Trap[esium]: Upaya Membangun Isu
(Foto bareng setelah pembukaan pameran Trap[esium] di Edwin Galerry, 15 Januari 2009. Dari kiri: mas Agus "Oon" Dwisulistyono, Erianto ME, mas Suwarno Wisetrotomo, pak Edwin Rahardjo, papan tulis, Romi Armon, Albara, (?), Kuss Indarto, Roberta Wachjo, Alvin Tjitrowirjo. Tulisan di bawah ini telah dimuat dalam katalog pameran tersebut)
Oleh Kuss Indarto
TANAH yang membasah tampak tersisa tatkala pesawat Boeing milik Garuda Indonesia yang saya tumpangi landing di bandara Tabing di pinggiran kota Padang. Atap bagonjong khas Minangkabau pada bangunan bandara bagai ramah menyambut. Wah, Ranah Minang telah menyediakan panorama alam nan amboi! Bandara itu begitu mungil dan dikepung permukiman padat, sebelum dipindahkan tahun 2005 di bandara yang baru dan megah di bibir pantai yang berhimpit dengan Samudera Hindia, di kabupaten Pariaman.
Kala itu, pertengahan Januari 2002, tujuh tahun lampau, saya berkesempatan untuk memulai melakukan survei seni rupa di Ranah Minangkabau. Yayasan Seni Cemeti (sekarang Indonesia Visual Art Archive, IVAA) dan Hivos Foundation (Belanda) menjadi sponsor proyek tersebut. Dan dalam tempo dua bulan itu, beberapa kota sempat saya singgahi, terutama Padang, Padang Panjang, Bukitinggi, dan Payakumbuh. Juga kawasan lain yang masuk dalam wilayah administratif Padang Pariaman, semisal Kayutanam.
Puluhan seniman, calon seniman atau pengamat seni budaya dari beragam generasi dan latar belakang saya temui. Ada yang janjian untuk bersua di rumah mereka yang merangkap sebagai studio, atau di kamar kos yang tersembunyi di ujung gang-gang sempit yang becek namun homy, di sekolah, di kampus, di Taman Budaya Sumatra Barat, hingga di lapai makan, sesuai kebutuhan situasional dan kesepakatan sebelumnya. Situasi penuh kekariban menjadikan saya tak begitu sulit untuk mengorek sebanyak mungkin setiap informasi yang saya butuhkan ihwal jagad seni rupa di kawasan itu. Mereka tak ubahnya seperti sahabat dan saudara yang seolah telah lama tak saling mengunjungi. Sebagian besar dari mereka sangat kooperatif hingga memudahkan praktik kerja survei.
Dan di sela kekariban kami itu, di ujung akhir waktu survei, saya membuat sebuah perhelatan pameran seni rupa di Galeri Sarasah. Mungkin itu galeri pertama di Sumatra Barat. Ada risiko di situ karena pada pameran bertajuk Geliat Seni Rupa Sumatra Barat itu, saya memberlakukan pola seleksi yang oleh beberapa pihak dianggap “tidak sopan”, karena banyak meloloskan seniman muda “yang belum teruji” dan “menyingkirkan” seniman-seniman senior yang selalu menjadi pelanggan hampir semua pameran (penting) di Sumatra Barat. Seniman-seniman yang muncul pada pameran tersebut, beberapa di antaranya juga terlibat sebagai peserta pada pameran Trap[esium] ini.
Pemetaan Awal
DARI survei singkat sepanjang dua bulan itu, akhirnya, saya memberi semacam hipotesa awal yang terdedahkan dalam beberapa poin yang kiranya, kala itu, bisa mengawali untuk memetakan (secara global) persoalan seni rupa di Sumatra Barat.
