Mengapa Membuat Kritik Seni Rupa
Oleh Kuss Indarto
(Tulisan ini telah dipresentasikan dalam diskusi "Kritik Seni Jurnalistik" di harian Suara Merdeka Semarang, Kamis, 12 April 2007, bersama pembicara lain Chris Dermawan [Galeri Semarang], Ari Setyawan [seniman], dan Triyanto Triwikromo [Redaktur Budaya Suara Merdeka]. Foto di atas instalasi karya Ugo Untoro, The Last Race, 2007)
SUDAH begitu banyak pengertian mendasar tentang kritik, atau yang khusus tentang kritik seni rupa, yang beredar dalam ruang-ruang pewacanaan kita. Dalam buku Criticizing Art, Understanding Contemporary (1994) sebagai misal, Terry Michael Barret dengan cukup komplit membuat bunga rampai dari sekian banyak pengamat dan kritikus dengan definisi, fungsi, target, manfaat, dan lainnya dari keberadaan kritik seni.
Misalnya Arthur Danto yang bersepakat dengan pemikiran Baudelaire bahwa sebuah kritik haruslah “berpihak, berhasrat dan bersifat politis”. Danto menekankan bahwa kritik seni “janganlah berbicara tentang pokok soal atau membincangkan kehidupan si seniman; jangan menggunakan bahasa yang impresionistik atau menjelaskan bagaimana sebuah karya dapat “menyentuh kalbu”; (tapi) berikan pertimbangan tentang detil fisik karya; lupakan penghakiman atas kualitas dan sejarah estetik yang penting. Dia cenderung menyukai untuk membincangkan sesuatu hal yang melingkungi karya itu sendiri.
Gagasan Danto tentu sedikit berseberangan dengan Robert Pincus-Witten yang berpikir bahwa titik penting dari sebuah kritik adalah rasa empatik terhadap seniman. Dia memilih modus ekspresi kritik sebagai “merekam apa yang seseorang (seniman) pikirkan dan rasakan”. Sedang Andy Grundberg memberi kalimat kunci bahwa hal terpenting dalam tugas kritik seni adalah memberikan argumentasi, bukan sekadar pelafalan (terhadap istilah-istilah tertentu). Ini sejalan dengan Lawrence Alloway yang dengan jernih memetakan fungsi kritik seni sebagai sebuah deskripsi, interpretasi, dan evaluasi atas karya seni yang tengah diperbincangkan.
***
Saya kira masih begitu banyak definisi kritik yang muncul hingga sekarang ini dengan segenap titik diferensiasi, penekanan, interest, kecenderungan, dan kebaruan yang beragam. Pada titik inilah sebenarnya saya tidak akan lebih jauh terlibat dalam silang-sengkarut definisi dan pemahaman tentang kritik seni yang telah dilontarkan itu. Saya justru ingin mengembalikan perkara mendasar dari keberadaan kritik itu sendiri di tengah khalayak dan seniman. Benarkah kritik seni bergerak secara otonom dengan mengabaikan “fakta seni” yang ada di lingkungannya? Ataukah malah kritik seni dibutuhkan ketika dia berjalan menjadi “sang penyaksi” di belakang kehadiran karya seni?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut pantas dilontarkan senyampang dengan geliat seni rupa dewasa ini yang nyaris kian “tidak terkendali” dinamika dan progresivitasnya. Kenyataan tersebut dapat ditengarai dengan banyaknya “perhelatan” dan “peristiwa” seni rupa yang marak di banyak kawasan di Indonesia, tak terkecuali di Semarang. Dari pengalaman yang saya saksikan dan alami di Yogyakarta, misalnya, hal itu dapat dilacak dari berbagai event yang telah terjadi.
Sebut saja misalnya Pameran tunggal Ugo Untoro yang dalam klasifikasi tertentu telah menampilkan radikalitas estetik dengan menampilkan karya yang (sangat) tematik, yakni tentang kuda. Kuda oleh Ugo tidak diposisikan dan dieksposisikannya secara eksotik dengan menampilkan lukisan, misalnya. Namun representasi kuda lengkap dengan sadisme, kekerasan, dan vulgaritas yang mendekatkan apresian dengan sosok “realitas kuda yang sesungguhnya”. Di sini Ugo memberangkatkan laku kreatifnya dari pengalaman pribadi yang telah cukup karib dengan binatang kuda ini. Ada sistem pengetahuan yang sedikit banyak membantunya karena perbendaharaannya tentang kuda ditunjang oleh buku dan pengalaman memelihara kuda secara langsung.
Lalu juga, hari-hari ini, ada pameran Masa Lalu, Masa Lupa, di Cemeti Arthouse. Modus kreatif para seniman yang terlibat dalam pameran ini adalah diawali dengan praktik diskusi dengan para peneliti sejarah sosial yang berfokuskan tentang Yogyakarta pada kurun tahun 1930-1960. Para seniman itu kemudian mengekskusi karya berdasar hasil diskusi dengan para peneliti tersebut. Produknya tentu saja adalah visualisasi hasil interpretasi seniman tentang sejarah Yogyakarta kurun 30 tahun itu.
