Cita-Cita
Oleh Kuss Indarto
Malam itu, sekitar tiga puluhan tahun lalu, aku menguping pembicaraan ayah dan dua tetanggaku (sebut saja J dan K) yang datang “ngendhong” (menamu) untuk sebuah keperluan. Sebagai orang/keluarga yang baru pindah dari kota, ayahku dianggap oleh tetangga punya secuil pengalaman yang berbeda sehingga perlu untuk berbagi. Tapi, kukira, itu juga lebih karena karakter tetangga kami di dusun yang lebih toleran, semanak, dan ingin menjaga silaturahmi, sehingga praktik bertetangga menjadi penuh kekeluargaan.
Dua tamu ayahku tadi semuanya berusia sekitar 27 tahun dan sudah menikah (muda) dengan masing-masing memiliki dua orang anak (mereka, kelak sama-sama punya 5 orang anak). Mereka hidup dalam belitan ekonomi keluarga yang pas-pasan karena hanya menjadi petani penggarap tanpa memiliki lahan sendiri. Latar pendidikan yang dilakoninya hanya sampai tamat SMP. Tanah warisan sebetulnya punya meski tak seberapa (seperti pengakuan mereka), tapi belum dibagi.
Maka, maksud kedatangan mereka ini untuk curhat kepada ayahku, sekaligus mencari peluang pekerjaan yang mungkin bisa diraih untuk mengubah nasib. Mereka ingin menjadi polisi, karena sadar yang mereka datangi adalah seorang mantan anggota Polri. Siapa tahu bisa memberi jalan, bahkan mungkin peluang. Sebagai seorang pensiunan perwira pertama (pama), bukan orang penting dalam struktur besar lembaga polri, ayahku hanya bisa memberi petuah, petunjuk praktis, dan perkara teknis pendaftaran masuk polri seperti yang diketahuinya. Tak bisa memberi anjuran yang lebih konkret dan sok kuasa seperti “temuilah pak X, bilanglah kalau anda saudara saya”, karena ayahku bukan siapa-siapa. Di antara keriuhan perbincangan itu, ayah berpesan pada dua tamu muda waktu itu: “Umur panjenengan berdua sudah mepet sebenarnya untuk masuk jadi anggota polri. Tapi cobalah, siapa tahu ada keajaiban.”
Dua orang tetangga itu memang kemudian mencoba beradu nasib dengan mendaftarkan diri masuk Polri. Namun akhirnya nasib belum berpihak pada kehendak yang dibayangkannya. Mereka kembali bertani dengan seadanya, bertaruh dengan roda nasib yang terus bergulir. Aku tak banyak tahu perkembangan mereka, apalagi ketika aku juga harus mengadu nasib jauh dari kampung.
Cita-cita dua tamu ayahku tiga puluhan tahun lalu itu, tiba-tiba terbuka dari dokumentasi ingatanku ketika kemarin malam aku mendapat panggilan telepon. Panggilan itu dari sahabat dari masa kecilku di kampung. Dia sekitar 6-7 tahun lebih muda usianya ketimbang aku. “Ingat aku kan, mas? Aku T, anak pak J, tetanggamu!” Dalam puluhan detik itu aku berusaha keras mengingat sosoknya yang kurus saat kanak-kanak dulu, sesekali sulit bergabung untuk bermain karena harus menggembala kambing keluarganya, dan tak jarang dicemooh teman sepermainan karena kelemahan fisiknya.
“Ya, ya, ya, aku ingat kamu, T…!” sambungku menjawab pertanyaannya. “Sekarang kerja dimana?” balik kubertanya. “Aku sekarang di daerah terpencil di Kalimantan Barat, berbatasan dengan Malaysia. Alhamdulillah, aku jadi Kapolsek di sana, mas!” Gleekkk!! Perbincangan kami lewat telepon terus bergulir. Tapi ada poin penting terus kuingat: cita-cita besar dan mulia pun bisa digetarkan hingga ke anak cucu, atau lingkungan sekitar. “Lalu, empat adik-adikmu dimana sekarang, T?” tanyaku kembali. “Tiga adikku di Kalbar juga, mas, jadi polisi dan polwan. Satu lainnya tetap di kampung, jadi guru.” Gleekkk!! (lagi). Aku yakin, cita-cita pak J—tetanggaku yang ingin jadi polisi itu—pasti telah terlampaui begitu dalam. Dan profesi yang tumbuh dari sebuah cita-cita mulia, semoga, bisa memanusiakan dirinya. Aku berharap tetanggaku itu jadi polisi yang baik, polisi yang (mendekati) paripurna. Semoga. ***
Malam itu, sekitar tiga puluhan tahun lalu, aku menguping pembicaraan ayah dan dua tetanggaku (sebut saja J dan K) yang datang “ngendhong” (menamu) untuk sebuah keperluan. Sebagai orang/keluarga yang baru pindah dari kota, ayahku dianggap oleh tetangga punya secuil pengalaman yang berbeda sehingga perlu untuk berbagi. Tapi, kukira, itu juga lebih karena karakter tetangga kami di dusun yang lebih toleran, semanak, dan ingin menjaga silaturahmi, sehingga praktik bertetangga menjadi penuh kekeluargaan.
