Antara Kolektor dan Kolekdol
Foto: Dian Muljadi (tengah) salah satu kolektor karya seni rupa Indonesia.
Sebuah karya yang sebenarnya hanya berharga 15 juta rupiah, tiba-tiba bisa bertengger di harga ratusan juta.
Pada akhir 1980-an, lukisan karya pelukis asal Bandung, Jeihan, dibeli oleh Bank Central Asia (BCA) sekitar 100 juta rupiah. Peristiwa itu kemudian menandai munculnya boom pasar seni rupa Indonesia, sekaligus para pemain baru di pasar seni rupa Indonesia yang disebut sebagai Kolekdol.
“Kolekdol, mengkolek lalu ngedol atau menjual, orang yang membeli lukisan untuk dijual kembali dalam waktu cepat. Mereka hanya cari untung cepat dari bisnis lukisan ini,” terang Kuss Indarto, kurator lukisan di Galeri Nasional. Terjualnya lukisan Jeihan dengan harga seratusan juta ketika itu membuat para pemilik dana yang sama sekali tidak punya dasar pengetahuan seni lukis, tertarik untuk menjadi spekulan yang menjadikan lukisan tak ubahnya lembaran saham.
Ramainya jual beli lukisan, menciptakan peluang bagi beberapa kelompok kuat untuk melakukan apa yang umum disebut di lantai bursa sebagai “goreng menggoreng” saham. Maka, sebuah karya yang sebenarnya hanya berharga 15 juta misalnya, tiba-tiba bisa bertengger di harga ratusan juta. Tentu saja, proses “goreng menggoreng” ini melibatkan banyak pihak. Dari pelukis, penyandang dana, kurator, para ahli lukisan, galeri, hingga balai lelang.
Seperti halnya satu lembar saham, karya seniman yang susah dijual, bisa saja diatur menjadi sebuah dagangan yang laku keras di pasar. Caranya, diboronglah lukisan si seniman tersebut dengan harga yang ditentukan oleh kelompok penggoreng dengan kesepakatan, si pelukis tak menjual karya lagi setelah itu tanpa konfi rmasi dengannya. Sekali dua, karya si pelukis tak laku itu, dilempar ke lantai bursa lukisan yakni balai lelang, dengan harga yang sama sekali baru.
Di sana, sudah ada bagian dari kelompok ini yang menaikkan tawaran. Begitu seterusnya hingga pasar menganggap bahwa karya si seniman pantas untuk diburu. “Akhirnya kembali ke logika pasar. Permintaan dan penawaran. Si komplotan berkuasa atas penawaran karena mereka menguasai senimannya maka mereka berkuasa atas barang yang diperjual belikan ini,” terang Kuss.
Dari harga lukisannya yang terdongkrak, dalam jangka pendek, si seniman tentu ikut menangguk untung dari aksi ambil untung para spekulan ini. Namun, ternyata, pasar yang sama sekali buta acuan khazanah seni rupa ini, tak akan sanggup menopang harga lukisan “gorengan” dalam jangka waktu lama. Akibatnya, dalam jangka waktu paling banter dua tahun, lukisan yang sama, bisa jadi tak akan laku dijual bahkan di harga sebelum aksi “goreng menggoreng” dimulai.
Para “penggoreng”-lah yang menangguk untung besar. Sedang beberapa spekulan atau kolekdol tuna acuan, bisa rugi atau untung, tergantung apakah mereka melepas lukisan gorengan tersebut di saat harganya baik. “Sedangkan senimannya, menurut saya, dalam jangka panjang, rugi besar. Karena ia kan harus tetap survive sebagai seniman, padahal pasar yang ia miliki ternyata pasar “gorengan”. Banyak pelukis yang semula bisa menjual karyanya ratusan juta, kini menjual dengan harga 15-an juta pun, harga normal dia sebenarnya, juga nggak laku,” papar Kuss.
