Lukisan Order Raden Saleh



“Javanese Temple in Ruins” (Reruntuhan Candi Jawa) yang dilukis oleh Raden Saleh Syarief Boestaman tahun 1860. 

Saya terpaku cukup lama di depan lukisan ini: “Javanese Temple in Ruins” (Reruntuhan Candi Jawa). Lukisan karya Raden Saleh Syarief Boestaman ini berukuran 105,4 x 187 cm, dibuat tahun 1860. Banyak hal yang membuat saya terpaku di situ, di National Gallery Singapore, akhir Januari lalu. Pertama, lukisan ini eksotik. Dilukis saat Raden Saleh berusia 49 tahun, memperlihatkan kematangannya sebagai pelukis, apalagi setelah bertahun-tahun berproses di Eropa. Karya ini tergarap detil, terlihat pengaruh guru lukis lanskapnya, Andreas Schelfhout—begitu kuat. Pun dengan pencahayaannya yang seolah dibuat dengan kesadaran ketika hidup di Eropa: langit dan tanah yang temaram meski bayang-bayang benda menunjukkan suasana tengah hari. Ini tak lepas dari pengaruh para seniman Perancis yang dikaguminya, Horace Vernet dan Eugene Delacroix.

Kedua, lukisan ini nyaris tidak banyak dibicarakan, atau dipamerkan keliling, atau keluar-masuk balai lelang. Bahkan dalam pameran "Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia" yang digelar pada 3-17 Juni 2012 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, karya ini sama sekali tidak dipamerkan atau disebut-sebut. Ternyata betul, selama 92 tahun karya ini “ngumpet” di Smithsonian Art Museum, Amerika Serikat.

Ketiga, kondisi karya ini—meski sudah berusia 158 tahun—masih terlihat jelas sangat bagus, bersih, dan tampak seperti baru. Ini, maaf, beda jauh dengan kondisi lukisan yang disebut-sebut sebagai karya puncak Raden Saleh, “Penaklukan Diponegoro” yang sudah memprihatinkan. Saya menyaksikan “Penaklukan Diponegoro” pada Agustus 2016 saat dipamerkan (kembali) di Galeri Nasional Indonesia. Sudah banyak garis-garis retak pada pigmen warnanya, juga kemungkinan jamur pada beberapa bagian di permukaan cat dan kanvas. Ada banyak kemungkinan kenapa kondisinya seperti itu. Mungkin betul-betul tidak dirawat dengan benar. Atau, mungkin juga kondisi alam. Indonesia yang tropis dengan kelembaban tinggi memungkinkan lukisan kanvas berpotensi cepat menjamur. Di negara subtropis dengan suhu rendah (di bawah 20 derajat Celcius) memungkinkan kondisi kanvas relatif awet. Beda dengan di Indonesia yang bersuhu di kisaran 27 derajat Celcius (atau lebih sering di atas angka itu). Lukisan “Penaklukan Diponegoro” jelas membutuhkan perangkat teknologis seperti AC terus-menerus untuk membantu menjaga keawetannya.

Keempat, lukisan ini menyimpan banyak cerita, mulai dari prosesnya hingga perjalanan panjangnya setelah dibuat. Saya ingin sekilas menceritakan kembali perihal lukisan ini, meski sebenanya sudah diulas dengan bagus oleh mas Amir Sidharta (kurator Museum Lippo/Museum Universitas Pelita Harapan) di harian Kompas, Sabtu, 3 Februari 2018 lalu. Juga telah ditulis oleh Russel Storer (dengan narasumber Marie-Odette Scalliet) dalam buku katalog pameran “Between World: Raden Saleh and Juan Luna” (2017). Saya ingin meringkasnya untuk merunut perjalanan karya tersebut.

Lukisan “Javanese Temple in Ruins” (Reruntuhan Candi Jawa) dipesan oleh Alexander Fraser (1816-1904) pada akhir dasawarsa 1850-an. Pengusaha asal Aberdeen, Skotlandia ini sukses berbisnis di Hindia Belanda. Fraser memesan 4 lukisan yang bertema tentang pemandangan tanah Jawa, dengan ukuran lukisan sama semuanya. Satu lukisan dihargai 1.000 gulden. Ini harga yang sangat tinggi, misalnya bila dibandingkan dengan tunjangan bagi Raden Saleh dari pemerintah Hindia Belanda yang setahunnya sebesar 2.400 gulden.

Dua dari 4 lukisan pesanan Fraser dipamerkan di National Gallery Singapore antara 16 November 2017 hingga 11 Maret 2018. Lukisan lain selain “Javanese Temple in Ruins” (Reruntuhan Candi Jawa) berjudul “Six Horsemen Chasing Deer” (Enam Penunggang Kuda Mengejar Rusa). Keduanya bertarikh 1860. Apakah order 4 lukisan itu semua diselesaikan oleh Raden Saleh dalam setahun? Mungkin saja.