Ada pula seniman Venzha Christiawan yang bekerja secara kreatif dengan, antara lain, memproduksi sound art. Dia masuk ke sebuah instalasi bedah di rumah sakit, meng-install perangkat yang berhubungan dengan operasi/bedah medis, dan kemudian menghubungkannya dengan perangkat yang telah dirangkainya. Maka dalam ruangan itu, dia berkreasi dengan cara tidur layaknya pasien yang opname, dan suara degup jantungnya yang normal menjadi ritmis, beradu dengan jalinan sound yang telah dia aransir, dan terekam secara elektronik di layar monitor, dan itulah titik penting dari peristiwa estetik yang dia ciptakan untuk dirinya dan publik (yang terbatas).
***
Apa yang bisa dibaca dari bentuk kreatif seni semacam itu dalam kaitannya dengan kehadiran kritik seni rupa? Saya kira, ketika cara pandang berkesenian mulai bergeser tidak lagi menganggap proses kreatif sebagai sesuatu yang “adiluhung”, yang given karena “menunggu ilham jatuh dari langit”, “meniru alam”, dan semacamnya, melainkan telah menjadi sistem representasi intelektualitas, sistem penanda habitus, respons kreatif sebagai homo socius (makhluk sosial), dan sebagainya, maka kritik seni juga harus berubah untuk mereposisi keberadaan dirinya. Dengan demikian, tanggung jawab terbesar dari sebuah kritik, saya kira, adalah tetap memberi nilai, dan dalam konteks perubahan seperti ini, haruslah berkewajiban menggeser dan memberi sistem nilai baru untuk menyepadankan dengan progresivitas kreatif seniman/kreator. Toh dalam konteks tertentu, kritikus adalah juga kreator, bukan sekadar menjadi “sang penyaksi” yang bertanggung jawab memberi pengayaan sistem nilai terhadap apresian/pembaca kritik.
Maka ketika membaca kritik seni rupa sekadar berangkat dari baik-buruk, atau menyoal persoalan fisikalitas karya yang dipamerkan di ruang pajang saja, kritik seni menjadi mandul dan relatif gagal memberikan efek re-kreasi (mengkreasi kembali) bagi para apresiannya. Karena sebenarnya hakikat kritik seni bukanlah sekadar memberi informasi, namun juga memprovokasi demi menciptakan nilai-nilai bagi apresian.
(Tulisan ini telah dipresentasikan dalam diskusi "Kritik Seni Jurnalistik" di harian Suara Merdeka Semarang, Kamis, 12 April 2007, bersama pembicara lain Chris Dermawan [Galeri Semarang], Ari Setyawan [seniman], dan Triyanto Triwikromo [Redaktur Budaya Suara Merdeka]. Foto di atas instalasi karya Ugo Untoro, The Last Race, 2007)
SUDAH begitu banyak pengertian mendasar tentang kritik, atau yang khusus tentang kritik seni rupa, yang beredar dalam ruang-ruang pewacanaan kita. Dalam buku Criticizing Art, Understanding Contemporary (1994) sebagai misal, Terry Michael Barret dengan cukup komplit membuat bunga rampai dari sekian banyak pengamat dan kritikus dengan definisi, fungsi, target, manfaat, dan lainnya dari keberadaan kritik seni.
Misalnya Arthur Danto yang bersepakat dengan pemikiran Baudelaire bahwa sebuah kritik haruslah “berpihak, berhasrat dan bersifat politis”. Danto menekankan bahwa kritik seni “janganlah berbicara tentang pokok soal atau membincangkan kehidupan si seniman; jangan menggunakan bahasa yang impresionistik atau menjelaskan bagaimana sebuah karya dapat “menyentuh kalbu”; (tapi) berikan pertimbangan tentang detil fisik karya; lupakan penghakiman atas kualitas dan sejarah estetik yang penting. Dia cenderung menyukai untuk membincangkan sesuatu hal yang melingkungi karya itu sendiri.
Gagasan Danto tentu sedikit berseberangan dengan Robert Pincus-Witten yang berpikir bahwa titik penting dari sebuah kritik adalah rasa empatik terhadap seniman. Dia memilih modus ekspresi kritik sebagai “merekam apa yang seseorang (seniman) pikirkan dan rasakan”. Sedang Andy Grundberg memberi kalimat kunci bahwa hal terpenting dalam tugas kritik seni adalah memberikan argumentasi, bukan sekadar pelafalan (terhadap istilah-istilah tertentu). Ini sejalan dengan Lawrence Alloway yang dengan jernih memetakan fungsi kritik seni sebagai sebuah deskripsi, interpretasi, dan evaluasi atas karya seni yang tengah diperbincangkan.