Pertama, masih menguatnya puritanisasi wacana. Tak banyak ditemukan pembaruan wacana yang berkembang di komunitas seni rupa Sumbar, selain ketatnya mereka – terutama perupa senior – dalam merawat romantisme masa lalu yang tak lagi cukup fleksibel dan sensibel diterapkan dalam konteks kekinian. Perbincangan perihal karya lukis yang baik dan ideal masih berputar-putar pada lukisan naturalistik dan realistik. Atau kaligrafi yang dikukuhi nyaris tanpa inovasi kecuali oleh mereka yang pernah mengecap pendidikan formal kesenian di di kota lain, terutama di Yogyakarta.
Kedua, mengentalnya gejala dogmatisasi teknik. Ini masih bertautan dengan hal pertama, yakni pengartikulasian wacana yang mandek. Bagi banyak perupa di Sumbar, upaya pencapaian visual yang diejawantahkan pada kanvas masih cukup konvensional, belum eksploratif. Kalau toh sudah dilakukan oleh beberapa generasi muda, masih kental nuansa imitasi terhadap kecenderungan seniman Minang yang sekarang hijrah ke Yogyakarta.
Ketiga, masih kentara adanya dominasi patronase. Pola-pola patronase masih terlihat dari pola relasi antara senior dan yunior, baik dalam relasi sosial maupun relasi struktural pada lembaga kesenian atau lembaga pendidikan kesenian. Ini berdampak pada out-put yang terlihat pada hampir tiap perhelatan pameran sebagai salah satu cerminnya. Sosok Wakidi masih kuat sebagai patron yang direproduksi oleh yuniornya dengan pola patron-klien.
Keempat, lengangnya apresiasi. Bagi saya, bentuk apresiasi untuk konteks ini adalah "apresiasi kritis" dan "apresiasi pasar". Perupa atau masyarakat seni rupa di Sumbar belum cukup kuat terbentuk sehingga sistem jaringan yang mempertautkan mereka dengan masyarakat yang lebih luas belum terbangun. Seniman berbuat sendiri tanpa bisa menciptakan citra atas apa yang telah diperbuatnya, karena tak ada mediator pencitraannya. Demikian juga soal kolektor, nyaris sepi karena memang belum ada titik integral yang mempertautkan antara seniman dan pasar.
Pemetaan masalah itu, meski masih dalam kerangka yang masih global, kiranya bisa menjadi kunci awal untuk menggulirkan isu-isu yang lain berikut serangkaian kemungkinan upaya solutif. Apapun, itulah penggalan realitas seni rupa di Sumatra Barat yang bisa terbaca (sekilas) waktu itu.
Gejala Perkembangan
KINI, setelah tujuh tahun waktu berselang, adakah banyak perubahan, atau setidaknya pergeseran situasi pada jagad seni rupa “anak-anak Minang”, baik yang di “kampung” dan yang di “rantau”? Bagaimana relasi antar keduanya dalam proses kreatif, apakah ada keterpautan yang saling mempengaruhi satu sama lain? Kalau toh ada perubahan atau pergeseran yang terjadi, faktor apa sajakah yang membuat hal itu tejadi?
Time will tell. Dan sang waktu telah bergerak mengiringi perjalanan kanvas para perupa ini menjelajahi perkembangan yang hendak dibentuknya. Dalam perhelatan Trap[esium] ini, ada 17 nama perupa Minang yang berproses di Sumatra Barat, dan 12 lainnya yang meyakini jalan pilihan kesenimanannya dengan studi dan menetap di kota Yogyakarta.
17 nama seniman yang bergelut dan “berdarah-darah” dalam berkesenian di “kampung” Ranah Minang ini menarik untuk diketengahkan karena setidaknya dalam kurun 2-3 tahun terakhir ini mereka tak lagi sekadar menjadi “jagoan kandang”. Beberapa perhelatan di luar wilayah Sumatra Barat dengan skala yang cukup penting (dalam perspektif tertentu) telah mulai menyerap nama-nama mereka. Sosok seperti Zirwen Wira Hazry, Herismen Tojes, Amrianis, Iswandi, Nasrul, Dwi Agustyono, Romi Armon, dan lainnya, adalah nama-nama yang mulai mencuri perbincangan publik seni rupa tatkala mengharuskan menyebut nama-nama seniman asal “kampung” Minangkabau. Mereka mulai memiliki eksistensi yang tidak lagi sangat timpang kalau kita mencari perimbangan antara yang di “kampung” dan yang di “rantau”. Memang seniman yang berproses di “rantau” masih berada di garis depan dalam masalah eksistensi dan pencapaian estetik. Namun mereka yang di “kampung” telah memberi progres yang tak kalah berarti pula. Tentu dengan batas-batas standar mereka.
