya seperti main caturlah. Dalam kehidupan di dunia ini kita tentu saja biasa melakukan permainan. Anggap saja bahwa secara umum kita menyukai bentuk permainan yang positif. Misalnya, catur atau yang lain. Maka, secara simbolik, pesan moral semacam itulah yang saya gali, ingin saya sampaikan kepada publik. Tendensinya adalah mencari formula perihal perilaku hidup yang positif.
Ada juga yang secara visual bergambar logam ataupun barcode yang saya maksudkan sebagai tawaran tentang sebuah nilai tentang situasi “terbakar”. Boleh ditafsirkan sebagai nilai keindonesiaan yang “terbakar” atau diri kita yang hilang. Ada pula karya yang membawa idiom tentang bola lampu dalam sejumlah kanvas. Hal itu merupakan simbol cahaya pencerahan atas kegelapan. Pencerahan yang kita dapatkan dari kebebasan memilih laku kesenian.
Proses Mengasah Ketrampilan
JIKA ditilik secara genetik sebenarnya saya justru berasal dari ayah yang secara sosial tersepakati sebagai pensiunan Polri (Polisi Republik Indonesia). Kakak saya yang tertualah yang mengenalkan dan cenderung mengondisikan pemahaman tentang karya seni rupa karena pendidikan yang ditempuhnya di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Padang. Kebetulan ia punya banyak buku seperti karya-karya perupa maestro Affandi. Di masa SD-lah saya tergolong sering melihat hasil karya kakak saya. Jadi, waktu itu saya masih pendidikan di tingkat SD sementara kakak saya sudah di bangku SMSR. Pengalaman yang amat mengesankankan saya hingga sekarang adalah pada saat saya masih SD justru pernah ada orang yang memesan gambar peta kepada saya. Tentu saja, waktu itu honor yang saya dapatkan masih rendah, hanya Rp 100. Ya, hanya sebagai semacam upah lelah saja. Itu terjadi sebelum tahun 1980-an. Namun, dari pengalaman yang nampak sederhana itu justru memunculkan obsesi estetik saya tentang peta makin terbentuk dan jauh lebih terarah.
Selama saya menekuni obsesi tentang “estetika peta” itu, pastilah juga menemui sejumlah kendala. Ayah saya termasuk orang yang kurang setuju jika saya kemudian memilih SMSR sebagai arah studi formal. Oleh sebab itulah maka sehabis tamat SMP saya malah masuk ke STM (Sekolah Teknik Menengah). Setelah merasa cukup belajar di STM selama satu tahun, lalu saya kembali mewujudkan obsesi dengan mendaftarkan diri masuk SMSR Padang. Dan diterima! Apa mau dikata, rasa keingintahuan saya yang begitu tinggi terhadap seni rupa tak bisa dibendung. Begitulah, sepanjang menginjak studi di bangku SMSR saya mendapatkan sejumlah pengalaman berharga, khususnya mengenai pengertian seni lukis realisme. Hal itu jelas memberikan dorongan secara langsung kepada saya untuk kian gigih dan giat berkarya. Waktu itu, ada sejumlah nama perupa yang seangkatan dengan saya memberi cukup banyak kontribusi besar dalam aspek spirit yang kondusif. Misalnya saja, nama-nama seperti Devianto, Irwandi, Saftari, dan lain-lain.
Kenangan yang tak mungkin terlupakan ketika duduk di bangku SMSR adalah ketika saya menerima kenyataan bahwa saya tak naik kelas. Mungkin karena saya nakal. Satu kali saya tidak naik kelas. Apa boleh buat, mau tak mau saya tetap harus menerima dengan lapang hati karena hal itu merupakan konsekuensi logis dari situasi kejiwaan saya sebagai anak muda yang tengah mencari identitas diri. Apa mau dikata, saya pun mengulang. Ada teman yang senasib dengan saya bernama Romi Rosyid. Kesamaan nasibnya karena sering mencari pekerjaan sambilan di Padang. Entah bikin taman, mural, kerja di studio foto, atau yang lain, yang justru semakin mengasah keterampilan berkarya saya.
Momentum “Booming”
Sebelum akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Yogyakarta saya sempat tersangkut di Jakarta. Di sana membantu kakak saya yang memiliki usaha di lahan seni rupa terap, seperti membuat proyek lukisan potret, baliho, dan lainnya. Pengalaman pengembaraan estetika terbesar saya rasakan justru ketika tersangkut di Jakarta itu. Saya sering nonton pameran seni rupa. Beraneka macam jenis pameran seni rupa. Rasa penasaran saya terhadap sesuatu hal yang berkaitan dengan estetika selalu muncul tatkala menyimak pameran. Sampai kemudian saya kian kuat mendengar bahwa di Yogyakarta biaya kuliah di perguruan tinggi dan ongkos hidup relatif cukup murah. Inilah yang mendorongku untuk menginjakkan kaki ke Kota Gudeg itu.
Selama di Jakarta, keberadaan pameran yang mengesankan dan menginspirasi adalah ketika pada awal 1995 saya melihat pameran tunggal perupa Hendra Buana, ada pula sebuah pameran karya-karya dari Eropa yang dipamerkan di Museum Nasional. Hendra Buana kebetulan juga merupakan seniman Yogyakarta berbasis kaligrafi Islam yang berasal dari Bukittinggi, Sumatra Barat. Pengalaman pengembaraan estetika semacam itulah yang semakin menguatkan niat saya belajar ke Yogya. Dan syukurlah. Singkat kata, pada 1996 saya diterima di Program Studi Seni Patung, ISI Yogyakarta. Lantas, karena kurang puas pada 1997 ikut tes lagi dan diterima di Program Studi Seni Lukis. Karena waktu itu ada keterlambatan pembayaran SPP maka saya didiskualifikasi. Apa boleh buat, saya ikut tes lagi pada 1998 dan diterima lagi di Seni Lukis.