Dua tamu ayahku tadi semuanya berusia sekitar 27 tahun dan sudah menikah (muda) dengan masing-masing memiliki dua orang anak (mereka, kelak sama-sama punya 5 orang anak). Mereka hidup dalam belitan ekonomi keluarga yang pas-pasan karena hanya menjadi petani penggarap tanpa memiliki lahan sendiri. Latar pendidikan yang dilakoninya hanya sampai tamat SMP. Tanah warisan sebetulnya punya meski tak seberapa (seperti pengakuan mereka), tapi belum dibagi.
Maka, maksud kedatangan mereka ini untuk curhat kepada ayahku, sekaligus mencari peluang pekerjaan yang mungkin bisa diraih untuk mengubah nasib. Mereka ingin menjadi polisi, karena sadar yang mereka datangi adalah seorang mantan anggota Polri. Siapa tahu bisa memberi jalan, bahkan mungkin peluang. Sebagai seorang pensiunan perwira pertama (pama), bukan orang penting dalam struktur besar lembaga polri, ayahku hanya bisa memberi petuah, petunjuk praktis, dan perkara teknis pendaftaran masuk polri seperti yang diketahuinya. Tak bisa memberi anjuran yang lebih konkret dan sok kuasa seperti “temuilah pak X, bilanglah kalau anda saudara saya”, karena ayahku bukan siapa-siapa. Di antara keriuhan perbincangan itu, ayah berpesan pada dua tamu muda waktu itu: “Umur panjenengan berdua sudah mepet sebenarnya untuk masuk jadi anggota polri. Tapi cobalah, siapa tahu ada keajaiban.”
Dua orang tetangga itu memang kemudian mencoba beradu nasib dengan mendaftarkan diri masuk Polri. Namun akhirnya nasib belum berpihak pada kehendak yang dibayangkannya. Mereka kembali bertani dengan seadanya, bertaruh dengan roda nasib yang terus bergulir. Aku tak banyak tahu perkembangan mereka, apalagi ketika aku juga harus mengadu nasib jauh dari kampung.
Cita-cita dua tamu ayahku tiga puluhan tahun lalu itu, tiba-tiba terbuka dari dokumentasi ingatanku ketika kemarin malam aku mendapat panggilan telepon. Panggilan itu dari sahabat dari masa kecilku di kampung. Dia sekitar 6-7 tahun lebih muda usianya ketimbang aku. “Ingat aku kan, mas? Aku T, anak pak J, tetanggamu!” Dalam puluhan detik itu aku berusaha keras mengingat sosoknya yang kurus saat kanak-kanak dulu, sesekali sulit bergabung untuk bermain karena harus menggembala kambing keluarganya, dan tak jarang dicemooh teman sepermainan karena kelemahan fisiknya.
“Ya, ya, ya, aku ingat kamu, T…!” sambungku menjawab pertanyaannya. “Sekarang kerja dimana?” balik kubertanya. “Aku sekarang di daerah terpencil di Kalimantan Barat, berbatasan dengan Malaysia. Alhamdulillah, aku jadi Kapolsek di sana, mas!” Gleekkk!! Perbincangan kami lewat telepon terus bergulir. Tapi ada poin penting terus kuingat: cita-cita besar dan mulia pun bisa digetarkan hingga ke anak cucu, atau lingkungan sekitar. “Lalu, empat adik-adikmu dimana sekarang, T?” tanyaku kembali. “Tiga adikku di Kalbar juga, mas, jadi polisi dan polwan. Satu lainnya tetap di kampung, jadi guru.” Gleekkk!! (lagi). Aku yakin, cita-cita pak J—tetanggaku yang ingin jadi polisi itu—pasti telah terlampaui begitu dalam. Dan profesi yang tumbuh dari sebuah cita-cita mulia, semoga, bisa memanusiakan dirinya. Aku berharap tetanggaku itu jadi polisi yang baik, polisi yang (mendekati) paripurna. Semoga. ***