Gejala perkembangan seniman yang di “kampung” ini, saya kira, dapat ditengarai kemungkinan muasalnya dalam beberapa soal.
Pertama, dikuatkan oleh spirit berkomunitas. Dalam beberapa tahun terakhir, dalam pengamatan saya (yang terbatas), ada dua kekuatan (komunitas) penting yang bergerak mendinamisasi jagad seni rupa di Sumatra Barat, yakni Kelompok Pentagona dan Komunitas Seni Belanak. Pentagona merepresentasikan kelompok seniman (semi)-senior dan relatif “mapan” karena sebagian dari mereka terdiri dari guru seni rupa atau PNS. Motornya antara lain Herisman Tojes. Sedang Belanak seperti mewujud sebagai bagian penting dari pergerakan seni rupa anak muda. Romi Armon atau Irwandi adalah salah satu penggiat yang militan di dalamnya. Spirit berkomunitas ini sedikit banyak memberi imbas positif karena telah menjadi forum penting bagi pergulatan kreatif sekaligus ruang pergesekan pikiran kesenian mereka. Output-nya, tentu, semangat untuk melakukan pembaruan terus-menerus.
Pola serupa tentu saja juga menghinggapi para perupa Minangkabau di Yogyakarta. Mereka telah lama membentuk komunitas besar dengan kohesi etnisitas bernama Sakato. Di luar itu, telah ada nama komunitas yang telah mapan secara eksistensial juga pada pencapaian estetiknya, yakni Kelompok Jendela. Ada pula bentukan komunitas lain yang menemukan kekuatannya karena mengasah diri secara komunal, seperti Genta, Semut, dan nama-nama lain. Atau “komunitas” kecil lain yang tanpa nama.
Kedua, terbangunnya jejaring kerja kesenian. Berkait dengan poin pertama, komunitas telah dijadikan “perangkat” yang urgen untuk membangun jalinan komunikasi dan kerjasama dengan komunitas seni rupa di belahan wilayah lain. Komunitas Belanak, saya kira, banyak memanfaatkan jejaring kerja (networking) sebagai isu besar dalam mematangkan geliat mereka dalam menggeser pola kreatif sebelumnya. Dengan jejaring kerja, mereka tak lagi menggantungkan sepenuhnya, misalnya, Taman Budaya Sumatra Barat atau ruang mainstream lain (yang “selektif” dan dianggap hanya “dikuasai” oleh para senior) sebagai satu-satunya pilihan untuk mempresentasikan karya mereka di ruang publik. Dengan jejaring kerja pula, anak-anak Minang ini bisa menembus Jakarta, Bandung, Yogyakarta, atau kota lain untuk mengeksposisikan karya sekaligus melakukan re-kreasi karena gesekan yang kuat dengan komunitas lain yang lebih berkembang dan relatif baru cara pandang berkeseniannya. Bentuk-bentuk kreatif merekapun mulai meluas dengan tak lagi memusat pada lukisan sebagai satu-satunya pilihan berpraktik seni.
