Re-Kreasi Bersama Kartun



Komik pendek karya Kuss Indarto

Oleh Kuss Indarto 

"I’m sorry. beggar is over Excessive demands. I was heat up. but now cooldown."

"Mr. president JOKOWI and Indonesian everyone, and Indonesia gov I'm Really sorry. I am shame. I take back picture, I'm sorry."

Minggu siang, 25 Februari 2018, seseorang yang mengaku bernama Onan Hiroshi meminta maaf secara terbuka kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan seluruh rakyat Indonesia—seperti tertulis sebagai dua kutipan di atas. Permintaan maaf ini disampaikan lewat akun medsos Twitter dan Facebook-nya. Pasalnya, dia telah membuat sebuah gambar kartun satir yang memojokkan, bahkan cenderung menghina Indonesia. Dalam gambarnya tersebut terdapat teks (dalam huruf Kanji dan berbahasa Jepang, tentu saja) yang berbunyi: "Pengemis Kereta Berkecepatan Tinggi." Laki-laki berusia 30 tahunan itu membuat visualisasi yang menggiring kesan kuat bahwa rencana kerjasama antara China-Indonesia bermasalah. Dana yang dijanjikan dari pemerintah China untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tidak kunjung dicairkan, pekerjaan megaproyek itu jadi tersendat, sehingga berakibat pada dugaan bahwa Indonesia tampak ingin melirik minta bantuan pada Jepang untuk membantu penyelesaian proyek kereta api Jakarta-Bandung kembali.

Gambar kartun ini sempat jadi viral pada Kamis-Jumat, tanggal 22-23 Februari 2018, yang kemudian melambungkan (secara negatif) nama Onan Hiroshi karena banyak komentar dan serangan balik bermunculan untuk merespons kartun tersebut. Tak kurang dari anggota DPR, Khatibul Umam Wuranu dari Partai Demokrat berang atas kartun tersebut. "Saya mengecam, karena penggambaran kartun tersebut merendahkan martabat Presiden Jokowi dan bangsa Indonesia. Padahal, dalam hubungan diplomasi antara negara banyak aspek yang intinya harus saling menghargai," kata Khatibul seperti yang dikutip oleh beberapa media online.

Akhirnya Onan Hiroshi betul-betul minta maaf meski lewat akun medsosnya, dan disertai dengan gambar sesosok tubuh yang menelungkup ke lantai, seolah memberi isyarat bahwa permintaan maaf itu dilakukan dengan serius. Tampaknya Onan juga ketakutan kalau ulahnya itu akan berkepanjangan dan berdampak buruk bagi masa depan hidupnya. Maka, tak lama kemudian akun medsosnya di Twitter dan Facebook ditutup, seolah seperti berhasrat memendam dalam-dalam kasus yang mempermalukan diri dan negaranya tersebut.

Di luar persoalan siapa benar siapa salah, kasus ini mengingatkan kembali kepada publik bahwa karya kartun masih menjadi salah satu karya seni rupa—atau karya jurnalistik—yang masih efektif untuk mencuatkan kasus tertentu. Onan yang dikatakan oleh beberapa sumber hanya sebagai “tukang gambar” yang kurang profesional—bukan kartunis atau komikus jagoan—dianggap mampu memanfaatkan kekuatan kartun untuk mengutarakan opini personalnya secara satiris, tajam hingga diasumsikan sebagai menghina pihak lain.

Menyoal tentang cara ungkap (karya kartun) yang kemudian bisa menimbulkan persepsi yang berbeda-beda bagi tiap apresiannya, memang rumit karena hal ini tak lepas dari problem yang jauh lebih luas dari sekadar selembar kartun. Ada problem kultural, sosiologis, historis, dan sebagainya yang pasti beda pada tiap personal atau kelompok masyarakat, sehingga respons yang timbul pun juga akan bervariasi. Meskipun secara kultural nyaris berbeda antara Jepang dan Indonesia, sebagai contoh, namun pada satu hal tertentu akan bertemu pada satu titik yang menjadi dalih untuk tidak bisa menerima kritik satirik yang vulgar atau sarkastik dalam sebuah karya kartun, yakni dalih “budaya ketimuran”. “Budaya ketimuran” yang dibayangkan di sini adalah sebuah situasi atau kebiasaan bagi seseorang untuk (antara lain) menyampaikan atau mengekspresikan sesuatu dengan mengedepankan cara ungkapnya yang eufemistik atau dengan cara yang halus, bukan sarkastik.