Paul Hadiwinata seorang kolektor lukisan yang juga pemilik sebuah galeri di Jakarta mengakui, semula lukisan hanya dipandang sebagai suatu karya seni yang dapat dinikmati keindahannya yang kemudian dikoleksi sebagai suatu hobi. Namun, benda seni itu telah berubah menjadi suatu investasi yang memiliki harga jual tinggi. “Karena suatu saat harganya akan meningkat,” ujarnya. Akan tetapi, kata pemilik Hanna Art Space ini, lukisan di Indonesia belum lazim sebagai investasi lantaran kebanyakan orang masih bermain di bursa efek, properti, atau emas.
Berbeda di Eropa dan Amerika, lukisan telah dijadikan salah satu portofolio investasi oleh sejumlah bank. “Karena untuk karya-karya bagus harga lukisan tidak pernah turun, kecuali karya-karya yang digoreng seperti karya Piccaso dan Renald yang jutaan dollar AS sampai puluhan juta dollar AS,” tuturnya. Paul mengatakan di Indonesia memang ada istilah “goreng-mengoreng.” Namun, dia mengaku tidak tahu banyak hal tersebut.
“Banyak orang yang beli lukisan akhirnya bukan karena senang dan melihat lukisan, tapi karena dia mendengar lukisan ini trennya sedang naik,” jelasnya. Menurut Hauw Ming, seorang konservator seni rupa, istilah goreng menggoreng lukisan sah-sah saja. “Saya kasih contoh seperti ini, saya beli lukisan murah misalnya 10 juta lalu ada orang iseng nawar 50 juta. Tadinya saya gak jual, tapi saya berubah pikiran. Besok-besok, saya kalau ada yang tawar 60 juta saya lepas lagi. Apa saya disebut “menggoreng”? Gak juga kan. Itu kan apresiasi orang,” ujar Hauw Ming.
Infrastuktur Lemah
Boom pasar seni rupa Tanah Air yang naik turun dalam dua puluhan tahun terakhir itu ternyata tak dibarengi dengan pembangunan infrastruktur seni rupa yang kuat. Menurut Kuss, Indonesia memang tak memiliki sebuah lembaga seni yang memimpin wacana seni rupa. Sehingga, yang terjadi, yang dikenal oleh publik hanyalah pasar seni rupa tuna acuan yang semata-mata hanya mengurusi soal nilai uang dari sebuah lukisan.
Museum seni rupa nasional misalnya, yang bertugas menjadi penjaga gawang bagi sejarah pencapaian seniman seni rupa, negara besar ini pun tak memilikinya. Sementara, Galeri Nasional, yang telah dimiliki oleh negeri ini, yang semestinya mengemban fungsi sebagai semacam katagous pencapaian seniman terkemuka negeri ini, ternyata masih sebatas berfungsi sebagai ruang pamer sewaan yang bisa memajang karya seniman siapapun tanpa kategori yang jelas. “Saya sebagai kurator di sana, masih banyak yang direcoki hal-hal yang sama sekali tak terkait dengan wacana seni rupa.
Misalnya, seorang pejabat ingin seniman tetangganya atau seniman temannya pameran di situ, padahal kan semestinya kurator yang bisa mutuskan bisa dipamerkan atau tidak. Tapi, direkturnya tetap nggak berani nolak, karena yang minta pejabat,” papar Kuss. Akibatnya, pasar berjalan dengan tanpa acuan. Beberapa pribadi ternama, manajemen artis, dan aktivitas balai lelang memegang peran penting dalam penentuan harga sebuah luksian tanpa peduli dengan struktur pengetahuan kuat yang menopangnya.
Seorang seniman bisa saja berada dalam manajemen artis yang berpengalaman dalam mengatrol harga lukisan tanpa si seniman sendiri tahu bagaimana lukisannya bisa mencapai harga tertentu atau sebaliknya. “Tapi kadang, seorang pelukis bisa juga seenaknya sendiri nempel harga di lukisannya kalau dia mencium gelagat pasar yang menunggu karya-karyanya. Untung kalau laku, kalau tidak ya buntung, gitu saja,” kata Kuss.
eko s putro/frans ekodhanto/ dini daniswari/mochamad ade maulidin/nala dipa
catatan ini bisa dilacak di http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=72872