Ketiga, hiruk pikuknya pasar seni rupa dalam booming seni rupa dua tahun terakhir ini (dan akhir-akhir ini telah menunjukkan sentimen menyurut atau negatif), telah menggelembungkan kebutuhan akan karya seni (lukis) yang begitu berlipat. Tanpa mengurangi rasa apresiasi yang dalam terhadap daya hidup mereka dalam berkesenian selama ini, saya juga melihat bahwa di luar perkara itu, ada kekuatan di luar mereka yang “tiba-tiba” cukup bergelombang menghampiri, yakni pasar. Kekuatan besar ini boleh dikatakan bersifat struktural karena tidak hanya terjadi di Jakarta, Bandung, Yogyakarta atau Bali, namun juga telah menyentuh di relung kota “kecil” seni rupa, termasuk Padang. Mereka telah dirambah pasar seni rupa sebagai bagian dari konsekuensi atas kebutuhan yang meluap akan pilihan-pilihan karya dan kelompok kreatif lain di luar kota-kota penting seni rupa di atas.
Bukan Representasi
KALAU kemudian dalam pameran ini kita lihat puluhan karya kreasi dari 29 seniman Minang dari “kampung” dan “rantau”, dapatkan ini dibaca sebagai sebuah representasi utuh dari geliat perkembangan seni rupa anak-anak Minangkabau? Jelas tidak. Di sini, tak banyak seniman “bintang” yang selalu dikaitkan sebagai bagian yang paling melekat dari sebuah perkembangan terkini. Namun justru dari ketiadaan aspek tersebut, pameran ini menjadi memiliki makna yang lain. Artinya, aspek representasi yang utuh atau bertaburnya para seniman “bintang” belum tentu secara serta-merta akan menjamin menghadirkan isu yang besar, menarik, dan brilian. Masih penuh relativitas.
Pameran Trap[esium] ini dapat disikapi sebagai upaya untuk membuat kemungkinan konstruksi isu atas mengaburnya “batas-batas” antara output seniman dari “kampung” dan “rantau”. Keduanya relatif telah tidak lagi timpang dalam pencapaian teknis, jagad gagasan, dan jangkauan imajinasinya.
Nama-nama seperti Zirwen Hazry, Herisman Tojes, Amrianis, juga Iswandi atau Irwandi dan lainnya yang berposes di “kampung”, kini tak lagi berseberangan begitu jauh dengan Gusmen Heriadi, Tommy Wondra, Masriel, Deskhairi, dan lainnya, yang berproses di “rantau”. Mereka yang di “rantau” memang mengalami perkembangan kreatif yang pesat setelah menempuh studi di ISI Yogyakarta berikut kampus pergaulan bumi Yogyakarta yang penuh kompleksitas. Namun, bagi mereka yang di “kampung” masih memiliki peluang untuk tetap mengejar atau mendekati pencapaian kreatif rekannya yang di “rantau” dengan tetap mengedepankan sistem jejaring kerja, informasi dan komunikasi yang tetap terjaga.
Pilihan-pilihan kreatif dari seniman di “kampung” yang sekian tahun lalu masih banyak mengelola eksotisme lanskap alam “khas Padang”, kini telah memperoleh energi yang berarti dari seniman seperti Iswandi, Erianto ME, dan lainnya. Mereka tak lagi menjadi Wakidian baru (para penerus pelukis mooi indie Wakidi) yang “sekadar” membuat mimesis atas alam, namun mengolahnya kembali lebih jauh. Demikian juga dengan Dwi Agustyono atau Nasrul yang terus larut dalam personalitasnya lewat karya-karyanya yang semi-surreal.
Demikian pula dengan Masriel yang menjumput kesederhanaan dari subyek benda di sekitarnya, atau Gusmen yang dinamis berlari-lari dari tema ihwal batu, kota, lanskap gunung hingga tema tentang figur dalam citra ayunan sekarang ini. Semuanya bergerak dengan keasyikannya sendiri. Dan ini, secara keseluruhan, menjadi menarik karena para seniman ini (1) seolah mementingkan aspek eksotisme visual, (2) keluar dari perangkap tema-tema sosial yang diejawantahkan secara verbal dan frontal, dan (3) begitu selfish karena begitu kuat menjadikan subyek karya mereka sebagai bagian yang melekat dari jagad personalitasnya. Serta kemudian yang dikhawatirkan dari kuatnya komunikasi antar-mereka (yang di “kampung” dan di “rantau”) adalah poin (4) yakni risiko terjadinya kemungkinan peniruan atau epigonisme jelas ada. Tetapi toh sekarang, adakah sesuatu yang benar-benar orisinal (dalam seni) di kolong langit ini?
