Narration of a Nation
(Ini sekadar catatan kecil untuk pameran dadakan bertajuk Narration of a Nation, yang berlangsung di Mon Decor Gallery, 27 Juni hingga awal Juli lalu. Ada 15 seniman waktu itu, antara lain Yudi Sulistyo, Ivan Yulianto, Joko Dwi Prastowo, dan lainnya. Dan setelah kubaca kembali, sepertinya pas untuk di-upload tepat pada 28 Oktober 2008, sebagai pengingat kecil di Hari Sumpah Pemuda ini... Semoga!)
Maxima de nihilo nascitur historia.
Kisah (sejarah) besar bisa muncul dari sesuatu yang bukan apa-apa
Sejarah adalah (salah satu) cara untuk mengekalkan, membingkai, dan memberi perspektif atas sebuah peristiwa yang telah lampau. Peristiwa tersebut tidak sekadar dirangkai dalam deret ukur waktu atau kronologi, namun lebih dari itu, di dalamnya ada praktik kuasa yang secara implisit maupun eksplisit mendasari kenapa sebuah peristiwa itu terjadi, bersama jalinan pemikiran, latar belakang, dan dampak yang secara post-factum terjadi.
Tak mengherankan kalau kemudian orang Barat dengan sinis menyatakan bahwa sejarah belum tentu berarti history, namun juga berkemungkinan menjadi sebuah his story, karena perspektif dan praktik kuasa yang mengemuka dalam sebuah “sejarah” tadi. Ini kentara, misalnya, pada jaman Orde Baru di bawah rezim Soeharto yang sempat melansir istilah “sejarah resmi” karena dikeluarkan secara formal oleh lembaga resmi dalam struktur negara. Istilah tersebut dengan tegas memberi batas bahwa (seolah) seluruh teks sejarah yang dinyatakan sebagai “sejarah resmi” merupakan versi paling benar dan sahih untuk dikonsumsi oleh publik, dan semua sumber di luar negara berarti “tidak resmi”. Di sini ada upaya untuk memobilisasi massa guna memberi pembenaran (yang tunggal) bahwa sejarah yang benar adalah versi “sejarah resmi” yang dikeluarkan oleh negara, meskipun di dalamnya banyak berkutat praktik his story. Maka, selama puluhan tahun masa pemerintahan Orde Baru, banyak narasi sejarah yang membesarkan dan bahkan cenderung mengultuskan sosok Soeharto sebagai superhero dalam perjalanan kebangsaan Indonesia mulai masa kemerdekaan.
Realitas ini, apa boleh buat, tak bisa ditolak sepenuhnya karena dalam (ilmu) sejarah, setidaknya dalam pandangan Friedrich Nietzsche, ada tiga pendekatan untuk menuliskan sejarah. Yang pertama adalah pendekatan monumental, yang dilakukan untuk memusatkan perhatian pada kebesaran-kebesaran dan kelangkaan monumental di masa lampau. Pendekatan ini bisa mendorong orang untuk menciptakan hal-hal besar, namun juga bisa mengancam siapa saja dari jaman sekarang, sejauh itu tidak termasuk dalam model kebesaran yang mereka bayangkan. Sejarah monumental bisa melahirkan bentuk-bentuk budaya besar bagi sekelompok orang namun juga bisa mengakibatkan vandalisme bagi kelompok lain.
Hal kedua adalah pendekatan antikuarian, yakni sejarah yang ditulis untuk mencari asal-usul identitas seseorang atau kelompok dari masa lampau. Sejarah antikuarian muncul karena obsesi sekelompok orang untuk melindungi dan menghormati siapa saja yang dianggap sebagai sumber identitas atau asal-usul kelompok/seseorang. Dengan demikian, sejarah antikuarian mempunyai fungsi untuk menciptakan identitas, ke arah mana masa depan harus dijalankan.
Dan pendekatan ketiga adalah pendekatan kritis. Dua pendekatan pertama di atas tidak bisa dikatakan sebagai kritis karena keduanya pada dasarnya takut dengan penilaian. Dengan mengadakan penilaian terlalu jeli tentang masa lampau orang bisa saja tidak bangga atau justru kehilangan identitas. Pendekatan kritis dipakai justru untuk membebaskan orang jaman sekarang dari beban sejarah. Sejarah ini diikuti oleh mereka yang memandang masa lampau sebagai sesuatu yang membebani dan—oleh karena itu—mereka ingin membebaskan diri dari masa lampau dengan cara menilainya kembali.
Dalam kerangka pandang yang serupa, saya kira, rentetan karya dalam pameran ini bisa dimaknai secara lebih meluas sebagai rentetan teks visual yang mencoba menarasikan “sejarah” dalam pendekatan kritis. Puluhan karya lukis yang dibingkai dalam Narration on a Nation sekadar sebuah cermin kecil untuk memberi dan menciptakan tengara (sign) atas rentetan persitiwa yang potensial dicatat sebagai “sejarah”.
