Memanah



Dalam seminggu terakhir telah beredar secara berantai--dan viral--sebuah video bersejarah yang bertajuk "Kabinet Pertama RI (Republik Indonesia) Terbentuk". Video berdurasi 3:33 menit ini diiringi lagu Indonesia Raya 3 stanza. Lengkap, seperti yang diciptakan dulu oleh violis kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, Wage Rudolf Soepratman.
Hal yang menarik bagi saya adalah terpampangnya sebuah lukisan berukuran 153 x 153 cm pada bagian dinding paling strategis dalam ruangan bersejarah pada rumah di Jalan Pegangsaan Timur nomer 56, Jakarta itu. Di halaman rumah itulah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan. Coba simak video tersebut (saya sertakan dalam status ini) pada menit 1:16 hingga 1:45, lalu bersambung pada menit 2:00 hingga 2:05, dan 2:25 menuju 2:28. Belum saya ketahui secara persis, Sukarno dan para anggota kabinet pertama RI tersebut duduk-duduk saat menjelang acara pelantikan atau sesudahnya, menjelang konferensi pers, atau momen apa. Belum ada keterangan.
Meski masih dalam format hitam-putih, namun video itu cukup jelas memperlihatkan lukisan bertajuk "Memanah" yang berada di belakang kepala Sukarno, Mochamad Hatta dan petinggi negara RI yang baru merdeka pada hari Jumat, 17 Agustus 1945. Lukisan itu karya Henk Ngantung. Hendrik Joel Hermanus Ngantung nama lengkap seniman itu.
Lukisan "Memanah" dibuat pada tahun 1943 dengan medium tripleks dan menggunakan cat minyak. Pada sebuah pameran besar di Jakarta yang dihelat oleh Keimin Bunka Sidosho (pusat kebudayaan buatan penjajah Jepang) pada tahun 1944, "Memanah" ikut di dalamnya. Waktu itu Sukarno sempat menyaksikan pameran tersebut dan tertarik pada lukisan Henk Ngantung.
"Lukisan bagus. Ini sebuah simbol bangsa Indonesia yang terus, terus, dan terus bergerak maju. Paulatim longius itur!" kata Bung Karno.
Begitu pameran selesai, diam-diam Sukarno pergi menyambangi Henk di studionya. "Aku ingin membeli lukisan itu," kata Sukarno. "Untuk Sukarno saya dapat hadiahkan lukisan itu. Tapi saya juga perlu uang," ujar Henk Ngantung. Seniman muda ini (waktu itu Henk berusia 23 tahun, dan Sukarno 43 tahun) mengatakan bahwa lukisan itu sebetulnya belum selesai seperti yang dia harapkan. Ada bagian yang belum sempurna, yakni bagian lengan. Dia mengatakan bahwa untuk menyelesaikannya harus ada seorang model. Saat itu belum ada model.
"Aku, Sukarno akan jadi model," seru Sukarno.
Henk terhenyak. Dia tak bisa menolak. Maka, saat itulah dilukisnya Sukarno untuk menuntaskan lukisan "Memanah". Dalam rentang waktu setengah jam proses memperbaiki bagian lengan usai sudah. Dengan segera lukisan itu dibawa sebagai koleksi karya seni Bung Karno.
Tidak diketahui secara persis berapa harga lukisan tersebut ditransaksikan. Namun selanjutnya karya itu menjadi salah satu koleksi Istana Kepresidenan RI. Pada titik ini ada hal yang unik, yakni bahwa Sukarno kadang "sulit" membedakan dan memposisikan diri sebagai seorang kolektor karya seni dan sebagai pejabat presiden. Banyak karya seni rupa diorder dan dikoleksi atas nama pribadi namun kemungkinan dilunasi dengan dana pemerintah atau sebagai pejabat presiden. Begitu juga sebaliknya, tidak sedikit karya seni yang dikoleksi dengan dana pribadi namun kemudian diatasnamakan sebagai milik negara.
Lukisan "Memanah" adalah salah satu contohnya. Lukisan ini dibeli tahun 1944 ketika Sukarno belum menjadi presiden. Demikian pula dengan Monumen Dirgantara yang lebih populer dengan nama Tugu Pancoran. Pematungnya, almarhum Edhie Soenarso sempat menyatakan bahwa karya tersebut akhirnya dituntaskan dengan dana pribadi si seniman sendiri karena ketika proses pembuatan patung sedang berjalan pemerintahan Sukarno jatuh. Dan dana dari pemerintah (orde baru) makin seret mengalir untuk penuntasan karya karena Sukarno meninggal tak lama kemudian.
