Cita-Cita
Oleh Kuss Indarto Malam itu, sekitar tiga puluhan tahun lalu, aku menguping pembicaraan ayah dan dua tetanggaku (sebut saja J dan K) yang datang “ngendhong” (menamu) untuk sebuah keperluan. Sebagai orang/keluarga yang baru pindah dari kota, ayahku dianggap oleh tetangga punya secuil pengalaman yang berbeda sehingga perlu untuk berbagi. Tapi, kukira, itu juga lebih karena karakter tetangga kami di dusun yang lebih toleran, semanak, dan ingin menjaga silaturahmi, sehingga praktik bertetangga menjadi penuh kekeluargaan. Dua tamu ayahku tadi semuanya berusia sekitar 27 tahun dan sudah menikah (muda) dengan masing-masing memiliki dua orang anak (mereka, kelak sama-sama punya 5 orang anak). Mereka hidup dalam belitan ekonomi keluarga yang pas-pasan karena hanya menjadi petani penggarap tanpa memiliki lahan sendiri. Latar pendidikan yang dilakoninya hanya sampai tamat SMP. Tanah warisan sebetulnya punya meski tak seberapa (seperti pengakuan mereka), tapi belum dibagi. Mak