Memang, apa yang tersaji dalam teks visual para perupa di sini bukanlah berangkat langsung dari realitas faktual, namun lebih sebagai upaya mengimajinasikan kembali realitas-realitas yang berlangsung di seputar diri seniman, dan kemudian dibubuhi dengan kesadaran kritis untuk kemudian menjadikan karya mereka menjadi “realitas imajinatif”. Artinya, karya yang terpampang dalam pameran ini merupakan sintesis (kecil) dari kerangka pandang seniman atas realitas sosial yang dipadu dengan pendekatan kritis. Seniman tidak sekadar menjadi saksi atas realitas yang kemudian menterjemahkan kembali apa adanya di atas kanvas, namun juga memberikan penilaian kritis dengan subyektivitas dan kritisisme mereka.
Maka yang menyeruak dalam karya adalah deretan kisah-kisah atau narasi-narasi kecil yang menyoal problem personal yang berkait dengan problem kebangsaan, atau bahkan juga ada yang secara heroik menyoal pembacaan seniman terhadap problem negara-bangsa. Narasi-narasi kecil ini tentu saja sangat mungkin bisa dibaca sebagai sebentuk sikap mereka dalam meneropong kehidupan kebangsaan pada situasi kekinian. Karya mereka bukanlah sekadar potret, namun lebih dari itu, sebentuk opini yang diterakan di atas potret sosial.
Namun demikian, tidak dengan serta-merta gubahan kreatif mereka merupakan garis ideologi kreatif para seniman ini. Misalnya, kita tidak bisa secara otomatis menyebut karya mereka sebagai karya dengan ideologi realisme sosialis seperti yang diperkenalkan oleh Georg Lukacs puluhan tahun lalu, yang antara lain menghasratkan kehadiran karya seni dalam kerangka untuk membangun argumentasi agar perspektif karya seni mampu mengatasi konsep fethisistik subyek yang acapkali memblokir lahirnya kesadaran kritis manusia.
Bagi saya, karya para seniman ini bagai potongan perca-perca yang berisi narasi-narasi kecil yang mampu mengisahkan hasrat keindonesiaan kita dalam cara yang (bisa jadi) berbeda. Dari sinilah sebenarnya kita bisa belajar banyak bahwa tiap seniman, atau tiap orang bisa menciptakan sejarahnya masing-masing. Atau bahkan narasi-narasi kecil semacam ini mampu dijadikan sebagai alternatif untuk membangun sejarah bangsanya, di luar hal serupa yang dikonstruksi oleh negara. Sejarah bisa dibuat oleh siapa saja!
Kuss Indarto, kurator seni rupa.
Kisah (sejarah) besar bisa muncul dari sesuatu yang bukan apa-apa
Sejarah adalah (salah satu) cara untuk mengekalkan, membingkai, dan memberi perspektif atas sebuah peristiwa yang telah lampau. Peristiwa tersebut tidak sekadar dirangkai dalam deret ukur waktu atau kronologi, namun lebih dari itu, di dalamnya ada praktik kuasa yang secara implisit maupun eksplisit mendasari kenapa sebuah peristiwa itu terjadi, bersama jalinan pemikiran, latar belakang, dan dampak yang secara post-factum terjadi.
Tak mengherankan kalau kemudian orang Barat dengan sinis menyatakan bahwa sejarah belum tentu berarti history, namun juga berkemungkinan menjadi sebuah his story, karena perspektif dan praktik kuasa yang mengemuka dalam sebuah “sejarah” tadi. Ini kentara, misalnya, pada jaman Orde Baru di bawah rezim Soeharto yang sempat melansir istilah “sejarah resmi” karena dikeluarkan secara formal oleh lembaga resmi dalam struktur negara. Istilah tersebut dengan tegas memberi batas bahwa (seolah) seluruh teks sejarah yang dinyatakan sebagai “sejarah resmi” merupakan versi paling benar dan sahih untuk dikonsumsi oleh publik, dan semua sumber di luar negara berarti “tidak resmi”. Di sini ada upaya untuk memobilisasi massa guna memberi pembenaran (yang tunggal) bahwa sejarah yang benar adalah versi “sejarah resmi” yang dikeluarkan oleh negara, meskipun di dalamnya banyak berkutat praktik his story. Maka, selama puluhan tahun masa pemerintahan Orde Baru, banyak narasi sejarah yang membesarkan dan bahkan cenderung mengultuskan sosok Soeharto sebagai superhero dalam perjalanan kebangsaan Indonesia mulai masa kemerdekaan.
