Tersesat Membaca Seni Rupa Semarang
Oleh Kuss Indarto
(Tulisan ini telah dimuat di harian Suara Merdeka Semarang, Minggu 8 April 2007)
Dalam kurun enam tahun terakhir, setidaknya dalam kacamata subyektif saya, pergeseran situasi seni rupa di Semarang makin menguat mengikuti perkembangan yang terjadi di wilayah lain. Ini, antara lain, ditandai oleh beberapa faktor kemungkinan.
Pertama, munculnya galeri komersial, yakni Galeri Semarang sejak medio 2001, yang menjadi titik picu dan titik muara atas segenap “sumpah serapah” bagi seniman lokal yang tidak terakomodasi di ruang tersebut. Ini sekaligus melahirkan beragam bentuk resistensi atas keterasingan seniman Semarang di negerinya sendiri. Resistensi ini menjadi pokok soal penting karena berikutnya menggumpal menjadi berderet capaian yang sebelumnya telah mengembrio namun belum termuntahkan dengan baik. Maka lahirlah beberapa ruang seni (artspace) yang mampu mengakomodasi kepentingan dan interest estetik para seniman Semarang sendiri. Lahirnya ruang seni secara integral juga memunculkan komunitas baru, baik yang “cair” maupun solid. Premis ini sama sekali bukan sebuah heroisasi picisan terhadap Galeri Semarang, namun harus diakui bahwa kehadirannya mampu meletupkan resistensi yang positif.
Kedua, merebaknya upaya pencarian parameter atau alat ukur estetik baru oleh para seniman, terutama anak muda, sekaligus sebagai pengingkaran terhadap “mitos-mitos estetik” yang telah melekat sebelum ini di lingkungan terdekatnya. Maka bergeraklah mereka untuk tidak lagi memitoskan atau setidaknya mengacu secara estetik – dengan segala maaf – pada karya-karya Kok Poo, Inanta Hadipranoto, atau senior lain. Mereka, para senior itu, diasumsikan telah masuk dalam situasi “kreatif” yang involutif, yakni keadaan yang seolah-olah melakukan pergerakan namun tetap berkelindan dan berputar-putar di tempat tanpa banyak memproduksi progres serta capaian estetik baru. Bukan gerak evolutif atau apalagi revolutif yang bisa diharapkan produk progresivitasnya.
Ketiga, berkait erat dengan dua hal di atas, terjadi peningkatan dan penyebaran aesthetic literacy (pencerdasan estetik) bagi banyak perupa di Semarang yang menjadi konsekuensi linier atas perkembangan seni rupa yang terjadi di luar lingkungannnya. Ini juga koheren dengan cara pandang seniman dewasa ini yang mampu menghargai setiap informasi sebagai bagian penting untuk melibatkan diri dalam arus pewacanaan seni rupa yang aktual atau tengah berlangsung. Oleh karenanya, cara pandang berkesenian pun, untuk beberapa perupa Semarang yang saya kenal, mulai bergeser tidak lagi menganggap (proses kreatif) sebagai sesuatu yang “adiluhung”, yang given karena “menunggu ilham jatuh dari langit”, “meniru alam”, dan semacamnya, melainkan juga menjadi sistem representasi intelektualitas, sistem penanda habitus, respons kreatif sebagai homo socius (makhluk sosial), dan sebagainya. Dari sini tentu mulai terlihat titik beda keluaran kreatifnya.
Dengan demikian membincangkan problem seni rupa di Semarang dan relevansinya dengan soal “pusat” seni rupa seperti Yogyakarta, Bandung, Bali, atau ihwal pemetaan baru seni rupa yang melepaskan dari sejarah seni rupa mainsteram yang telah ada, menjadi tema yang basi dan jadul (jaman dulu) untuk ditampilkan ulang. Tulisan ini, jelas, secara frontal saya tujukan untuk Djuli Djatiprambudi yang pekan lalu menawarkan cacatan polemisnya, Saat Membaca Seni Rupa Semarang (Suara Merdeka, 25/3/2007). Bagi saya, tinjauannya sebagai seorang kurator dalam membaca seni rupa di Semarang bisa menyesatkan karena tanpa sadar memunculkan paradoks dalam beberapa tesisnya.
Tinjauan Djuli untuk menolak adanya “mitos”, “pusat”, grey area, dan lainnya dengan mengetengahkan kemungkinan “sejarah baru” seni rupa yang mengakomodasi wilayah seperti Semarang, bagi saya, justru akan menjerembabkan lokus Semarang untuk masuk dalam ritus involusi yang jalan di tempat. Karena kebutuhan seniman di kota seperti Semarang adalah alat ukur estetik yang selalu bergerak dinamis melampaui “mitos-mitos” yang diciptakannya sendiri, bukan malah merawat “mitos-mitos” yang telah menjemput titik nadir kemandegannya.