Oleh Kuss Indarto
TANAH yang membasah tampak tersisa tatkala pesawat Boeing milik Garuda Indonesia yang saya tumpangi landing di bandara Tabing di pinggiran kota Padang. Atap bagonjong khas Minangkabau pada bangunan bandara bagai ramah menyambut. Wah, Ranah Minang telah menyediakan panorama alam nan amboi! Bandara itu begitu mungil dan dikepung permukiman padat, sebelum dipindahkan tahun 2005 di bandara yang baru dan megah di bibir pantai yang berhimpit dengan Samudera Hindia, di kabupaten Pariaman.
Kala itu, pertengahan Januari 2002, tujuh tahun lampau, saya berkesempatan untuk memulai melakukan survei seni rupa di Ranah Minangkabau. Yayasan Seni Cemeti (sekarang Indonesia Visual Art Archive, IVAA) dan Hivos Foundation (Belanda) menjadi sponsor proyek tersebut. Dan dalam tempo dua bulan itu, beberapa kota sempat saya singgahi, terutama Padang, Padang Panjang, Bukitinggi, dan Payakumbuh. Juga kawasan lain yang masuk dalam wilayah administratif Padang Pariaman, semisal Kayutanam.
Puluhan seniman, calon seniman atau pengamat seni budaya dari beragam generasi dan latar belakang saya temui. Ada yang janjian untuk bersua di rumah mereka yang merangkap sebagai studio, atau di kamar kos yang tersembunyi di ujung gang-gang sempit yang becek namun homy, di sekolah, di kampus, di Taman Budaya Sumatra Barat, hingga di lapai makan, sesuai kebutuhan situasional dan kesepakatan sebelumnya. Situasi penuh kekariban menjadikan saya tak begitu sulit untuk mengorek sebanyak mungkin setiap informasi yang saya butuhkan ihwal jagad seni rupa di kawasan itu. Mereka tak ubahnya seperti sahabat dan saudara yang seolah telah lama tak saling mengunjungi. Sebagian besar dari mereka sangat kooperatif hingga memudahkan praktik kerja survei.
Dan di sela kekariban kami itu, di ujung akhir waktu survei, saya membuat sebuah perhelatan pameran seni rupa di Galeri Sarasah. Mungkin itu galeri pertama di Sumatra Barat. Ada risiko di situ karena pada pameran bertajuk Geliat Seni Rupa Sumatra Barat itu, saya memberlakukan pola seleksi yang oleh beberapa pihak dianggap “tidak sopan”, karena banyak meloloskan seniman muda “yang belum teruji” dan “menyingkirkan” seniman-seniman senior yang selalu menjadi pelanggan hampir semua pameran (penting) di Sumatra Barat. Seniman-seniman yang muncul pada pameran tersebut, beberapa di antaranya juga terlibat sebagai peserta pada pameran Trap[esium] ini.
Pemetaan Awal
DARI survei singkat sepanjang dua bulan itu, akhirnya, saya memberi semacam hipotesa awal yang terdedahkan dalam beberapa poin yang kiranya, kala itu, bisa mengawali untuk memetakan (secara global) persoalan seni rupa di Sumatra Barat.
Pertama, masih menguatnya puritanisasi wacana. Tak banyak ditemukan pembaruan wacana yang berkembang di komunitas seni rupa Sumbar, selain ketatnya mereka – terutama perupa senior – dalam merawat romantisme masa lalu yang tak lagi cukup fleksibel dan sensibel diterapkan dalam konteks kekinian. Perbincangan perihal karya lukis yang baik dan ideal masih berputar-putar pada lukisan naturalistik dan realistik. Atau kaligrafi yang dikukuhi nyaris tanpa inovasi kecuali oleh mereka yang pernah mengecap pendidikan formal kesenian di di kota lain, terutama di Yogyakarta.