***
Saya kira masih begitu banyak definisi kritik yang muncul hingga sekarang ini dengan segenap titik diferensiasi, penekanan, interest, kecenderungan, dan kebaruan yang beragam. Pada titik inilah sebenarnya saya tidak akan lebih jauh terlibat dalam silang-sengkarut definisi dan pemahaman tentang kritik seni yang telah dilontarkan itu. Saya justru ingin mengembalikan perkara mendasar dari keberadaan kritik itu sendiri di tengah khalayak dan seniman. Benarkah kritik seni bergerak secara otonom dengan mengabaikan “fakta seni” yang ada di lingkungannya? Ataukah malah kritik seni dibutuhkan ketika dia berjalan menjadi “sang penyaksi” di belakang kehadiran karya seni?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut pantas dilontarkan senyampang dengan geliat seni rupa dewasa ini yang nyaris kian “tidak terkendali” dinamika dan progresivitasnya. Kenyataan tersebut dapat ditengarai dengan banyaknya “perhelatan” dan “peristiwa” seni rupa yang marak di banyak kawasan di Indonesia, tak terkecuali di Semarang. Dari pengalaman yang saya saksikan dan alami di Yogyakarta, misalnya, hal itu dapat dilacak dari berbagai event yang telah terjadi.
Sebut saja misalnya Pameran tunggal Ugo Untoro yang dalam klasifikasi tertentu telah menampilkan radikalitas estetik dengan menampilkan karya yang (sangat) tematik, yakni tentang kuda. Kuda oleh Ugo tidak diposisikan dan dieksposisikannya secara eksotik dengan menampilkan lukisan, misalnya. Namun representasi kuda lengkap dengan sadisme, kekerasan, dan vulgaritas yang mendekatkan apresian dengan sosok “realitas kuda yang sesungguhnya”. Di sini Ugo memberangkatkan laku kreatifnya dari pengalaman pribadi yang telah cukup karib dengan binatang kuda ini. Ada sistem pengetahuan yang sedikit banyak membantunya karena perbendaharaannya tentang kuda ditunjang oleh buku dan pengalaman memelihara kuda secara langsung.
Lalu juga, hari-hari ini, ada pameran Masa Lalu, Masa Lupa, di Cemeti Arthouse. Modus kreatif para seniman yang terlibat dalam pameran ini adalah diawali dengan praktik diskusi dengan para peneliti sejarah sosial yang berfokuskan tentang Yogyakarta pada kurun tahun 1930-1960. Para seniman itu kemudian mengekskusi karya berdasar hasil diskusi dengan para peneliti tersebut. Produknya tentu saja adalah visualisasi hasil interpretasi seniman tentang sejarah Yogyakarta kurun 30 tahun itu.
Ada pula seniman Venzha Christiawan yang bekerja secara kreatif dengan, antara lain, memproduksi sound art. Dia masuk ke sebuah instalasi bedah di rumah sakit, meng-install perangkat yang berhubungan dengan operasi/bedah medis, dan kemudian menghubungkannya dengan perangkat yang telah dirangkainya. Maka dalam ruangan itu, dia berkreasi dengan cara tidur layaknya pasien yang opname, dan suara degup jantungnya yang normal menjadi ritmis, beradu dengan jalinan sound yang telah dia aransir, dan terekam secara elektronik di layar monitor, dan itulah titik penting dari peristiwa estetik yang dia ciptakan untuk dirinya dan publik (yang terbatas).
***
Apa yang bisa dibaca dari bentuk kreatif seni semacam itu dalam kaitannya dengan kehadiran kritik seni rupa? Saya kira, ketika cara pandang berkesenian mulai bergeser tidak lagi menganggap proses kreatif sebagai sesuatu yang “adiluhung”, yang given karena “menunggu ilham jatuh dari langit”, “meniru alam”, dan semacamnya, melainkan telah menjadi sistem representasi intelektualitas, sistem penanda habitus, respons kreatif sebagai homo socius (makhluk sosial), dan sebagainya, maka kritik seni juga harus berubah untuk mereposisi keberadaan dirinya. Dengan demikian, tanggung jawab terbesar dari sebuah kritik, saya kira, adalah tetap memberi nilai, dan dalam konteks perubahan seperti ini, haruslah berkewajiban menggeser dan memberi sistem nilai baru untuk menyepadankan dengan progresivitas kreatif seniman/kreator. Toh dalam konteks tertentu, kritikus adalah juga kreator, bukan sekadar menjadi “sang penyaksi” yang bertanggung jawab memberi pengayaan sistem nilai terhadap apresian/pembaca kritik.
Maka ketika membaca kritik seni rupa sekadar berangkat dari baik-buruk, atau menyoal persoalan fisikalitas karya yang dipamerkan di ruang pajang saja, kritik seni menjadi mandul dan relatif gagal memberikan efek re-kreasi (mengkreasi kembali) bagi para apresiannya. Karena sebenarnya hakikat kritik seni bukanlah sekadar memberi informasi, namun juga memprovokasi demi menciptakan nilai-nilai bagi apresian.
Comments