Maka, andai perupa Harmanto, Kokoh Nugroho, Bayu Tambeng atau yang lainnya tak lagi menjadikan sosok Kok Poo atau Inanta sebagai panutan, tetapi justru menimba spirit kreatif dari Ugo Untoro, Tisna Sanjaya, Yue Minjun atau Jean-Michel Basquiat, maka hal ini bisa dibaca sebagai upaya untuk mengayakan aesthetic literacy dengan sekaligus mencari alat ukur estetik baru. Aksi ini serupa dengan Kok Poo dan kawan-kawan yang di awal 1970-an berguru pada Dullah di Sanggar Pejeng, Bali, ketika mereka tak menemukan parameter estetik yang memadai di lingkungan terdekatnya. Bagi perupa muda, perkara ini lebih penting ketimbang mempraktikkan laku Semarangsentris untuk “mendongkel” pusat dan memusatkan yang “pinggiran”, yang tak lagi relevan dalam perbincangan.
Hal mendasar dan kontradiktif yang juga dikemukakan oleh Djuli adalah terminologi “pelukis”, atau “seni lukis” yang mewarnai nyaris semua teksnya, sementara tajuk tulisannya menyoal “seni rupa”. Tentu, satu hal, judul dan isi tersebut kontradiktif. Hal lain yang menjadi titik penting yang ingin saya ketengahkan adalah terminologi “seni lukis” yang untuk konteks kontemporerisme dewasa ini menjadi ketinggalan kereta. Seni lukis merupakan bentuk pilahan (pengkotakan) yang diberikan oleh paham dan ideologi modernisme untuk membedakan dengan seni patung, disain dan lainnya. Modernisme menelurkan istilah fine art (seni murni). Kecenderungan tersebut, dalam derivat lebih lanjut, juga melahirkan “pusat” dan “pinggiran” seperti disebut Djuli. Sementara konteks waktu kini, seni rupa kontemporer yang mengideologikan kredo “anything goes” tidak memilah secara tajam pembedaan tersebut demi untuk mengakomodasi segala medium dan format seni rupa, seperti lukisan, drawing, environmental art, object art, instalasi, performance art, public art, street art, mural art, video art, sound art dan lainnya. Maka istilah yang muncul adalah visual art atau seni rupa. (Bahkan kini mulai populer istilah “seni visual” dengan cara pandang dan ideologi estetik yang bergeser ketimbang “seni rupa”).
Dengan demikian, ketika menyebut Putut Wahyu Widodo, Deni Pribadi, Ibnu Thalhah dan lainnya sebagai “para pelukis” dan bukan “para perupa”, bagi saya, Djuli justru memberi penekanan untuk meminggirkan perupa Semarang dalam struktur seni rupa Indonesia yang terus berproses membentuk dirinya. Seolah mereka hanya “pelukis” dengan cara pandang modernis yang kuno, bukan “perupa” (dalam pemahaman kontemporerisme) yang berupaya untuk masuk dalam peta perbincangan seni rupa dewasa ini. Maka, ajakan Djuli untuk menengok kembali sejarah seni rupa secara fair, justru diawali dengan cara pandang yang unfair dan berpotensi membuat Semarang semakin terperangkap dalam grey area.
Akhirnya, agenda besar bagi para perupa Semarang dewasa ini saya kira adalah mempercepat daya tular (contagion) terhadap segenap kebaruan yang muncul lewat jalur informasi yang kini menjadi semacam jaring-jaring rhizoma yang tak bisa dielakkan. Juga menciptakan jejaring kerja (networking) yang intensif dan solid. Penginternasional diri pun bisa terjadi dengan cara ini tanpa memberhalakan “pusat’ dan “pinggiran” (dalam konteks Indonesia) yang tak cukup relevan.
Jangan heran kalau Anda menemu nama perupa Bayu Gundul dari Solo yang mengeksposisikan karya Wayang Radjakaya di Jerman. Atau Syaiful Djamil (Makasar) yang tiba-tiba bersanding dengan Dadang Chistanto di sebuah pameran di Korea Selatan. Atau Sulistiono (Palangkaraya) yang masuk 10 Besar di Kompetisi Seni Lukis di Beppu, Jepang. Atau Widoyoko (Bandung) yang keluar-masuk di event seni rupa di Argentina dan negara-negara Amerika Latin. Siapa mereka dalam konteks seni rupa Indonesia? Lupakan Indonesia dengan peta pusat dan pinggiran yang sudah uzur…
(Tulisan ini telah dimuat di harian Suara Merdeka Semarang, Minggu 8 April 2007)
Dalam kurun enam tahun terakhir, setidaknya dalam kacamata subyektif saya, pergeseran situasi seni rupa di Semarang makin menguat mengikuti perkembangan yang terjadi di wilayah lain. Ini, antara lain, ditandai oleh beberapa faktor kemungkinan.
