Berkubu dengan Buku
Dalam keluarga, perlu membangun atmosfir untuk mencintai buku. (foto: kuss indarto)
oleh Kuss Indarto
SAYA terkejut ketika suatu sore mendapati anak perempuan saya—yang masih duduk di kelas 2 SD—tengah duduk di tempat tidur sembari takzim menyimak sebuah buku di hadapannya: Kumpulan Cerita Pendek karya Dostoyevky. Buku itu tentu hasil terjemahan, dan dipinjamnya dari perpustakaan sekolahan. Saya berusaha menyembunyikan keterkejutan dengan mencium kening anak saya, lalu meninggalkannya sendiri—agar dia khusyuk menuntaskan bacaannya.
Keterkejutan saya, karena, pertama, pada usia yang belum genap 8 tahun, anak pertama saya itu sudah mulai fasih dan doyan membaca—kukira jauh lebih fasih ketimbang saya ketika masuk dalam usia yang sama puluhan tahun lalu. Generasi muda bangsa ini, tampaknya, berkembang kecerdasannya. Kedua, kebutuhan untuk membaca pada generasi sekarang—setidaknya anak saya—relatif bisa terakomodasi oleh banyaknya kehadiran buku fisik, termasuk di sekolahan anak saya yang letaknya relatif berada di desa—kawasan Sedayu, Sleman, Yogyakarta, sekitar 13 kilometer dari Keraton Ngayogyakarta. Belum lagi buku non-fisik (e-book) yang juga membanjir sekarang ini. Ketiga, berdampingan dengan poin kedua, di tengah melimpahnya sumber informasi yang datang bagai air bah—terutama dari internet—generasi muda sekarang ini dihadapkan pada kemungkinan terserapnya informasi tanpa sistem penyaringan atau filtrasi yang memadai. Pada titik inilah peran orang tua menjadi penting dalam sistem dan mekanisme filtrasi tersebut.
***
Potret peristiwa yang terjadi pada diri anak saya mungkin juga dialami oleh sekian banyak orang tua di tanah air Nusantara ini sekarang. Dunia imajinasi anak-anak relatif telah berkembang dengan cepat selaras dengan perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan tidak sedikit orang tua yang justru terkaget-kaget dengan progresivitas tersebut karena standar fasilitas yang tersedia saat ini ternyata banyak memicu dunia imajinasi anak. Tentu saja kita tak bisa dengan serta-merta membuat perbandingan yang terlalu rigid dan rinci antara masa lalu dan masa sekarang karena sudah barang pasti standar dan semangat zamannya banyak berubah. Dunia permainan tradisional yang dianggap sangat inspiratif bagi jagat imajinasi anak-anak pada masanya (atau yang telah menjadi orang tua sekarang), tentu tak bisa diperbandingkan dengan dunia game yang digilai karena juga inspiratif bagi perikehidupan anak-anak sekarang.
Dalam konteks dunia perbukuan, progresivitas di dalamnya (termasuk dalam kualitas dan kuantitas) tak terbayangkan pada kurun waktu-waktu sebelumnya. Saya bisa mengambil contoh pengalaman yang terjadi di Yogyakarta. Ketika masa kuliah pada awal-awal dasawarsa 1990-an lalu, pameran buku hanya terjadi setahun sekali, yakni sekitar bulan Oktober—bertepatan dengan Hari Buku Nasional atau Bulan Bahasa Nasional. Perhelatan itu berlangsung di gedung Mandala Wanitatama di Jalan Adisucipto, yang biasanya berlangsung selama sepekan. Kemudian, setelah rejim Orde Baru turun tahun 1998, situasi geopolitik banyak berubah, dan berimbas hingga ke dunia perbukuan. Salah satunya, dari aspek positif, seringnya berlangsung perhelatan pameran buku di kawasan Yogyakarta. Seingat saya, dalam tahun-tahun pertama setelah era reformasi, pameran buku di gedung Mandala Wanitatama bisa berlangsung hingga 3-4 kali dalam setahun, dan dengan kualitas dan kuantitas yang relatif sama—entah dengan label “pesta buku”, “gebyar buku”, “festival buku”, atau apapun namanya. Tahun-tahun setelah itu, kuantitas pameran buku berlangsung jauh lebih sering, karena perhelatan serupa tidak hanya berlangsung di satu venue, yakni gedung Mandala Wanitatama, namun juga di gedung atau tempat yang lain. Misalnya di kampus UGM, di GOR UNY, gedung Pamungkas yang merupakan gedung milik militer, dan lainnya.