Sebelumnya Sukarno mencoba melunasi dengan menjual sebuah mobil VW kodok yang kala itu laku Rp 1.000.000,-. Tugu Pancoran akhirnya dilunasi oleh putri sang pengorder, yakni Megawati Sukarno Putri, saat dia menjadi presiden RI antara 2001-2004.
Karya "Memanah", setelah berusia puluhan tahun, tidak tahan oleh gerusan waktu dan cuaca. Apalagi materialnya "hanya" tripleks yang kemudian keropos dan nyaris rusak sama sekali. Maka kemudian dibuatkan replikanya yang terbuat dari kanvas, dilukis oleh seniman Haris Purnomo (lulusan STSRI "ASRI", sekarang FSR ISI Yogyakarta), dan antara lain dipamerkan untuk masyarakat luas pada 1-31 Agustus 2017 lalu di Galeri Nasional Indonesia.
Lantas, siapakah Henk Ngantung si pelukis "Memanah" itu? Banyak catatan yang menyatakan bahwa dia anak keturunan Minahasa yang lahir di Bogor pada 1 Maret 1921. Namun sejak kecil diboyong ke Tomohon, Sulawesi Utara, hingga pada tahun 1937 (saat usia 16 tahun) memulai merantau ke Bandung. Ayahnya seorang tentara KNIL (tentara pemerintahan Hindia Belanda) berpangkat fourier atau bintara, Arnold Rori Ngantung. Sedang ibunya bernama Maria Magdalena Ngantung Kalsun.
Dia tidak pernah belajar seni rupa di bangku akademis, namun pada para akademisi Barat yang menetap di Bandung, yakni Prof. Rudolf Wenghart dan Prof. Wolf Schoemaker dari Austria. Setelah sekitar 3 tahun di Bandung, Henk berpindah ke Jakarta tahun 1940 dan menggabungkan diri dengan Bataviasche Bond van Kunstkringen atau asosiasi seniman Batavia). Saat Belanda terusir oleh Jepang, Henk bergabung dengan lembaga kebudayaan bentukan Jepang, Keimin Bunka Sidosho.
Dasawarsa 1950-1960 aktivitasnya meningkat seiring dengan pergaulannya yang meluas. Dia terkait dengan Lekra atau Lembaga Kebudayaan Rakyat. Pergerakan budaya dan politik diikuti dengan giat, hingga puncaknya berbuah pada pencapaiannya sebagai birokrat di Jakarta: sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi perwira TNI AD, Kolonel Dr. Soemarno sebagai gubernur.
Lalu bersambung menjadi pejabat gubernur mulai 17 Oktober 1964 saat Soemarno (yang pada tahun 1964 telah naik pangkat menjadi Mayjen) berganti jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri. Namun posisi Henk Ngantung sebagai gubernur hanya dijabat selama 9 bulan. Sukarno dikabarkan tidak cocok dengan cara kerja Henk, dan diberhentikanlah secara resmi pada 14 Juli 1965. Mayjen Soemarno ditarik kembali jadi gubernur. Sementara Henk diperbantukan pada Menteri Sekretaris Negara.
Setelah pemerintahan Sukarno jatuh, nasib Henk pun ikut runtuh. Pada tahun-tahun terakhir hidupnya dia bersama istri tercintanya, Hetty Evelyn Mamesah atau Evie, terimpit oleh kemiskinan. Rumahnya di pusat kota terpaksa dijual untuk menyambung hidup dan untuk membeli pondok kecil di gang sempit di bilangan Cawang, Jakarta Timur. Di situlah Henk berpulang ke haribaan pada 12 Desember 1991. Monumen Nasional, Tugu Selamat Datang dan sekian banyak capaian monumental yang dia ikut terlibat menggagasnya saat menjabat Wagub dan Gubernur DKI Jakarta telah jadi kenangan abadi bagi publik.
Tetaplah mulia, Para Pahlawan Bangsa!

17 Agustus 2020
(Beberapa bagian pada catatan ini saya kutip dari buku "Henk Ngantung: Saya Bukan Gubernur PKI" (2017), tulisan Obed Bima Wicandra)

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Apa Itu Maestro?