Three "Mengurai" Sampah
SAYA berhenti cukup lama di booth
Standing Pine, sebuah galeri komersial dari Nagoya, Jepang, yang ikut
berpartisipasi di ArtStage 2018 Singapura, 27 Januari lalu. Bersama hampir
seratusan galeri atau ruang seni dari berbagai negara di dunia, Standing Pine terlibat
“menjajakan karya” dalam pasar seni yang makin marak di dunia—meski ArtStage
Singapura tahun kini mulai berkurang crowded-nya dibanding tahun-tahun
sebelumnya. Ada yang membilang bahwa banyak galeri memilih menyewa booth di
Hongkong Art Fair yang lebih riuh dan waktunya tak jauh dari perhelatan
ArtStage Singapura. Pun ada yang mengatakan bahwa pihak ArtStage yang bikin
blunder karena membuat ArtStage Singapura di bulan Januari dan sekarang juga
menghelat ArtStage Jakarta tiap bulan Juli atau Agustus. Tak heran bila galeri
di Indonesia memilih untuk menyewa booth di ArtStage Jakarta ketimbang di
Singapura yang relatif jauh lebih mahal. Tahun ini, hanya ada 3 atau 4 galeri
yang ikut ArtStage Singapura, jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya.
Standing Pine—seperti halnya segelintir galeri lain—fokus hanya memajang karya dari satu komunitas seni, yakni Three. Seperti namanya, Three memang dibentuk oleh 3 seniman muda Nagoya dengan pilihan kreatif unik. Mereka masih muda, belum cukup memuncak nama dan reputasinya, namun gelagat kreativitasnya tampak mencoba mencari jejak lain di luar garis jalan mainstream. Ada upaya eksperimentasi dalam karya-karyanya.
Output karyanya ada yang 3 dimensi meski dalam booth kali ini dominan karya dua dimensi. Itu pun tidak dua dimensi yang konvensional karena sebagian (besar) serupa karya relief yang bisa ditonton dengan cara memandang 2 dimensi. Menurut Hironori Kawasaki, salah satu personil komunitas Three yang sempat saya temui di booth, karya kreasi tersebut mereka “temukan” setelah melewati proses yang cukup panjang, dilewati berbagai eksperimen, uji coba, dengan beragam material. Sayang Kawasaki tidak menyebutkan secara detil berapa lama proses penemuan itu dilakukan. Hasil “temuan” yang dipamerkan dan menarik minat banyak pihak ini bermaterikan toys atau mainan anak-anak di Jepang yang terbuat dari karet dan bahan lain. Toys itu berujud macam-macam, tapi rata-rata tokoh manga (kartun khas Jepang) yang ditigadimensikan, atau dibonekakan. Bentuknya mungil dan lentur—bisa diremas atau dilekuk semau-mau kita, dan dia akan kembali ke bentuk semula setelah diremas atau dilekuk.
Karakter inilah yang dimanfaatkan oleh Hironori Kawasaki dan teman-temannya di komunitas Three. Caranya, mereka mengumpulkan sebanyak mungkin toys, lalu memasukkan dalam mesin press, dan menekan sekuat mungkin. Hironori mengaku tidak menggunakan bahan perekat dalam proses tersebut (meski saya ragu dengan keterangannya itu). Setelah di-press, hasilnya: semua toys yang berkerumun tadi melekat, menyatu sama lain dengan permukaan yang sama. Kemudian, eksekusi terakhir sebelum menjadi karya seni beragam cara dan bentuknya. Ada hasil press yang dikepras atau dipotong pada semua sisi samping juga belakang, dan membiarkan bagian depan. Ada pula yang semua sisi dikepras habis hingga tak kelihatan bentuk asli toys-nya, namun tinggal sisa warna “tubuh” yang sudah melekat satu sama lain. Di situlah tampak alur warna-warni yang beragam, meliuk dan menerbitkan citra artistik. Dan di sinilah salah satu capaian komunitas Three menghasilkan karya seni.
Bagi saya, ini bukan sekadar pencapaian kreatif saja, namun Three seperti mengili-ngili kesadaran masyarakat di sekitarnya perihal lingkungan hidup. Kawasaki bilang bahwa sebagian materi karya komunitasnya tersebut berasal dari limbah. Mainan bagi anak-anak tersebut tak berusia lama dalam genggaman anak-anak. Karena rusak atau rasa bosan, mainan dari karet itu kemudian menghuni bak sampah—tak terpakai lagi. Toys itu bukanlah sampah yang mudah diurai oleh bumi.
