Kota, Ruang, dan Landasannya
Potongan pemandangan kota Dubai.
Oleh Kuss Indarto
PADA bulan Juli 2008
lalu, dalam kongres IUA (International Union of Architects) yang berlangsung di
kota Torino, Italia, seorang arsitek berkelas internasional, Peter Eisenman memberikan
sebuah ceramah yang mengesankan. Dari pemaparan panjang itu—seperti yang bisa
dikutip dari buku “Mengubah Dunia
Bareng-bareng” (2015) yang ditulis oleh Ridwan Kamil (walikota Bandung) dan
Irfan Amalee—ada setidaknya 6 (enam) poin penting yang berkaitan dengan problem
arsitektur kontemporer.
Pertama, kita diingatkan bahwa dunia sedang dalam krisis diskursus
arsitektur. Eisenman menyebut bahwa “saat ini kita berada dalam dasawarsa yang
tidak menawarkan nilai baru”. Yang ada hanyalah lateness atau kebaruan demi kebaruan geometri arsitektur yang
berubah secara periodik, baik tahunan, bulanan, atau mingguan. Tak ada
kegairahan pada perdebatan arsitektur dunia, seperti halnya ketika arsitektur
modern bergeser ke post-modern, atau
kegairahan ketika kerumitan dan kegeniusan diskursus dekonstruksi Derrida
dipinjam oleh arsitek dunia dan menjadi wacana yang hangat pada zamannya.
Ketiga,
Esienman merenungi bahwa karya arsitektur seharusnya bisa dirasakan sampai ke
relung hati terdalam. Arsitektur tidak hanya cukup menjadi sebuah entitas dan
objek visual semata. Arsitektur yang baik adalah arsitektur yang mampu
menyentuh sisi psikologis manusia secara emosional. “Let the heart be your judge,” ujarnya. Arsitektur harus mampu
mengalirkan makna di ruang tiga dimensional tersebut. Renungannya ini sejalan
dengan konsep tactility yang pernah
didengungkan oleh sosiolog Kenichi Sasaki yang memuji arsitektur yang dapat
merangsang (stimulate) seluruh indera
manusia. Arsitektur yang tidak sekadar memanjakan indera visual semata.
Keempat,
kepada pada arsitek—terutama para mahasiswa arsitektur—diingatkan oleh Eisenman
agar tidak terlalu mendewakan komputer. Dia mengkhawatirkan generasi masa kini
yang mengantungkan 100% proses desain dengan komputer. Perilaku ini dianggap
telah menjual keindahan pada (program) Photoshop.
Dengan imaji-imaji yang secara visual spektakuler seolah urusan teknis
arsitektural sudah selesai. Baginya, proses desain harus dimulai dari kerja
keras kontemplasi berpikir. Konsep desain harus mampu dirasakan dengan hati.
Kemudian mengalir deras ke saraf-saraf di sepanjang jari-jari tangan. Oleh
karena itu, sensitivitas inderawi masih dianggap yang terbaik dalam melatih
konsep berarsitektur.
Pada poin kelima Eisenman menebarkan pesan bahwa para arsitek di negara-negara
berkembang agar tetap optimis dan selalu merasa beruntung. Ya, beruntung karena
pada umumnya negara berkembang, seperti kebanyakan negara di Asia, masih
memiliki referensi dari eksotisme budaya. Budaya yang masih memiliki tradisi
kultural sebagai sumber konsep, legenda yang emosional sebagai sumber makna,
dan ritual referensional sebagai sumber cerita. Kekayaan-kekayaan kultural
inilah yang tidak dimiliki negara Barat seperti halnya Amerika Serikat—tempat
arsitek kawakan ini bermukim dan banyak berpraktik.
Dan keenam, Eisenman mengungkapkan bahwa tidak ada hal yang lebih
bermakna dalam profesi sebagai arsitek selain sebuah ketulusan pertemanan dan
kesetiakawanan sesama arsitek. Ia kemudian bercerita tentang struktur vertikal
pada proyek Galia Cultural di Spanyol yang ia bangun sebagai perwujudan wasiat
terakhir mendiang John Hejduk—kolega yang menjadi teman minum kopi, sahabat
berdiskusi, dan kritikus atas karya-karyanya selama mereka berdua berpraktik di
New York.
Ada banyak hal yang bisa diserap dari
6 poin di atas. Antara lain, kita jadi tahu betapa sebuah arsitektur atau kota
yang dianggap baik adalah kota yang mampu memberikan pengalaman ruang nan kaya.
Pengalaman tersebut memberikan stimulasi kepada seluruh pancaindera manusia.
Perjalanan ke kampungdi Kotagede, Yogyakarta, misalnya, akan membawa kita pada
pengalaman melihat, mencium bau, mendengar, dan merasakan tekstur sebuah ruang
arsitektur atau yang disebut oleh sosiolog Kenichi Sasaki sebagai tactility experience. Hal ini bisa
terjadi karena faktor skala ruang yang baik, intim, emosional, dan
antropometris.
Tentu ini berbeda dengan kota-kota
besar. Pengalaman ruang banyak direduksi menjadi pengalaman visual semata. Garis
sempadan bangunan yang jauh, yang terkadang tidak jelas alasan ilmiahnya, telah
menjauhkan hubungan emosional manusia dengan arsitektur. Akibat hilangnya aspek
tactility, arsitektur pun menjadi
asing dari konteksnya. Ia menjauh dari hakikatnya sebagai elemen urban. Ia
mematikan lahirnya interaksi sosial warga kota di koridor jalan tempat
arsitektur itu berdiri. Tidak ada aktivitas duduk-duduk rileks, ataupun
interaksi spasial antara arsitektur dan warga kota sebagai pilihan berkegiatan
santai pada konteks urban.
Itulah sedikit lintasan persoalan di
dunia arsitektur dewasa ini. Yogyakarta juga tak lepas dari keterikatan
persoalan wacana dan problem tersebut. Demikian juga dengan kota dan kawasan
lain yang sebelumnya telah memiliki preferensi dan landasan historis dan
kultural sebagai modalnya. Kini semua menghadapi problem yang serupa. Dalam
konteks inilah, maka Mata Jendela
edisi kali ini mencoba menggagas dan sedikit mengupas masalah tersebut. Ada
beberapa catatan yang menggali persoalan itu perspektifnya masing-masing.
Selamat menyimak! ***
Kuss Indarto,
redaksi Mata Jendela.
(Tulisan ini dimuat di majalah "Mata Jendela" terbitan Taman Budaya Yogyakarta (TBY), edisi No. 2 tahun 2015)