16 Februari 1879 istri (pertama) Fraser, Julia Hermina van Citter, meninggal. Tahun itu juga Fraser memutuskan untuk pulang ke Eropa, persisnya ke London, Inggris. Setahun berikutnya, 1880, Fraser menikahi seorang janda muda, namanya Emma Augusta Blackman, di Massachuset, Amerika Serikat. Selisih usia mereka terpaut 31 tahun. Mereka pertama kali berkenalan saat sama-sama menetap di Jawa. Pasangan Fraser-Emma kemudian menetap di London. Fraser meninggal tahun 1904 dalam usia 88 tahun.

Emma sendiri meninggal 20 tahun kemudian, 11 Oktober 1924. Banyak harta benda, termasuk 4 lukisan Raden Saleh, diwariskan kepada Roland Burbank Swart. Roland adalah anak Sally Burbank Swart atau cucu salah satu kerabat Emma yang bernama Caroline Blackman. Oleh Roland, warisan karya seni itu diberitahukan kepada seseorang yang dikenal sebagai Miss Abbot. Dia adalah adik kandung Dr. William L. Abbot, seorang kolektor benda etnologis dan spesimen biologis, terutama dari Asia Tenggara, juga pendukung utama dalam pengembangan koleksi Museum Nasional Amerika Serikat. Dr. William L. Abbot pun kemudian menghubungi Sekretaris Smithsonian, Dr. Charles D. Walcott. Kira-kira pada tahun itu juga akhirnya 4 lukisan warisan Alexander Fraser masuk menjadi koleksi institusi Smithsonian di Washington DC, Amerika Serikat.

Jadi, lukisan “Javanese Temple in Ruins” (Reruntuhan Candi Jawa), “Six Horsemen Chasing Deer” (Enam Penunggang Kuda Mengejar Rusa), dan 2 lukisan lain garapan Raden Saleh itu sudah melanglang buana karena situasi seperti yang saya ceritakan sekilas di atas. Antara tahun 1860 hingga 1879 ada di Jawa (Jakarta?), 1879-1924 berada di London, dan mulai 1924 hingga seterusnya berada di Washington DC. Selama November 2017 hingga Maret 2018 dipinjamkan di Singapura. Apakah dia akan mampir uga ke “tanah kelahirannya” di Jawa? Rasanya tidak mudah mewujudkan hal itu. Apalagi bila akan menetap lama seperti lukisan “Penaklukan Diponegoro”. Pasti nasibnya akan serupa: tak terawat, jamuran, dan mungkin “menemu ajal”.

Bagi saya, ada hal menarik lainnya dari karya raden Saleh ini, yakni harga ordernya. Fraser memberi nilai order sebesar 1.000 gulden pada tahun 1860, dan dianggap sebagai harga yang sangat tinggi. Saya mencoba merunut seberapa besar angka itu pada masa lukisan tersebut dibuat. Pada sebuah karya skripsi berjudul “Produksi dan Perdagangan Beras di Sulawesi Bagian Selatan di Akhir Abad ke-19” tulisan Nurlaelah Muhlis yang diajukan pada Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Hasanudin, Makassar (2013), saya menemukan hal yang kemungkinan bisa dijadikan sandaran. Di situ tertulis bahwa harga beras pada tahun 1886 fluktuatif antara 4-8 gulden per pikul. Satu pikul sama dengan 60,479 kg. Jika memiliki uang 1.000 gulden dengan harga beras per pikul 4 gulden, maka 1.000 gulden dapat dibelikan sebanyak 250 pikul. Jika 1 pikul = 60,479 kg, maka 250 pikul = 15.119 kg. Jika dikonversi dengan harga beras hari-hari ini sekiatr Rp 10.000/kg, maka 15.119 kg x Rp 10.000 = Rp 151.190.000.

Ya, satu lukisan Raden Saleh pesanan Fraser tadi sekitar Rp 151.190.000 (seratus lima puluh satu juta seratus Sembilan puluh ribu rupiah). Untuk angka-angka ini, tentu, jangan terlalu dipercaya. Ini hanya hitung-hitungan acak, asal, tanpa memperhitungkan aspek lain seperti laju inflasi, dan lainnya. Ini hanya pembanding yang cukup ngawur, haha…

Dan nilai karya seni tentu beda urusannya dengan laju perkembangan harga beras. Kita bisa melihat salah satu faktanya sekarang. Sabtu, 27 Januari 2018 lalu, salah satu lukisan Raden saleh, “La Chasseau Taureau Sauvage” atau “Perburuan Banteng” laku terjual senilai 8,9 juta euro atau sekitar Rp149,6 miliar di rumah lelang di Kota Vannes, Prancis. Inilah lukisan termahal seniman Indonesia yang pernah terjual (di rumah lelang). Dan pembelinya pun orang Indonesia, meski dirahasiakan namanya. Gosipnya sih orang Surabaya dan juragan rokok. Silakan menduga. ***

Popular posts from this blog

Memanah

Apa Itu Maestro?