Khusus bagi orang Jawa, ada siasat atau semacam strategi untuk memberi porsi yang lebih bagi bungkus sebuah bentuk ekspresi demi tersampaikannya muatan atau isi ekspresi itu sampai dengan baik kepada sasarannya. Terasa kuat bahwa gejala ini disebut sebagai eufemisme atau kramanisasi yang bertolak dari ungkapan dalam bahasa Jawa sebagai titik pijak ketika berolah kritik: Ngono ya ngono, ning aja ngono. Begitu ya begitu, tapi jangan begitu. Ungkapan ini, yang telah mengental sebagai ideologi, memberi semacam garis demarkasi bagi hadirnya sebuah kritik. Dua kata ngono pada bagian awal mengindikasikan kemungkinan dan peluang akan hadirnya sebuah kritik dalam pergaulan sosial kemasyarakatan. Di sini tersirat kemampuan manusia dan atau kultur Jawa untuk mengakomodasi datangnya kritik. Sedangkan kata ngono yang ketiga seolah menjadi kunci pokok yang menyiratkan pentingnya etika dan moralitas dalam tiap kritik yang muncul, tentu dengan subyektivitas khas Jawa. Artinya ada relasi yang komplementatif atas hadirnya kritik yang berpeluk erat dengan pentingnya aspek format, bentuk, dan kemasan kritik. Sehingga dalam mencermati kenyataan di atas, terlihat menyeruaknya pemaknaan wacana kritik (khas Jawa) yang bisa ditafsirkan sebagai paradoksal dan mendua. Pentingnya kritik (seolah hanya) ada pada kemasannya.

Ideologi kritik semacam ini kian menguat dan strategis untuk dihadirkan ketika kuatnya kuku kekuasaan otoritarianisme Orde Baru pimpinan Soeharto dulu. Pemerintahan militeristik yang cenderung antikritik waktu itu bagai mengalih-ubah ideologi ngono ya ngono ning aja ngono secara eksploitatif menjadi “ngritik ya ngritik ning aja ngritik” atau “protes ya protes ning aja protes”. Situasi represif inilah yang kemudian memberi celah kemungkinan bagi para kelompok kritis, termasuk kartunis atau komikus di dalamnya dalam bersiasat membangun kreativitas dengan karya kritis semacam karikatur, kartun, dan lain-lain di forum publicum.

Siasat seperti ini, meminjam paparan Magnis Suseno dalam Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Orang Jawa (1993), mengedepankan dua kaidah penting dalam relasi sosial manusia Jawa, yakni “prinsip kerukunan” dan “prinsip hormat”. Kaidah pertama menentukan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa agar terhindar dari konflik. Sedang kaidah kedua menuntut agar cara berkomunikasi dan membawa diri selalu disertai sikap hormat yang ditunjukkan terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Keduanya merupakan kerangka normatif yang menentukan semua interaksi dalam masyarakat Jawa. Tujuannya jelas, memelihara harmoni atau keselarasan. Di selinap dua prinsip tersebut, ada “prinsip humor” menjadi ruh penting pada tiap karya kartun dan komik atau semacamnya.

Maka, kalau beberapa waktu lalu ada kartun karya Onan Hiroshi yang sempat viral dan direspons dengan persepsi yang berbeda di Indonesia—termasuk ada yang marah—bisa jadi karena ada problem “prinsip kerukunan” dan “prinsip hormat” yang tersenggol sehingga riuhlah situasinya. Bahkan pembuat kartun tersebut sampai harus menutup akun medsosnya sendiri.

***

Pameran “Stand Up Cartoon” ini, ditilik dari judulnya, memberi pesan simbolik kepada publik bahwa aspek rekreatif menjadi hal yang mendasar untuk diketengahkan. Kata-kata “stand up” mengarahkan dan mengingatkan kita pada sebuah bentuk ekspresi (seni) pertunjukan yang populer dewasa ini, yakni melawak secara tunggal mirip seperti monolog di depan khalayak. Tak jarang mengetengahkan tema yang fokus dan pendek durasinya. Pada umumnya para comic (pelaku stand up comedy itu) menyampaikan narasi singkat sebagai prolog, lalu melakukan punch, dan klimaks. Kalau berhasil ya akan membuat penonton tergelak. 

