Membuka Raport Murid dan Guru

Oleh Kuss Indarto

(Tulisan ini telah dimuat dalam katalog pameran Bersemi yang berlangsung di Galeri Biasa, Yogyakarta, 15-31 Maret 2007. Kalau foto lukisan kelapa ini sih karya Rinaldi, bukan salah satu perupa yang berpameran).

Menyimak sebuah karya seni rupa, bisa jadi, menyaksikan dua hal mendasar yang saling terintegrasi di dalamnya, yakni dunia bentuk dan dunia gagasan. Dunia bentuk lebih menyoal pada ihwal dan perkara teknis visual yang nampak di permukaan (surface) sebagai hal yang elementer, mulai dari warna, garis, bidang, komposisi, tekstur, dan sebagainya. Mulai dari bentuk yang coreng-moreng (scribbling), iconic, simbolik, realistik hingga yang abstrak. Semuanya merupakan hasil ekspresi atau sekaligus refleksi perupa/pelukis atas realitas yang diimajinasikan, atau sebaliknya, imajinasi yang direalisasikan. Ini menjadi hal pertama yang langsung tercerap oleh indera penglihatan ketika mengapresiasi karya.

Sedang dunia gagasan lebih menyoal pada aspek substansi yang melatari “teks” visual tersebut, seperti impresi, narasi, tendensi hingga moral dan “ideologi” atas sebuah karya. Dunia substansi ini relatif merupakan ruh karya berisi gagasan yang mencerminkan kadar pemahaman dan kecerdasan perupa terhadap obyek benda. Pencerapan atas hal kedua ini relatif membutuhkan pemahaman lebih jauh, bahkan mungkin kompleks, dengan mendasarkan pada banyak hal, seperti latar belakang sang perupa, konteks waktu penciptaan karya dan relasi sosial yang melingkupi, hingga sejarah proses penciptaan, dan semacamnya. Dengan demikian, gambar adalah “kendaraan” bagi substansi/narasi, sebaliknya narasi merupakan nilai-nilai yang diterjemahkan oleh gambar.

Tentu saja pemilahan ekstrem tersebut tidak selalu bisa diterapkan untuk membaca semua contoh kasus karya seni rupa. Ada kalanya karya lukis yang berkecenderungan abstrak seperti yang diguratkan oleh perupa semacam Joan Miro, Jackson Pollock, Nashar, Fadjar Sidik, Handrio, Lian Sahar, hingga Gusti Alit, menempatkan aspek perupaannya sebagai basis utama dalam menatap dunia gagasan yang melingkungi. Artinya, tidak sedikit karya lukis abstrak yang bangunan pemaknaannya tidak lebih jauh dari “sebatas” persoalan permainan komposisi warna, bentuk, dan aspek visual lainnya. Sementara di sisi lain, banyak karya seni rupa kontemporer yang bangunan dan sistem pemaknaannya telah jauh melampaui penampakan visual itu sendiri. Misalnya karya-karya conceptual art yang mulai dimunculkan pada pertengahan dekade 1960-an di Barat oleh Sol LeWitt, Dennis Oppenheim, Tom Marioni, Les Levine, Joseph Kosuth, Hans Haacke, Joseph Beuys dan sederet nama penting lainnya. Mereka antara lain memamerkan secara ekstrem teks (tulisan) sebagai sarana visual yang otonom untuk menggagas persoalan ekstra-estetika.

***

Oleh karenanya, sesederhana apapun sebuah karya seni rupa itu diciptakan, dia tetap memungkinkan memuat dua hal tersebut – dunia bentuk dan dunia gagasan – meski dalam gradasi penekanan yang berlainan pada dua hal itu. Dunia bentuk bisa sekadar menjadi “alat bantu” untuk menuangkan dunia gagasan yang merimbun dalam pikiran si perupa. Namun juga sangat mungkin dunia bentuk merupakan dunia gagasan itu sendiri, seperti halnya yang banyak terjadi pada lukisan abstrak. Dunia gagasan tak harus memuat sesuatu yang besar, penuh citra heroime, politis, ideologis, dan rentetan beban persoalan lainnya, seperti yang (antara lain) teridentifikasi pada karya-karya seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dulu yang memotret obyek karya dengan ideologi “realisme sosialis”. Hal yang sederhana bisa pula menjadi titik tumpu bahan perbincangan. Tentu kesadaran semacam ini tetap dilandasi dengan kesadaran ruang atau konteks yang relavan dengan karya. Misalnya, lukisan potret diri yang “bersahaja” dengan kuratorial yang juga “bersahaja” relatif belum bisa masuk dalam ruang seni rupa kontemporer yang menyaratkan pada penggalian aspek pemaknaan di balik aspek perupaan yang juga eksploratif.

Pun demikian, ketika menyimak karya-karya yang tergelar dalam pameran Komunitas Sahabat Pakuningratan di Galeri Biasa ini, pencerapan awal dari apresian, setidaknya saya, relatif segera muncul. Bahkan mungkin berkesimpulan bahwa proses pembelajaran teknik visual masih cukup kentara pada masing-masing peserta pameran ini. Inilah sebuah risiko yang sudah pasti muncul dan tak perlu dielakkan karena eksposisi karya di tengah publik adalah bagian penting dari proses “pembelajaran sosial” yang lebih menyentuh pada diri (calon) seniman atau pun pehobi seni lukis.