Dari sisi kuantitas buku, kini pun telah jauh melampaui angka-angka yang tak terbayangkan sebelumnya. Beberapa sumber pernah merilis bahwa jumlah judul buku yang terbit pada tahun-tahun sebelum pemerintahan Soeharto jatuh paling banyak berkisar antara 2.000 hingga 3.000 judul buku pertahun. Kalau benar angka itu, maka lompatan jauh terjadi pada era reformasi dan tahun-tahun berikutnya. Setidaknya ini bisa dilacak dan diperbandingkan dengan data yang diperoleh dari Gramedia, selusinan tahun setelah titik awal era reformasi. Raksasa penerbit Indonesia itu mencatat bahwa di Indonesia, pada tahun 2013 tercatat ada sebanyak 26.628 judul buku diterbitkan, dan ada sedikit penurunan pada tahun 2014, yakni sebesar 24.204. Sementara tiras atau jumlah satuan buku yang tercetak dan terdistribusi lewat Gramedia pada tahun 2012 sebesar 33.565.472 eksemplar, tahun 2013 turun menjadi sebesar 33.202.154 eksemplar, serta tahun 2014 turun lagi menjadi 29.883.822 eksemplar.
Angka-angka tersebut bahkan dianggap lebih rendah bila dibandingkan dengan parameter yang bisa diacu dari ISBN yang terdaftar pada Perpusnas (Perpustakaan Nasional) yang jumlahnya mencapai angka 36.624 judul pada tahun 2013, dan meningkat tajam pada tahun 2014 menjadi 44.327 judul. Lompatan angka-angka itu tentu saja cukup membanggakan, meski kalau kemudian kita melongok keluar, kebanggaan itu belum bisa membuat kita menepuk dada, karena pada kurun waktu yang kurang lebih sama, India telah mampu menerbitkan sekitar 60.000 judul, dan negeri panda China dengan 140.000 judul buku. Itu baru dengan sesama negara Asia. Kita akan makin malu kalau membandingkan bahwa pencapaian pertahun Indonesia menerbitkan sekitar 30.000-an buku itu telah terjadi pada beberapa negara-negara Eropa 20 tahun lalu! Ya, dua dasawarsa lalu! Angka pencapaian Indonesia itu setara dengan pencapaian Rusia pada tahun 1995 yang telah memproduksi 33.623 judul buku, atau Perancis yang menerbitkan 34.766 judul buku, serta Spanyol dengan 48.467 judul.
Baiklah. Perbandingan tersebut di atas tentu saja sangat menyesakkan, dan bisa saja dibilang “tidak adil”. Kata-kata “tidak adil” bukan sebuah kecengengan untuk membuat permakluman yang berlebih atas kekurangmajuan dunia perbukuan Indonesia. Namun ini lebih sebagai upaya untuk mendudukan persoalan secara lebih proporsional demi upaya untuk langkah maju. Kita paham sekali bahwa dengan perbedaan kultur antara Indonesia dan negara-negara di Eropa yang dijadikan lahan perbandingan tersebut. Eropa telah memiliki tradisi ilmu pengetahuan berikut pengembangan lembaga pendidikan yang lebih lama ketimbang di Indonesia. Setidaknya setelah masuk ke zaman Renaisans, juga penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg di abad 15, menjadikan percepatan untuk memproduksi buku sebagai bagian penting dari kebutuhan hidup bangsa-bangsa di Eropa sudah berlangsung berabad-abad lalu.
Kemudian, kalau kita membandingkan diri dengan India dan China, sebenarnya Indonesia bisa dikatakan sedikit lebih maju bila parameter lain kita jadikan acuan. Misalnya, populasi penduduk India yang mencapai 1,2 miliar dengan jumlah judul buku terbit pertahun 60.000 maka bisa saja dikatakan bahwa tiap “kerumunan” 20.000 orang India bisa menciptakan satu judul buku. Demikian pula dengan China yang penduduknya 1,4 miliar yang memproduksi 140.000 judul buku, maka tiap “kerumunan” 10.000 “baru” bisa melahirkan satu judul buku. Coba lihat Indonesia yang kini berpenduduk 250 juta jiwa dengan (katakanlah) 30.000 judul buku, maka tiap “kerumunan” 8.333 orang Indonesia bisa membuat satu judul buku. Ada sedikit produktivitas di sana, meski tentu logika ini relatif masih debatable.