Maka, ketika “sampah masyarakat” itu dimanfaatkan kembali sebagai artifak yang bermanfaat, dan berlabel sebagai karya seni, maka karya anak-anak Three menjadi penting dan memuat makna sosial yang jauh lebih penting. Ditilik dari materialnya, karya ini bisa muncul di Jepang. Toys ini tidak cukup popular di Indonesia. Lalu, apakah para perupa di Indonesia juga berpeluang menciptakan karya sejenis ini yang memiliki kemampuan untuk membincangkan tentang lingkungan dan secara praksis mencarikan solusi (kecil-kecilan) dalam mengatasi sampah, misalnya? Mari kita tunggu saja. ***
Standing Pine—seperti halnya segelintir galeri lain—fokus hanya memajang karya dari satu komunitas seni, yakni Three. Seperti namanya, Three memang dibentuk oleh 3 seniman muda Nagoya dengan pilihan kreatif unik. Mereka masih muda, belum cukup memuncak nama dan reputasinya, namun gelagat kreativitasnya tampak mencoba mencari jejak lain di luar garis jalan mainstream. Ada upaya eksperimentasi dalam karya-karyanya.
Output karyanya ada yang 3 dimensi meski dalam booth kali ini dominan karya dua dimensi. Itu pun tidak dua dimensi yang konvensional karena sebagian (besar) serupa karya relief yang bisa ditonton dengan cara memandang 2 dimensi. Menurut Hironori Kawasaki, salah satu personil komunitas Three yang sempat saya temui di booth, karya kreasi tersebut mereka “temukan” setelah melewati proses yang cukup panjang, dilewati berbagai eksperimen, uji coba, dengan beragam material. Sayang Kawasaki tidak menyebutkan secara detil berapa lama proses penemuan itu dilakukan. Hasil “temuan” yang dipamerkan dan menarik minat banyak pihak ini bermaterikan toys atau mainan anak-anak di Jepang yang terbuat dari karet dan bahan lain. Toys itu berujud macam-macam, tapi rata-rata tokoh manga (kartun khas Jepang) yang ditigadimensikan, atau dibonekakan. Bentuknya mungil dan lentur—bisa diremas atau dilekuk semau-mau kita, dan dia akan kembali ke bentuk semula setelah diremas atau dilekuk.
Karakter inilah yang dimanfaatkan oleh Hironori Kawasaki dan teman-temannya di komunitas Three. Caranya, mereka mengumpulkan sebanyak mungkin toys, lalu memasukkan dalam mesin press, dan menekan sekuat mungkin. Hironori mengaku tidak menggunakan bahan perekat dalam proses tersebut (meski saya ragu dengan keterangannya itu). Setelah di-press, hasilnya: semua toys yang berkerumun tadi melekat, menyatu sama lain dengan permukaan yang sama. Kemudian, eksekusi terakhir sebelum menjadi karya seni beragam cara dan bentuknya. Ada hasil press yang dikepras atau dipotong pada semua sisi samping juga belakang, dan membiarkan bagian depan. Ada pula yang semua sisi dikepras habis hingga tak kelihatan bentuk asli toys-nya, namun tinggal sisa warna “tubuh” yang sudah melekat satu sama lain. Di situlah tampak alur warna-warni yang beragam, meliuk dan menerbitkan citra artistik. Dan di sinilah salah satu capaian komunitas Three menghasilkan karya seni.
Bagi saya, ini bukan sekadar pencapaian kreatif saja, namun Three seperti mengili-ngili kesadaran masyarakat di sekitarnya perihal lingkungan hidup. Kawasaki bilang bahwa sebagian materi karya komunitasnya tersebut berasal dari limbah. Mainan bagi anak-anak tersebut tak berusia lama dalam genggaman anak-anak. Karena rusak atau rasa bosan, mainan dari karet itu kemudian menghuni bak sampah—tak terpakai lagi. Toys itu bukanlah sampah yang mudah diurai oleh bumi.
Maka, ketika “sampah masyarakat” itu dimanfaatkan kembali sebagai artifak yang bermanfaat, dan berlabel sebagai karya seni, maka karya anak-anak Three menjadi penting dan memuat makna sosial yang jauh lebih penting. Ditilik dari materialnya, karya ini bisa muncul di Jepang. Toys ini tidak cukup popular di Indonesia. Lalu, apakah para perupa di Indonesia juga berpeluang menciptakan karya sejenis ini yang memiliki kemampuan untuk membincangkan tentang lingkungan dan secara praksis mencarikan solusi (kecil-kecilan) dalam mengatasi sampah, misalnya? Mari kita tunggu saja. ***