Selama kuliah di ISI Yogya selain saya mendapatkan iklim pergaulan yang sehat, semangat kreatif saya semakin terpacu untuk selalu berkompetisi. Hanya saja, setelah keluar dari ISI Yogya barulah saya merasakan bahwa apa yang ditemui di luar amatlah jarang didapatkan di kampus. Bolehlah dikata bahwa dari kampus saya “hanya” mendapatkan pengetahuan perihal teknik, pencapaian artistik, sejarah, teori, dan sejenisnya. Saya memperkaya semua itu dengan mendudukkan diri secara netral bergaul dengan sejumlah komunitas, misalnya saja komunitas perupa Padang yang tergabung di dalam kelompok Sakato yang beranggotakan ratusan perupa asal atau masih berdarah Minangkabau.
Meski begitu, suatu waktu saya pernah tertantang membuat kelompok perupa sendiri. Waktu itu bernama Lentera. Anggotanya terdiri dari saya, Erizal, Aryo Sigit, Zulfirmansyah, Hendrako, dan Made Arya. Anggota kelompok ini campuran dari berbagai etnis. Kelompok ini kami dirikan pada 2001. Pernah berpameran bersama sekali untuk kemudian bubar. Waktu itu bubar karena antar-anggota kelompok seperti saling menunggu inisiatif rekan yang lain untuk membuat aktivitas. Katakanlah tak ada motor yang agresif. Maka, bubarlah secara alamiah.
Lalu kalau bicara soal pengalaman lukisan yang direspons oleh pasar dengan antusias pada momentum sekitar booming 1998 maka sejujurnya saya pernah merasakannya. Bahkan, saya rasakan beberapa lukisan saya laku sebelum 1998, yakni malah pada 1997. Waktu itu karya saya masuk sebagai finalis (84 Besar) dalam kompetisi seni rupa yang bergengsi, Philip Morris Indonesia Art Award. Kebetulan ada orang yang mencari dan kala itu karya saya memang banyak. Waktu itu harga karya saya masih dalam kisaran Rp 5-7 juta. Untuk seniman seusia saya, harga itu relative sudah termasuk tingi. Syukurlah, ada yang memang memborong banyak waktu itu, kebanyakan karya-karya abstrak. Namun, hasil dari penjualan karya itu telah habis tandas hanya dalam tempo 2 bulan. Ya, biasalah. Ini semacam bentuk “balas dendam” terhadap kemiskinan. Saya pikir, jika saya menghabiskan uang, maka tak lama kemudian bakalan datang lagi. Tapi ternyata tak seperti itu. Hampir 2 tahun situasi paceklik.
Pilihan Profesi
Apa boleh buat, saya kemudian mencari pekerjaan lagi! Pernah saya bekerja pada seorang Tionghoa. Pernah pula kembali membikin taman untuk rumah, sampai salon mobil. Salon mobil itu adalah aktivitas bengkel mobil yang biasanya membeli mobil bekas namun diperindah dengan menghilangkan karat. Tujuannya agar menjadi mengkilap lagi. Saat itu, pada waktu bekerja, saya masih tetap berkarya. Saya juga mengajukan pameran ke beberapa galeri atas nama kelompok tertentu. Sampai kemudian tiba momentum Festival Kesenian Yogyakarta 2005, yang kala itu bertema kuratorial “Kotakatikotakita: Yang Muda Membaca Kota”. Saya bangga karena karya saya lulus dalam pameran itu setelah melewati seleksi yang sangat ketat. Itulah periode di mana karya saya terasa—setidaknya bagi saya sendiri—semakin mapan dalam pencapaian artistik. Setelah itu, saya kian melempangkan pilihan profesi yang mantap sebagai seniman, dengan pilihan estetik yang telah saya lalui lewat proses yang cukup panjang. Saya berpikir dan berharap kelak saya bisa membuat galeri atau museum dari hasil jerih payah perjuangan saya selama ini.
Jika sewaktu SD dulu saya menggambar peta, maka dengan menggambar peta lagi pada era sekarang, maka tentu saja ada perbedaan yang menyolok. Jika dulu hanya sekadar mengejar tuntutan supaya bisa melukis saja, pokoknya melukis maka saya sudah senang dan tak perlu memikirkan apa-apa lagi, maka sekarang tentu saja lebih saya arahkan guna menerjemahkan pemaknaan atas hasil belajar yang intens terhadap hubungan diri saya dan kehidupan spiritual, material, atau yang lain. Sekali lagi, ini adalah pilihan profesi yang harus saya seriusi dengan sepenuh hati.
Kini, yang saya pikirkan hanya bagaimana bisa terus berkesenian sampai mati. Kalau ada kesempatan pastilah saya tetap ingin mengelar pameran di kota Padang, tempat dimana saya studi awal tentang seni rupa sekaligus kota yang ikut melempangkan jalan pilihan hidup saya kini. Sejumlah pengalaman pameran yang pernah saya lakukan selama ini baik yang di dalam maupun di luar negeri seperti ketika pada 2008 pernah pameran bersama difasilitasi majalah Visual Arts ke Shanghai dan Hongkong sekiranya sudah cukup membuat saya yakin jika kelak menggelar pameran di kampung halaman sendiri.
Memang, akhirnya, sejujurnya harus saya akui bahwa yang paling banyak mempunyai peran dalam menopang perjalanan proses kreatif saya adalah justru pada aspek tekad bulat saya untuk terus berkesenian dan berkesenian. Sampai kapan pun.***