Realitas ini, apa boleh buat, tak bisa ditolak sepenuhnya karena dalam (ilmu) sejarah, setidaknya dalam pandangan Friedrich Nietzsche, ada tiga pendekatan untuk menuliskan sejarah. Yang pertama adalah pendekatan monumental, yang dilakukan untuk memusatkan perhatian pada kebesaran-kebesaran dan kelangkaan monumental di masa lampau. Pendekatan ini bisa mendorong orang untuk menciptakan hal-hal besar, namun juga bisa mengancam siapa saja dari jaman sekarang, sejauh itu tidak termasuk dalam model kebesaran yang mereka bayangkan. Sejarah monumental bisa melahirkan bentuk-bentuk budaya besar bagi sekelompok orang namun juga bisa mengakibatkan vandalisme bagi kelompok lain.
Hal kedua adalah pendekatan antikuarian, yakni sejarah yang ditulis untuk mencari asal-usul identitas seseorang atau kelompok dari masa lampau. Sejarah antikuarian muncul karena obsesi sekelompok orang untuk melindungi dan menghormati siapa saja yang dianggap sebagai sumber identitas atau asal-usul kelompok/seseorang. Dengan demikian, sejarah antikuarian mempunyai fungsi untuk menciptakan identitas, ke arah mana masa depan harus dijalankan.
Dan pendekatan ketiga adalah pendekatan kritis. Dua pendekatan pertama di atas tidak bisa dikatakan sebagai kritis karena keduanya pada dasarnya takut dengan penilaian. Dengan mengadakan penilaian terlalu jeli tentang masa lampau orang bisa saja tidak bangga atau justru kehilangan identitas. Pendekatan kritis dipakai justru untuk membebaskan orang jaman sekarang dari beban sejarah. Sejarah ini diikuti oleh mereka yang memandang masa lampau sebagai sesuatu yang membebani dan—oleh karena itu—mereka ingin membebaskan diri dari masa lampau dengan cara menilainya kembali.
Dalam kerangka pandang yang serupa, saya kira, rentetan karya dalam pameran ini bisa dimaknai secara lebih meluas sebagai rentetan teks visual yang mencoba menarasikan “sejarah” dalam pendekatan kritis. Puluhan karya lukis yang dibingkai dalam Narration on a Nation sekadar sebuah cermin kecil untuk memberi dan menciptakan tengara (sign) atas rentetan persitiwa yang potensial dicatat sebagai “sejarah”.
Memang, apa yang tersaji dalam teks visual para perupa di sini bukanlah berangkat langsung dari realitas faktual, namun lebih sebagai upaya mengimajinasikan kembali realitas-realitas yang berlangsung di seputar diri seniman, dan kemudian dibubuhi dengan kesadaran kritis untuk kemudian menjadikan karya mereka menjadi “realitas imajinatif”. Artinya, karya yang terpampang dalam pameran ini merupakan sintesis (kecil) dari kerangka pandang seniman atas realitas sosial yang dipadu dengan pendekatan kritis. Seniman tidak sekadar menjadi saksi atas realitas yang kemudian menterjemahkan kembali apa adanya di atas kanvas, namun juga memberikan penilaian kritis dengan subyektivitas dan kritisisme mereka.
Maka yang menyeruak dalam karya adalah deretan kisah-kisah atau narasi-narasi kecil yang menyoal problem personal yang berkait dengan problem kebangsaan, atau bahkan juga ada yang secara heroik menyoal pembacaan seniman terhadap problem negara-bangsa. Narasi-narasi kecil ini tentu saja sangat mungkin bisa dibaca sebagai sebentuk sikap mereka dalam meneropong kehidupan kebangsaan pada situasi kekinian. Karya mereka bukanlah sekadar potret, namun lebih dari itu, sebentuk opini yang diterakan di atas potret sosial.
Namun demikian, tidak dengan serta-merta gubahan kreatif mereka merupakan garis ideologi kreatif para seniman ini. Misalnya, kita tidak bisa secara otomatis menyebut karya mereka sebagai karya dengan ideologi realisme sosialis seperti yang diperkenalkan oleh Georg Lukacs puluhan tahun lalu, yang antara lain menghasratkan kehadiran karya seni dalam kerangka untuk membangun argumentasi agar perspektif karya seni mampu mengatasi konsep fethisistik subyek yang acapkali memblokir lahirnya kesadaran kritis manusia.
Bagi saya, karya para seniman ini bagai potongan perca-perca yang berisi narasi-narasi kecil yang mampu mengisahkan hasrat keindonesiaan kita dalam cara yang (bisa jadi) berbeda. Dari sinilah sebenarnya kita bisa belajar banyak bahwa tiap seniman, atau tiap orang bisa menciptakan sejarahnya masing-masing. Atau bahkan narasi-narasi kecil semacam ini mampu dijadikan sebagai alternatif untuk membangun sejarah bangsanya, di luar hal serupa yang dikonstruksi oleh negara. Sejarah bisa dibuat oleh siapa saja!
Kuss Indarto, kurator seni rupa.