“Stand Up Cartoon” tentu beda karakternya dibanding “stand up comedy”. Namun spiritnya kurang lebih sama. Para kartunis yang tergabung dalam komunitas kartunis ini, yakni PAKYO (Paguyuban Kartunis Yogyakarta), secara kolektif masing-masing menghadirkan satu atau lebih karya kartun, karikatur, komik, satiric visual, dan lainnya, yang dihasratkan untuk memberi rekreasi pada masyarakat. Kata rekreasi tentu bisa dimaknai dalam dua hal. Pertama, rekreasi dalam pengertian penghiburan. Kartunis perlu menginisiasi untuk memberi tambahan hal yang rekreatif, bersifat menghibur bagi publik—di tengah kondisi yang sosial politik ekonomi kemasyarakatan yang penuh keriuhan yang memanaskan situasi. Kedua, rekreasi yang secara etimologis berasal dari kara “re” (kembali) dan “kreasi”, “creation”, yang berarti kreasi atau berdaya cipta. Pemahaman atas kata rekreasi dalam konteks ini adalah upaya para kartunis untuk melakukan persuasi kepada publik agar mampu memberdayakan diri, mampu berdaya cipta, atau berkehendak melakukan bentuk kreatif kembali setelah menyaksikan pameran ini.

Pameran ini, dengan menempati venue sebuah mall, juga akan berpotensi memberi nilai yang berbeda. Meski pameran semacam ini mungkin bukanlah yang pertama, namun perlu ditekankan kembali relasi antara karya seni kartun dan locus pamerannya, yakni sebuah pasar modern. Mall adalah ruang pertemuan publik temuan akhir abad 20 yang telah dicap dan diidentikkan sebagai “katedral” konsumtivisme dan hedonisme. Orang datang berhambur ke mall diasumsikan secara menguat hanya untuk mempraktikkan laku konsumtivisme dan hedonisme tersebut.

Maka ketika sebuah pameran seni kartun dihadirkan dalam mall seperti “Stand Up Cartoon” ini, sebuah konstruksi pemahaman berbeda secara pelahan coba dibangun. Dari sisi para seniman kartunnya, ini adalah upaya untuk melakukan popularisasi karya seni seluas mungkin, termasuk ke ruang-ruang “katedral” hedonisme. Ruang-ruang seni mainstream seperti galeri, museum dan semacamnya bisa sekali-kali ditinggalkan, dan lalu beranjak ke mall untuk “menjajakan” gagasan kreatif yang ditimbun dalam karya kartun. Pada titik ini, sejatinya, karya kartun relatif bisa adaptif. Dengan sentuhan perangkat teknologis, karya kartun telah mampu menyesuaikan atau beradaptasi dalam hal penyajiannya di tengah publik. Tak heran bila dalam pameran ini ditemui karya-karya yang dibuat dengan melewati proses computerized yang bisa mendekatkan karya dengan publik atau “masyarakat mall”.

Di samping sebagai upaya popularisasi karya seni, di venue seperti inilah seniman kartun berpotensi besar untuk memberi tawaran berbagai nilai (value) yang bisa disodorkan lewat sekian banyak karya kartun. Kalau disimak lebih dalam—lewat karyanya—para kartunis ini tidak sekadar menggambar dan berupaya melucu lewat gambar. Tapi juga membenamkan nilai-nilai dalam gambar yang bisa dipahami kalau menyimak dengan lebih seksama. Di balik gurauan atau kelucuannya, karya kartun juga menyelipkan banyak pesan etika dan moral yang bisa memberi warna dalam perikehidupan. Dalam konteks inilah sebenarnya kita bisa membilang bahwa karya kartun ini sudah jauh melepaskan diri dari kerangkeng l’art pour l’art atau “seni (hanya) untuk seni”. Seni bisa diberdayakan untuk memberi pencerahan bagi masyarakat—sekecil apapun itu kontribusinya.

Pada sisi yang lain, di mata para pengelola mall, dengan mengetengahkan pameran kartun kiranya mampu menjadi alternatif atau jeda yang menyegarkan untuk kemungkinan bisa meraih pangsa pasar yang sedikit berbeda. Apalagi untuk konteks Yogyakarta yang dewasa ini makin banyak tumbuh mall yang satu sama lain saling berkompetisi, maka kreativitas dalam memunculkan program berbeda perlu diadakan. Pameran kartun adalah salah satu yang memungkinkan ke arah pemberian jeda yang berbeda tersebut.

Akhirnya, selamat berpameran untuk teman-teman kartunis PAKYO (Paguyuban Kartunis Yogyakarta)! Teruslah lucu, menghibur, dan memberi nilai untuk masyarakat di sekitar. Ngelmu iku kalakone kathi laku. (Me)lucu itu juga laku. *** 

Kuss Indarto, kartunis, kurator seni rupa, dan pengelola situs www.indonesiart.id

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?