Pertama, munculnya galeri komersial, yakni Galeri Semarang sejak medio 2001, yang menjadi titik picu dan titik muara atas segenap “sumpah serapah” bagi seniman lokal yang tidak terakomodasi di ruang tersebut. Ini sekaligus melahirkan beragam bentuk resistensi atas keterasingan seniman Semarang di negerinya sendiri. Resistensi ini menjadi pokok soal penting karena berikutnya menggumpal menjadi berderet capaian yang sebelumnya telah mengembrio namun belum termuntahkan dengan baik. Maka lahirlah beberapa ruang seni (artspace) yang mampu mengakomodasi kepentingan dan interest estetik para seniman Semarang sendiri. Lahirnya ruang seni secara integral juga memunculkan komunitas baru, baik yang “cair” maupun solid. Premis ini sama sekali bukan sebuah heroisasi picisan terhadap Galeri Semarang, namun harus diakui bahwa kehadirannya mampu meletupkan resistensi yang positif.
Kedua, merebaknya upaya pencarian parameter atau alat ukur estetik baru oleh para seniman, terutama anak muda, sekaligus sebagai pengingkaran terhadap “mitos-mitos estetik” yang telah melekat sebelum ini di lingkungan terdekatnya. Maka bergeraklah mereka untuk tidak lagi memitoskan atau setidaknya mengacu secara estetik – dengan segala maaf – pada karya-karya Kok Poo, Inanta Hadipranoto, atau senior lain. Mereka, para senior itu, diasumsikan telah masuk dalam situasi “kreatif” yang involutif, yakni keadaan yang seolah-olah melakukan pergerakan namun tetap berkelindan dan berputar-putar di tempat tanpa banyak memproduksi progres serta capaian estetik baru. Bukan gerak evolutif atau apalagi revolutif yang bisa diharapkan produk progresivitasnya.
Ketiga, berkait erat dengan dua hal di atas, terjadi peningkatan dan penyebaran aesthetic literacy (pencerdasan estetik) bagi banyak perupa di Semarang yang menjadi konsekuensi linier atas perkembangan seni rupa yang terjadi di luar lingkungannnya. Ini juga koheren dengan cara pandang seniman dewasa ini yang mampu menghargai setiap informasi sebagai bagian penting untuk melibatkan diri dalam arus pewacanaan seni rupa yang aktual atau tengah berlangsung. Oleh karenanya, cara pandang berkesenian pun, untuk beberapa perupa Semarang yang saya kenal, mulai bergeser tidak lagi menganggap (proses kreatif) sebagai sesuatu yang “adiluhung”, yang given karena “menunggu ilham jatuh dari langit”, “meniru alam”, dan semacamnya, melainkan juga menjadi sistem representasi intelektualitas, sistem penanda habitus, respons kreatif sebagai homo socius (makhluk sosial), dan sebagainya. Dari sini tentu mulai terlihat titik beda keluaran kreatifnya.
Dengan demikian membincangkan problem seni rupa di Semarang dan relevansinya dengan soal “pusat” seni rupa seperti Yogyakarta, Bandung, Bali, atau ihwal pemetaan baru seni rupa yang melepaskan dari sejarah seni rupa mainsteram yang telah ada, menjadi tema yang basi dan jadul (jaman dulu) untuk ditampilkan ulang. Tulisan ini, jelas, secara frontal saya tujukan untuk Djuli Djatiprambudi yang pekan lalu menawarkan cacatan polemisnya, Saat Membaca Seni Rupa Semarang (Suara Merdeka, 25/3/2007). Bagi saya, tinjauannya sebagai seorang kurator dalam membaca seni rupa di Semarang bisa menyesatkan karena tanpa sadar memunculkan paradoks dalam beberapa tesisnya.
Tinjauan Djuli untuk menolak adanya “mitos”, “pusat”, grey area, dan lainnya dengan mengetengahkan kemungkinan “sejarah baru” seni rupa yang mengakomodasi wilayah seperti Semarang, bagi saya, justru akan menjerembabkan lokus Semarang untuk masuk dalam ritus involusi yang jalan di tempat. Karena kebutuhan seniman di kota seperti Semarang adalah alat ukur estetik yang selalu bergerak dinamis melampaui “mitos-mitos” yang diciptakannya sendiri, bukan malah merawat “mitos-mitos” yang telah menjemput titik nadir kemandegannya.