Kedua, mengentalnya gejala dogmatisasi teknik. Ini masih bertautan dengan hal pertama, yakni pengartikulasian wacana yang mandek. Bagi banyak perupa di Sumbar, upaya pencapaian visual yang diejawantahkan pada kanvas masih cukup konvensional, belum eksploratif. Kalau toh sudah dilakukan oleh beberapa generasi muda, masih kental nuansa imitasi terhadap kecenderungan seniman Minang yang sekarang hijrah ke Yogyakarta.
Ketiga, masih kentara adanya dominasi patronase. Pola-pola patronase masih terlihat dari pola relasi antara senior dan yunior, baik dalam relasi sosial maupun relasi struktural pada lembaga kesenian atau lembaga pendidikan kesenian. Ini berdampak pada out-put yang terlihat pada hampir tiap perhelatan pameran sebagai salah satu cerminnya. Sosok Wakidi masih kuat sebagai patron yang direproduksi oleh yuniornya dengan pola patron-klien.
Keempat, lengangnya apresiasi. Bagi saya, bentuk apresiasi untuk konteks ini adalah "apresiasi kritis" dan "apresiasi pasar". Perupa atau masyarakat seni rupa di Sumbar belum cukup kuat terbentuk sehingga sistem jaringan yang mempertautkan mereka dengan masyarakat yang lebih luas belum terbangun. Seniman berbuat sendiri tanpa bisa menciptakan citra atas apa yang telah diperbuatnya, karena tak ada mediator pencitraannya. Demikian juga soal kolektor, nyaris sepi karena memang belum ada titik integral yang mempertautkan antara seniman dan pasar.
Pemetaan masalah itu, meski masih dalam kerangka yang masih global, kiranya bisa menjadi kunci awal untuk menggulirkan isu-isu yang lain berikut serangkaian kemungkinan upaya solutif. Apapun, itulah penggalan realitas seni rupa di Sumatra Barat yang bisa terbaca (sekilas) waktu itu.
Gejala Perkembangan
KINI, setelah tujuh tahun waktu berselang, adakah banyak perubahan, atau setidaknya pergeseran situasi pada jagad seni rupa “anak-anak Minang”, baik yang di “kampung” dan yang di “rantau”? Bagaimana relasi antar keduanya dalam proses kreatif, apakah ada keterpautan yang saling mempengaruhi satu sama lain? Kalau toh ada perubahan atau pergeseran yang terjadi, faktor apa sajakah yang membuat hal itu tejadi?
Time will tell. Dan sang waktu telah bergerak mengiringi perjalanan kanvas para perupa ini menjelajahi perkembangan yang hendak dibentuknya. Dalam perhelatan Trap[esium] ini, ada 17 nama perupa Minang yang berproses di Sumatra Barat, dan 12 lainnya yang meyakini jalan pilihan kesenimanannya dengan studi dan menetap di kota Yogyakarta.
17 nama seniman yang bergelut dan “berdarah-darah” dalam berkesenian di “kampung” Ranah Minang ini menarik untuk diketengahkan karena setidaknya dalam kurun 2-3 tahun terakhir ini mereka tak lagi sekadar menjadi “jagoan kandang”. Beberapa perhelatan di luar wilayah Sumatra Barat dengan skala yang cukup penting (dalam perspektif tertentu) telah mulai menyerap nama-nama mereka. Sosok seperti Zirwen Wira Hazry, Herismen Tojes, Amrianis, Iswandi, Nasrul, Dwi Agustyono, Romi Armon, dan lainnya, adalah nama-nama yang mulai mencuri perbincangan publik seni rupa tatkala mengharuskan menyebut nama-nama seniman asal “kampung” Minangkabau. Mereka mulai memiliki eksistensi yang tidak lagi sangat timpang kalau kita mencari perimbangan antara yang di “kampung” dan yang di “rantau”. Memang seniman yang berproses di “rantau” masih berada di garis depan dalam masalah eksistensi dan pencapaian estetik. Namun mereka yang di “kampung” telah memberi progres yang tak kalah berarti pula. Tentu dengan batas-batas standar mereka.