***
Apapun, sisi positif meski dikedepankan. Ada banyak kemajuan yang telah dicapai oleh Indonesia dalam dunia perbukuan, meski itu belum sangat signifikan dalam membentuk perkembangan peradaban bangsa ini. Keprihatinan pun perlu terus diikuti dengan alternatif pemecahan masalah. Kita harus mengakui adanya fakta bahwa buku belumlah menjadi kebutuhan sebagian besar manusia Indonesia. Tahun 2012, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan merilis hasil survei tentang mutu pendidikan di 65 negara, dan menempatkan Indonesia di posisi 64 atau nomer 2 dari bawah indeks sebesar 0,01 menurut standar PISA tersebut. Sementara indeks untuk negara-negara di papan atas kisarannya antara 0,45 hingga 0,62. Kita masih tertinggal jauh.
Di sisi lain, kalau menyimak berbagai hal dalam rentang waktu 15 tahun terakhir—atau dalam era reformasi ini—banyak perubahan yang perlu dicermati sebagai bekal untuk mengeksplorasi tindakan solutif. Saya sebagai orang tua dan bukan orang yang membawahi sebuah lembaga dengan sekian banyak orang yang bisa saya pengaruhi, hanya bisa memberi pengaruh positif kepada keluarga. Itulah kemungkinan solusi kecil yang bisa saya ajukan. Anak-anak yang kita bayangkan sebagai pemilik dan pewaris masa depan, menjadi agenda penting untuk dipersuasi agar kultur buku, kultur membaca menjadi bagian penting dari sela tarikan nafas dalam hidupnya. Saya lebih mementingkan langkah persuasi, bukan mendoktrin, karena kata tersebut mengisyaratkan sebuah langkah yang tidak menekan, merepresi anak sebagai obyek, namun lebih memberi peluang baginya untuk membangun minat (membaca) karena bangunan situasi dan kondisi yang diciptakan oleh kita (orang tua). Ada sekian banyak bahan bacaan di sekitar diri anak, ada aktivitas membaca dan menulis atau belajar yang dilakukan oleh orang tua—yang menyergap situasi dan indera sang anak tiap hari. Dari sini, orang tua bisa mengekspektasikan sepenuhnya bahwa ada gerak evolutif dari sang anak untuk melakukan aksi meniru dengan inisiatif sendiri untuk ikut mencintai buku—evolutif sekalipun aksi anak tersebut.
Secara psikologis, anak-anak yang dalam lingkungan terdekatnya dibangunkan atmosfir tentang situasi tertentu, maka bangunan atmosfir tersebut dimungkinkan seperti cahaya yang akan terus berpendar hingga di kedalaman jiwanya untuk diingat dan ditiru. Demikian pula dengan “atmosfir cinta buku” yang dibangun oleh orang tua di dalam rumahnya—ada sekian banyak bahan bacaan, ada aktivitas membaca, menulis dan berdiskusi yang dilakukan terus-menerus—maka anak-anak yang berada dalam radius terdekat dari “atmosfir cinta buku” itu akan terinspirasi untuk melakukan hal serupa. Anak-anak dengan sendirinya, lambat laun, akan memiliki ketertarikan untuk berkubu dengan buku, bersahabat dengan dunia gagasan dan imajinasi yang ditawarkan dalam buku-buku atau dalam diskusi yang berlangsung dalam lingkungan tersebut.
Maka, bukan sebuah kesombongan penuh ke-lebay-an kalau saya bangga bahwa anak saya mengejutkan karena tengah asyik membaca buku Kumpulan Cerita Pendek Dostoyevsky. Saya, barangkali, tak perlu terkejut kalau menyadari sepenuhnya bahwa aktivitas saya dari hari ke hari nyaris selalu bergelut dengan jagat buku, dunia gagasan, dan hal-ihwal yang berkait erat dengan dunia penalaran juga imajinasi. Rasanya, tak perlu ada doktrinasi untuk mendorong anak agar mau membaca. Namun, cukup dengan menciptakan situasi dan atmosfir yang nyaman dan persuasif agar anak secara evolutif berkawan dengan buku. Berkubu dengan buku. ***
*) Penulis seni rupa, editor in chief situs www.indonesiaartnews.or.id