Maka, andai perupa Harmanto, Kokoh Nugroho, Bayu Tambeng atau yang lainnya tak lagi menjadikan sosok Kok Poo atau Inanta sebagai panutan, tetapi justru menimba spirit kreatif dari Ugo Untoro, Tisna Sanjaya, Yue Minjun atau Jean-Michel Basquiat, maka hal ini bisa dibaca sebagai upaya untuk mengayakan aesthetic literacy dengan sekaligus mencari alat ukur estetik baru. Aksi ini serupa dengan Kok Poo dan kawan-kawan yang di awal 1970-an berguru pada Dullah di Sanggar Pejeng, Bali, ketika mereka tak menemukan parameter estetik yang memadai di lingkungan terdekatnya. Bagi perupa muda, perkara ini lebih penting ketimbang mempraktikkan laku Semarangsentris untuk “mendongkel” pusat dan memusatkan yang “pinggiran”, yang tak lagi relevan dalam perbincangan.
Hal mendasar dan kontradiktif yang juga dikemukakan oleh Djuli adalah terminologi “pelukis”, atau “seni lukis” yang mewarnai nyaris semua teksnya, sementara tajuk tulisannya menyoal “seni rupa”. Tentu, satu hal, judul dan isi tersebut kontradiktif. Hal lain yang menjadi titik penting yang ingin saya ketengahkan adalah terminologi “seni lukis” yang untuk konteks kontemporerisme dewasa ini menjadi ketinggalan kereta. Seni lukis merupakan bentuk pilahan (pengkotakan) yang diberikan oleh paham dan ideologi modernisme untuk membedakan dengan seni patung, disain dan lainnya. Modernisme menelurkan istilah fine art (seni murni). Kecenderungan tersebut, dalam derivat lebih lanjut, juga melahirkan “pusat” dan “pinggiran” seperti disebut Djuli. Sementara konteks waktu kini, seni rupa kontemporer yang mengideologikan kredo “anything goes” tidak memilah secara tajam pembedaan tersebut demi untuk mengakomodasi segala medium dan format seni rupa, seperti lukisan, drawing, environmental art, object art, instalasi, performance art, public art, street art, mural art, video art, sound art dan lainnya. Maka istilah yang muncul adalah visual art atau seni rupa. (Bahkan kini mulai populer istilah “seni visual” dengan cara pandang dan ideologi estetik yang bergeser ketimbang “seni rupa”).
Dengan demikian, ketika menyebut Putut Wahyu Widodo, Deni Pribadi, Ibnu Thalhah dan lainnya sebagai “para pelukis” dan bukan “para perupa”, bagi saya, Djuli justru memberi penekanan untuk meminggirkan perupa Semarang dalam struktur seni rupa Indonesia yang terus berproses membentuk dirinya. Seolah mereka hanya “pelukis” dengan cara pandang modernis yang kuno, bukan “perupa” (dalam pemahaman kontemporerisme) yang berupaya untuk masuk dalam peta perbincangan seni rupa dewasa ini. Maka, ajakan Djuli untuk menengok kembali sejarah seni rupa secara fair, justru diawali dengan cara pandang yang unfair dan berpotensi membuat Semarang semakin terperangkap dalam grey area.
Akhirnya, agenda besar bagi para perupa Semarang dewasa ini saya kira adalah mempercepat daya tular (contagion) terhadap segenap kebaruan yang muncul lewat jalur informasi yang kini menjadi semacam jaring-jaring rhizoma yang tak bisa dielakkan. Juga menciptakan jejaring kerja (networking) yang intensif dan solid. Penginternasional diri pun bisa terjadi dengan cara ini tanpa memberhalakan “pusat’ dan “pinggiran” (dalam konteks Indonesia) yang tak cukup relevan.
Jangan heran kalau Anda menemu nama perupa Bayu Gundul dari Solo yang mengeksposisikan karya Wayang Radjakaya di Jerman. Atau Syaiful Djamil (Makasar) yang tiba-tiba bersanding dengan Dadang Chistanto di sebuah pameran di Korea Selatan. Atau Sulistiono (Palangkaraya) yang masuk 10 Besar di Kompetisi Seni Lukis di Beppu, Jepang. Atau Widoyoko (Bandung) yang keluar-masuk di event seni rupa di Argentina dan negara-negara Amerika Latin. Siapa mereka dalam konteks seni rupa Indonesia? Lupakan Indonesia dengan peta pusat dan pinggiran yang sudah uzur…
Comments