Gejala perkembangan seniman yang di “kampung” ini, saya kira, dapat ditengarai kemungkinan muasalnya dalam beberapa soal.
Pertama, dikuatkan oleh spirit berkomunitas. Dalam beberapa tahun terakhir, dalam pengamatan saya (yang terbatas), ada dua kekuatan (komunitas) penting yang bergerak mendinamisasi jagad seni rupa di Sumatra Barat, yakni Kelompok Pentagona dan Komunitas Seni Belanak. Pentagona merepresentasikan kelompok seniman (semi)-senior dan relatif “mapan” karena sebagian dari mereka terdiri dari guru seni rupa atau PNS. Motornya antara lain Herisman Tojes. Sedang Belanak seperti mewujud sebagai bagian penting dari pergerakan seni rupa anak muda. Romi Armon atau Irwandi adalah salah satu penggiat yang militan di dalamnya. Spirit berkomunitas ini sedikit banyak memberi imbas positif karena telah menjadi forum penting bagi pergulatan kreatif sekaligus ruang pergesekan pikiran kesenian mereka. Output-nya, tentu, semangat untuk melakukan pembaruan terus-menerus.
Pola serupa tentu saja juga menghinggapi para perupa Minangkabau di Yogyakarta. Mereka telah lama membentuk komunitas besar dengan kohesi etnisitas bernama Sakato. Di luar itu, telah ada nama komunitas yang telah mapan secara eksistensial juga pada pencapaian estetiknya, yakni Kelompok Jendela. Ada pula bentukan komunitas lain yang menemukan kekuatannya karena mengasah diri secara komunal, seperti Genta, Semut, dan nama-nama lain. Atau “komunitas” kecil lain yang tanpa nama.
Kedua, terbangunnya jejaring kerja kesenian. Berkait dengan poin pertama, komunitas telah dijadikan “perangkat” yang urgen untuk membangun jalinan komunikasi dan kerjasama dengan komunitas seni rupa di belahan wilayah lain. Komunitas Belanak, saya kira, banyak memanfaatkan jejaring kerja (networking) sebagai isu besar dalam mematangkan geliat mereka dalam menggeser pola kreatif sebelumnya. Dengan jejaring kerja, mereka tak lagi menggantungkan sepenuhnya, misalnya, Taman Budaya Sumatra Barat atau ruang mainstream lain (yang “selektif” dan dianggap hanya “dikuasai” oleh para senior) sebagai satu-satunya pilihan untuk mempresentasikan karya mereka di ruang publik. Dengan jejaring kerja pula, anak-anak Minang ini bisa menembus Jakarta, Bandung, Yogyakarta, atau kota lain untuk mengeksposisikan karya sekaligus melakukan re-kreasi karena gesekan yang kuat dengan komunitas lain yang lebih berkembang dan relatif baru cara pandang berkeseniannya. Bentuk-bentuk kreatif merekapun mulai meluas dengan tak lagi memusat pada lukisan sebagai satu-satunya pilihan berpraktik seni.
Ketiga, hiruk pikuknya pasar seni rupa dalam booming seni rupa dua tahun terakhir ini (dan akhir-akhir ini telah menunjukkan sentimen menyurut atau negatif), telah menggelembungkan kebutuhan akan karya seni (lukis) yang begitu berlipat. Tanpa mengurangi rasa apresiasi yang dalam terhadap daya hidup mereka dalam berkesenian selama ini, saya juga melihat bahwa di luar perkara itu, ada kekuatan di luar mereka yang “tiba-tiba” cukup bergelombang menghampiri, yakni pasar. Kekuatan besar ini boleh dikatakan bersifat struktural karena tidak hanya terjadi di Jakarta, Bandung, Yogyakarta atau Bali, namun juga telah menyentuh di relung kota “kecil” seni rupa, termasuk Padang. Mereka telah dirambah pasar seni rupa sebagai bagian dari konsekuensi atas kebutuhan yang meluap akan pilihan-pilihan karya dan kelompok kreatif lain di luar kota-kota penting seni rupa di atas.