Catatan ini tentu tidak hendak saya hasratkan masuk lebih jauh dalam lingkar teori mutakhir seni rupa yang kian kompleks dan malah meruwetkan. Ini sekadar kesan selintas dari penulis terhadap komunitas Sahabat Pakuningratan yang kali kedua ini berpameran. Mereka bukanlah kelompok yang secara tegas belajar melukis untuk menjadi seniman, atau berhasrat masuk dalam peta perbincangan seni rupa yang lebih luas. Sama sekali tidak! Oleh karenanya mereka tidak bertendensi besar untuk merebut perhatian dengan mengeksplorasi mencari pencapaian estetik baru dalam ranah seni rupa. Di sinilah kehadiran sebelas anggota yang menghimpun diri di dalam komunitas ini pantas untuk diberi catatan kecil.

Setidaknya dengan pameran untuk kali yang kedua ini – setelah pameran pertama tahun 2006 lalu – wilayah seni rupa di Yogyakarta diperkaya oleh komunitas yang lebih heterogen. Jagat seni rupa yang terkadang kian dirasa menyempit komunitasnya karena kurang populis dan cenderung eksklusif, seperti diingatkan kembali oleh kehadiran komunitas ini untuk menengok perkembangan populasinya. Ini perkara yang sering diremehkan untuk kemudian tiba-tiba para seniman atau masyarakat seni rupa sadar: siapakah sih masyarakat kita yang akan mengapresiasi karya-karya seni rupa? Apakah betul seniman hanya berorientasi pada pasar yang menjadikan karyanya semata-mata sebagai komodifikasi yang rutenya singkat antara seniman-kolektor, dan mengabaikan masyarakat umum?

Tanpa bermaksud untuk melakukan heroisasi picisan, tampaknya komunitas ini seperti hendak menunjukkan “nilai raport” mereka ke hadapan masyarakat seni. Sebagai profesional pada disiplin di luar seni rupa (dosen arsitektur, kedokteran, dan lain-lain di lingkungan UGM), mereka adalah sekelompok orang yang telah mulai rutin mengagendakan sebagian waktunya untuk menonton pameran seni rupa. Dan lebih dari itu, kemudian para bapak dan ibu ini juga mengalokasikan secuil waktu untuk berpraktik melukis dengan bimbingan pelukis profesional, Yuswantoro Adi dan Bambang Heras. Maka raport yang diketengahkan mereka kali ini bisa jadi merupakan cermin kecil dari kepekaan mereka terhadap “pembelajaran sosial” yang telah dilakukan dari hasil menyaksikan pameran satu ke pameran lain. Dan tentu saja juga pembekalan estetik yang dilakukan duet guru mereka, Yus-Heras.

***

Menyimak karya-karya mereka dalam pameran ini, bagi apresian yang telah terbiasa menyaksikan pameran-pameran seni rupa di Yogyakarta – sejujurnya – harus terlebih dulu menyingkirkan beban parameter estetik yang melambung tinggi. Saya tak mencoba mengatakan pameran ini tak layak untuk disimak. Justru sebaliknya, sangat penting untuk dicermati. Karena karya-karya mereka sebenarnya telah mulai menjadi “alat ucap” visual untuk menarasikan sesuatu yang ada dalam benak dan pengalaman batin mereka. Memang masih banyak kendala keterbatasan teknis, tetapi di luar persoalan itu, tema-tema kecil dan sederhana serasa menggugah kesadaran kemanusiawian kita bersama.

Lihat misalnya karya Edi Arinto yang bertajuk Superwoman. Dia membincangkan ihwal sesosok pembantu yang tengah tertidur kelelahan di kursi. Nilai ironi dimunculkan secara provokatif lewat logo populer pada kaos yang dikenakan oleh sang pembantu: superwoman. Ya, adakalanya mereka yang dianggap sebagai super(wo)man toh punya rasa lelah jua. Sementara karyanya yang lain tentang potret sosok tak banyak bercerita kecuali keinginannya untuk mematangkan studi anatomisnya. Kecenderungan seperti ini, yakni mendekatkan kemampuan mimesis (meniru alam) pada peserta pameran ini sangat menonjol. Ini sesuatu yang wajar karena pendekatan realisme visual secara lazim selalu diberlakukan sebagai fase-fase awal dalam proses pembelajaran. Sekaligus menjadi bagian dari cermin guru pembimbingnya.

Kecenderungan yang juga menguat adalah upaya para peserta pameran ini untuk menguak kembali pengalaman batin mereka atas potongan waktu yang telah lewat namun masih membekas kuat dalam batin. Misalnya karya Maya Andria Nirawati yang memotret salah satu sudut lanskap Losari, sebuah kawasan perkebunan kopi yang eksotik di utara Magelang. Atau karya Etty Indriati, guru besar kedokteran, yang menjumput silasan ingatannya pada lanskap di Amerika tempatnya berguru bertahun-tahun lalu. Atau karya Dwita yang memotret kepingan lanskap persawahan hijau di pedusunan di pinggiran Magelang. Dan masih banyak karya menarik yang tak bisa diurai dan dibahas satu persatu.

Karya-karya tersebut, sebagai bagian penting dari proses belajar, juga banyak “berguru” pada potret yang sangat membantu untuk mengingatkan pada detil, ketepatan obyek, dan akurasi warna. Proses kreasi semacam ini lazim berlaku dimanapun. Hanya pertanyaan mendasar yang perlu diingatkan adalah, apakah modus seperti itu, lama kelamaan, tak larut menjadi sebuah metodologi? Kalau ini terjadi, maka spontanitas yang juga menjadi titik inti dari kreativitas dalam berkesenian akan tereduksi. Memang, semuanya akan terpulang lagi, apakah “nyontek” sebagai sebuah proses atau pilihan? Atau lebih mendasar dari itu, apakah melukis secara realistik merupakan pilihan tunggal yang tak tertawarkan lagi?

Silakan merenung dan melukis deh ya Mas, ya Pak, ya Mbak, ya Bu! Hehehehe.

Comments

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?