Bukan Representasi
KALAU kemudian dalam pameran ini kita lihat puluhan karya kreasi dari 29 seniman Minang dari “kampung” dan “rantau”, dapatkan ini dibaca sebagai sebuah representasi utuh dari geliat perkembangan seni rupa anak-anak Minangkabau? Jelas tidak. Di sini, tak banyak seniman “bintang” yang selalu dikaitkan sebagai bagian yang paling melekat dari sebuah perkembangan terkini. Namun justru dari ketiadaan aspek tersebut, pameran ini menjadi memiliki makna yang lain. Artinya, aspek representasi yang utuh atau bertaburnya para seniman “bintang” belum tentu secara serta-merta akan menjamin menghadirkan isu yang besar, menarik, dan brilian. Masih penuh relativitas.
Pameran Trap[esium] ini dapat disikapi sebagai upaya untuk membuat kemungkinan konstruksi isu atas mengaburnya “batas-batas” antara output seniman dari “kampung” dan “rantau”. Keduanya relatif telah tidak lagi timpang dalam pencapaian teknis, jagad gagasan, dan jangkauan imajinasinya.
Nama-nama seperti Zirwen Hazry, Herisman Tojes, Amrianis, juga Iswandi atau Irwandi dan lainnya yang berposes di “kampung”, kini tak lagi berseberangan begitu jauh dengan Gusmen Heriadi, Tommy Wondra, Masriel, Deskhairi, dan lainnya, yang berproses di “rantau”. Mereka yang di “rantau” memang mengalami perkembangan kreatif yang pesat setelah menempuh studi di ISI Yogyakarta berikut kampus pergaulan bumi Yogyakarta yang penuh kompleksitas. Namun, bagi mereka yang di “kampung” masih memiliki peluang untuk tetap mengejar atau mendekati pencapaian kreatif rekannya yang di “rantau” dengan tetap mengedepankan sistem jejaring kerja, informasi dan komunikasi yang tetap terjaga.
Pilihan-pilihan kreatif dari seniman di “kampung” yang sekian tahun lalu masih banyak mengelola eksotisme lanskap alam “khas Padang”, kini telah memperoleh energi yang berarti dari seniman seperti Iswandi, Erianto ME, dan lainnya. Mereka tak lagi menjadi Wakidian baru (para penerus pelukis mooi indie Wakidi) yang “sekadar” membuat mimesis atas alam, namun mengolahnya kembali lebih jauh. Demikian juga dengan Dwi Agustyono atau Nasrul yang terus larut dalam personalitasnya lewat karya-karyanya yang semi-surreal.
Demikian pula dengan Masriel yang menjumput kesederhanaan dari subyek benda di sekitarnya, atau Gusmen yang dinamis berlari-lari dari tema ihwal batu, kota, lanskap gunung hingga tema tentang figur dalam citra ayunan sekarang ini. Semuanya bergerak dengan keasyikannya sendiri. Dan ini, secara keseluruhan, menjadi menarik karena para seniman ini (1) seolah mementingkan aspek eksotisme visual, (2) keluar dari perangkap tema-tema sosial yang diejawantahkan secara verbal dan frontal, dan (3) begitu selfish karena begitu kuat menjadikan subyek karya mereka sebagai bagian yang melekat dari jagad personalitasnya. Serta kemudian yang dikhawatirkan dari kuatnya komunikasi antar-mereka (yang di “kampung” dan di “rantau”) adalah poin (4) yakni risiko terjadinya kemungkinan peniruan atau epigonisme jelas ada. Tetapi toh sekarang, adakah sesuatu yang benar-benar orisinal (dalam seni) di kolong langit ini?